The Unsaid Words

of Rizqi Maulana

Pages

  • Home
  • About Me
  • Contact
  • Gallery
  • Writings

Pandemi gini emang bikin tingkat kebosenan meningkat tajam. Mau ke mana-mana ribet, jalan-jalan banyak surat ini-itu. Terus, yang selalu muncul di otak adalah pertanyaan, "NGAPAIN YA INI ENAKNYAAA???" Itu terus. Saking nggak ada kerjaan dan kegiatan yang menarik sekaligus bebas ribet. Akhirnya, dengan modal riset via Google dan beberapa thread di Twitter, nemulah satu kegiatan yang menarik perhatian dan bermanfaat bagi otak dan skill yang di sini-sini aja: ikut kursus online! Nah, buat rekaman pribadi dan sedikit berbagi info, ini ada beberapa kursus online yang saya ikuti.

  1. First Step Korean

Kursus Bahasa Korea Dasar ini bisa diakses di Coursera. Kita belajar Bahasa Korea dari dasar banget. Mulai dari sejarah Bahasa Korea, alfabet-alfabetnya, sampai ke penekanan pengucapan. Instrukturnya ini dari Yonsei University dan penyampaiannya menggunakan Bahasa Inggris.

Di kursus ini kita akan belajar selama lima minggu dengan beberapa modul yang berbeda tiap minggunya. Jangan sampai terlewat kalau di tiap modul ada ujian singkat soal materi sebelumnya. Juga, nanti ada ujian yang menyeluruh gabungan dari semua modul di akhir minggu.

Enaknya adalah, kursus ini sifatnya self-paced. Kita bisa mutar video materinya kapan pun selama masa kursus masih berlangsung. Cuma, yang harus diingat kalau ada batas tanggal ujian per minggu. Jadi dalam seminggu bisa dibagi ke beberapa hari, atau mau dikebut sekali duduk pun bisa! Tambahan  lagi, Coursera ada aplikasinya di Playstore atau Applestore, buat yang nggak bisa ngikutin sambil duduk atau nggak ada akses ke PC atau laptop bisa ngikutin lewat ponselnya masing-masing.

Oh, kalau kita cuma mau dengerin materinya ini gratis. Kita bisa langsung daftar dan lihat semua materinya. Nanti di akhir kursus kalau kita lulus ujian--batas bawahnya 70%--bisa dapat sertifikat dengan bayar sekitar $49. Bayarnya sih pakai kartu kredit ya.

    2. Adobe Photoshop untuk Pemula


Seperti yang sudah dibilang sebelumnya, skill yang saya punya itu masih di sini-sini aja. Rasanya perlu deh keep up dengan standar skill yang ada di pasaran. Banyak banget dicari orang-orang yang punya kemampuan desain untuk bagian promosi. Awalnya mau coba ikut kelas desain di lembaga pelatihan, tapi karena terbentur pandemi jadi mau ikut kelas yang bertemu banyak orang jadi mikir-mikir lagi. Sampailah pada saat yang dinanti-nanti, saya memilih kursus online di Udemy ini.

Sistem belajarnya sama kaya kursus-kursus online lainnya. Sifatnya tentu self-paced jadi kita nggak terburu-buru. Di dalamnya ada beberapa modul dan dibagi ke beberapa jenis materi sesuai tool di Photoshop.

Kalau di Coursera kita baru bayar kalau mau ambil sertifikatnya, di sini kita harus bayar di awal buat ikut kelas dan akses semua fiturnya. Plus, nanti di akhir kelas ada sertifikat menunjukkan kalau kita udah ikut kelas ini dari awal sampai akhir.


3. Pengenalan Cara Berpikir Kreatif


Nah...nah...nah... Ini kursus ini penting banget karena saya jadi tahu seluk-beluk teori berpikir kreatif. Kursus ini diakses di IndonesiaX dan di sini juga banyak kursus lain yang nggak kalah menarik. Di sini ada kursus tentang post-disruption, ekonomi, politik, dunia digital, sampai ke ilmu soal siaran radio. Jadi buat yang mau cari ilmu baru, bisa banget meluncur ke IndonesiaX. Plus di sini kita bisa dapat sertifikat dengan bayar sekitar Rp150.000. Cuma ada syaratnya, di ujian akhir kita harus dapat skor minimal 70%.

Lebih spesifik soal kursus Berpikir Kreatif ini, kita bakal belajar soal dasar-dasar ilmu berpikir kreatif. Sejarah dari perkembangan soal kondisi ini, mulai dari First Wave sampai ke Era Digital zaman sekarang. Pendekatan psikis juga dibahas, lho, di sini. Bagaimana kondisi mental dan fisik yang ideal bisa membuat kita jadi kreatif dan berpikir out of the box! Pembahasan soal berpikir kreatif ini cukup dalam juga. Bagaimana kita bisa ambil laba sampai apa-apa saja yang harus kita sadari dan persiapkan ketika mau membisniskan produk kreatif kita. 

Tipe kursus online alias daring macam ini emang bisa dilakukan bertahap dan nggak perlu selesai sekaligus. Ada yang sifatnya self-paced, ada juga yang diatur tiap seminggu. Pokoknya bisa diatur sesuai kebutuhan dan kondisi kita.

Masa pandemi ini emang bikin kita kesel. Setahun ini rasanya terbuang sia-sia aja gitu. Nah, daripada 2020 kelewat tanpa ada ilmu yang nyantol, mending kita ikut kursus online. Banyak yang gratis, banyak yang bisa disesuaikan sama kondisi kita. Bisa banget buat yang butuh asupan ilmu baru, jadi di 2021 kita bisa punya bekal buat berkembang dari segi skill.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

 

Pandemi udah mau delapan bulan nih di Indonesia. Ke mana-mana kita pakai masker, bawa masker, hand sanitizer, bahkan nggak salaman. Banyak yang nggak bisa bekerja, banyak yang gulung tikar, sampai berharap masih ada laba pun tidak ada daya. Hanya segelintir yang masih bisa bertahan, bisa dapat gaji bulanan pun sudah terasa bagai mukjizat. Kondisi kita berbeda-beda, tapi kita semua berjuang agar masih bisa hidup dan kewarasan tetap terjaga

Banyak diskusi mengenai pandemi ini. Apakah kita harus mendahulukan kesehatan? Apakah ekonomi? Apakah keduanya bisa berjalan beriringan? Semua berargumen, semua berpendapat. Bukankah semua bisa bebas berbicara? Namun, yang pasti adalah kita harus berpijak pada realita. Melihat sekeliling agar tahu betapa COVID-19 ini telah merusak ekonomi yang dibangun dengan susah payah bersama-sama.

Ada satu pengalaman sederhana yang menunjukkan betapa COVID-19 ini menghancurkan banyak hal yang sudah dibangun perlahan. Beberapa minggu yang lalu, saya pergi jalan-jalan ke Situ Mustika di Kota Banjar. Wisata yang sempat tertinggal, lalu direnovasi dan dipercantik sedemikian rupa. Jalan-jalan kali itu benar-benar menunjukkan perbedaan yang jauh signifikan dibanding kedatangan saya tahun sebelumnya.

Tahun lalu, bunga-bunga masih bermekaran dengan cantik. Semua serbatertata, rapi, dan indah. Fasilitas hiburan masih berfungsi, diawasi para penjaga di beberapa titik. Rasanya cukup takjub melihat tempat yang dulu jadi pos saya berkemah menyeramkan berubah menjadi cerah dan berwarna. Kantin dan kafe diperbaiki sehingga nyaman untuk diduduki. Dulu mana bisa nyaman duduk-duduk di sana. Hawa seramnya begitu terasa ditambah dingin dan sepi karena ini bukan tempat nongkrong anak-anak muda.


Namun, kondisi ini ternyata rusak parah karena pandemi. Semua serbasepi, jarang ada yang mengunjungi. Pengelola sampai banting harga agar warga terpancing hatinya. Kafe yang dulu ramai sekarang menunggu ada yang beli secukupnya. Kursi-kursi berdebu, daun-daun kering jatuh di berbagai tempat tidak disapu. Pekerja berkegiatan seadanya karena tidak ada yang keramaian untuk dibantu.


Fasilitas bermain mulai berkarat. Sepeda tali di pepohonan semakin ringkih tak tersentuh tangan manusia. Hanya tersentuh daun jatuh. Saung-saung berdebu di lantai, tiang, hingga atap tinggi.

Kasihan bunga-bunga yang jadi objek penarik hati. Sebagian mulai kering, sisanya mati. Bunga-bunga yang sudah dirangkai hanya tinggal tangkai. Tidak lagi disiram, dipupuk, dan dipangkas sebagaimana biasa. Hilang semua warna yang dulu jadi primadona.




Pandemi ini memang nyata dampaknya. Harus ada yang berkorban demi satu bisa bertahan. Untuk sementara, mungkin industri hiburan dan wisata harus mengalah agar angka positif dapat ditekan serendah-rendahnya. Industri-industri kebutuhan tersier harus menunda beroperasi walaupun dampaknya harus memutar otak agar tidak merugi. Namun, sesegara mungkin harus bangkit dan memutar roda kegiatan kembali.

Tingginya angka kepenatan dan ketidakpatuhan masyarakat menuntut semua kembali normal secara perlahan. Taman wisata dan hiburan harus bertahan dan bangkit bersamaan. Tapi, apa gunanya membuka kembali pintu wisata tanpa ada kepatuhan dari masyarakat?


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Sebenernya saya jarang-jarang bisa nih nonton drakor sampai tamat. Jumlah yang udah ditonton bisa dihitung, kok, karena nggak begitu banyak. Biasanya kalau penggambaran kisah cinta di drakor itu udah kemanisan dan nggak masuk akal menurut standar pribadi, langsung mager mau lanjut dan akhirnya dilewatin *hai, Kelas Itaewon*. Nah, ini ada drama yang dari sinopsis keren dan nggak soal realita aja. Nama drakornya 'Alice'. Alice jadi drama terakhir yang saya tonton sampai selesai dan  membuat proses menunggu tiap minggu cukup menyebalkan.

Nama Alice merujuk ke fasilitas masa depan di tahun 2050 yang ada di dalam drama ini. Cerita ini berputar di kehidupan Park Jin-Gyeom (Joo Won), seorang detektif yang menderita alexithymia (ketidakmampuan mengenali dan menyampaikan emosi). Ketika dia SMA, dia harus kehilangan ibunya, Park Sun-Young (Kim Hee-Sun) karena dibunuh orang tidak dikenal. Kejadian itu menghantui dia dan sejak itu, waktunya dihabiskan untuk mencari sang pembunuh. Park Sun-Young sendiri adalah seorang penjelajah waktu yang kabur dari kekasihnya, Yoo Min-hyuk (Kwak Siyang), karena ia lebih memilih melahirkan Jin-Gyeom.

Di drakor ini ada beberapa latar waktu: 1992, 2010, 2020, dan 2050. Semua tahun punya momen-momen penting dan ada benang merah yang menghubungkan, sehingga akan ada cerita utuh di akhir. Drakor ini punya beberapa lapisan cerita yang saling melengkapi. Hanya ada beberapa bagian yang tidak dijelaskan hingga akhir dan dibiarkan tanpa konklusi.

Seperti yang ditulis di atas, Alice jadi drama yang keren--menurut saya--karena ini bukan soal kisah cinta aja. Ada cerita lain yang jadi poin utama dan dalam kasus ini temanya adalah fiksi ilmiah soal perjalanan waktu. Nah, karena ada tema perjalanan waktu, jelas dong di drakor ini bakal ada bahasan tentang apa? Yep, Fisika. Istilah-istilah dan rumus-rumus fisika bermunculan di beberapa episode dan sangat pas karena diceritakan salah satu tokoh penting di sini yang  adalah seorang dosen fisika.

Mungkin bagi beberapa yang menonton, akan merasa bosan karena banyak adegan yang diulang-ulang bahkan hingga akhir. Tapi, ini justru menarik karena kita dari awal sudah di-planting bahwa Park Sun-Young ini mati dibunuh dan dia tahu siapa pembunuhnya. Dari tiap adegan pembunuhan itu, perlahan-lahan dibuka siapa yang membunuh. Tentu, gongnya ada di episode terakhir ketika semua misteri mulai terjawab. 

Gabungan antara fiksi dan nonfiksi di sini cukup pas. Bagian nonfiksi tentang rumus fisika dan berbagai percobaannya dipasang dengan tepat ke momen-momen yang sederhana. Tidak jadi drama yang terasa menggurui ataupun membosankan. Penempatan kisah cinta, tarik-ulur hubungan, proses memendam perasaan, dan kondisi manusiawi lainnya membuat drakor ini masih terasa 'kita banget' dan tidak menjadi sesuatu yang jauh dari kenyataan. Masih ada nyata-nyatanya dikit lah.

Kalau dari segi akting, semuanya bermain dengan sangat baik. Joo Won, sebagai karakter yang bermasalah dengan emosinya, bermain dengan baik. Mimik wajah dan gestur tubuhnya ketika bersenggolan dengan temannya di SMA dan ketika dia bersama ibunya tidak berbeda jauh tetapi ada bagian kecil yang menujukkan kalau dia lebih nyaman dengan ibunya. Kecil tapi terasa dan sangat effortless.

Kim Hee-Sun yang harus memainkan dua karakter pun bisa menunjukkan perubahan yang sangat signifikan. Dia sebagai Park Sun-Young dan Yoon Tae-Yi seorang dosen fisika memiliki perbedaan yang sangat-sangat mencolok dan keduanya berhasil ditaklukkan.

Oh, di Alice ini banyak CGI yang digunakan. Ada beberapa yang tepat guna tapi ada juga yang agak...aneh. CGI drone misalnya, kadang ada di satu episode, visualnya sangat ciamik. Namun ada juga di episode lain visualnya justru aneh. Tentu jangan lupakan CGI sungai, gunung, dan langit ketika Joo Won menuju Alice. Walaupun singkat tapi warnanya begitu mencolok.

Begitu drakor ini tamat, banyak pertanyaan yang muncul soal alurnya. Kalau dirasa-rasa, di episode-episode pertengahan ini agak lambat alias dragging. Banyak isu-isu sisipan yang agak panjang dan memakan beberapa episode. Proses revealing infonya pun jadi kerasa lamaaa banget. Siapa yang membunuh si X, apa isi akhir buku nubuat, bagaimana cara perjalanan waktu dihentikan, semua itu udah saya tunggu-tunggu revealing-nya. Namun, harus nonton beberapa episode dulu dan baru di sekitar tiga episode menuju akhir, semua dibuka langsung. Jujur, episode-episode di tengah banyak yang biasa aja. Selain bagian menjelajah waktu, nggak ada yang spesial. *menurut saya, lho*

Satu lagi perasaan yang muncul pas ini udah tamat adalah, "Hah? Gitu doang?" Karena setelah rahasia yang ditutup lama, proses kemunculan jawabannya pun nggak seketika muncul. Eh, kok pas udah kebuka ilang aja gitu. Nggak gimana-gimana lagi. Alice-nya ilang, semua langsung kembali normal. Sekejap saja prosesnya, gaes. Padahal nunggu udah belasan episode.

Belajar pengorbanan dari drama perjalanan waktu

Cerita kecil yang ada di drama ini entah mengapa menarik perhatian saya. Salah satunya adalah kisah tentang Pejalan Waktu yang kembali ke masa lalu karena mereka ingin mengubah masa lalu. Contoh, ada seorang Ibu yang kehilangan anak di masa depan lalu ingin melakukan perjalanan waktu agar sang anak tidak pergi sampai akhirnya meninggal. Dia rela harus merasakan dampak perubahan pada tubuhnya karena melalui lubang waktu, agar orang tercintanya tidak terluka. 

Kalau sudah mencintai seseorang apapun akan kita korbankan. Apapun yang kita punya akan dikerahkan. Apapun kesempatan yang datang tidak akan dilewatkan. 

Berkaca dari drakor ini, manusia emang sering lupa sama yang namanya konsekuensi. Pergi menjelajahi waktu bukan datang tanpa konsekuensi. Kondisi tubuh akan terganggu, kondisi psikis ketika bertemu orang terkasih pasti akan rusak. Sama aja di dunia nyata, banyak yang suka lupa sama realitas dan sebab-akibat yang terjadi.

Apa kalau sudah dibutakan oleh kedekatan emosi kita jadi nggak realistis dan bertindak tanpa dipikir? Harus kepentok dulu baru bisa sadar kalau apa yang terjadi ya harus terjadi memang. Nggak ada gunanya kalau kita berbenah ketika kejadiannya udah lewat. Kenapa kita malah balik ke masa lalu dari pada merancang rencana ke masa depan? Bingung sih. Bingung karena berusaha mengerti rasionalisasi dari orang yang melakukan itu. Saya nggak ada di sepatunya dia jadi sudut pandangnya tentu dari orang yang nggak mengalami dan melihat dari sisi yang dianggap 'normal'.

Pokoknya, kalau kalian termasuk orang yang suka sama tontonan fiksi ilmiah, bisa banget nonton Alice ini. Bagian ilmiah dari keilmuan fisikanya menarik banget. Ditopang sama akting yang bagus, drakor ini jadi nggak ngebosenin. Sisanya itu masalah selera. 



Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Ada dua buku yang mengenalkan saya dengan minimalisme. Buku pertama, adalah Life-changing Magic of Tidying Up dari Marie Kondo, yang sudah dibuat serialnya di Netflix. Lalu, buku kedua adalah Goodbye, Things dari Fumio Sasaki. Kedua buku itu membawa dua sudut pandang baru yang ujungnya bermuara ke satu titik: Hidup dengan sedikit barang membuat kita lebih bahagia. Cuma, dalam proses membaca kedua buku ini, ada satu hal yang bisa dikomparasi. Komparasi ini yang saya rasa bisa menjadi perbandingan untuk mereka yang mau hidup dengan sedikit barang.

            Kalau kita membaca buku Marie Kondo di atas, ada satu pegangan yang selau diulang-ulang: simpan barang yang membuat kita merasa bahagia. Atau bahasa lainnya, barang yang sparks joy. Inti dari mengurangi barang cara Marie Kondo adalah supaya kita membuang benda-benda yang tidak membuat kita bahagia sama sekali. Jadi di akhir proses decluttering hanya akan ada barang yang membahagiakan kita.

            Dalam proses membuang barang-barang, Marie Kondo selalu menggunakan pendekatan yang sangat personal. Semua benda kita pegang satu per satu, lalu adanya perasaan bahagia atau tidak saat kita menyentuh barang itu yang menentukan. Jika kita merasa bahagia saat menyentuh barang, maka barang itu disimpan. Jika tidak, jangan lupa ucapkan terima kasih atas kerja si barang yang sudah menjalankan fungsinya dengan baik. Oh, di serial (dan di buku pun) Tidying Up with Marie Kondo di Netflix diperlihatkan kalau tiap akan memulai proses decluttering Marie Kondo selalu menyapa rumah. Seolah memang rumah dan barang itu memiliki nyawa dan perasaan.

            Beralih ke bukunya Fumio Sasaki, ‘Goodbye, Things’, yang sering disebut buku gaya hidup minimalisme ekstrem. Kalau Marie Kondo masih memiliki kriteria lanjutan soal barang yang harus disimpan, Fumio Sasaki tidak punya. Di bagian tengah buku, Fumio Sasaki mengatakan bahwa salah satu cara untuk mengurangi barang adalah dengan membuang semua barang walaupun itu membawa kebahagiaan. Pendekatan ini yang berbeda jauh dengan cara Marie Kondo. Tidak heran kalau label ‘Minimalis ekstrem’ diberikan bagi Sasaki.

            Sebagai orang yang masih di tahap awal mengurangi barang, kadang-kadang kedua cara di atas membuat seolah-olah ada dua jalan bercabang yang harus dipilih. Memang, ketika kita sudah tahu bahwa dua jalan itu akan menuju ke ujung yang sama, ada rasa tenang yang datang. Setidaknya kita tidak perlu khawatir atau meragukan masa depan dan hasil dari semua proses yang akan dan sudah kita lalui. Namun, memilih jalur mana yang akan ditempuh juga tidak bisa asal-asalan. Perlu pemikiran yang serius soal bagaimana cara yang menurut kita terbaik. Tentu ini kembali ke kesiapan kita sendiri. Apakah akan memilih jalan yang ekstrem yang memberikan hasil cepat atau jalan yang perlahan-lahan tapi mungkin akan membuat kita banyak berpikir soal barang yang ada?

            Seiring proses mengurangi barang ini, ada satu hal lain yang tiba-tiba muncul di pikiran: proses menuju hidup minimalis ini tidak hanya soal hidup dengan sedikit barang dan mengetahui semua yang kita punya, tapi juga proses untuk mengenali diri sendiri. Dalam perjalanannya, proses memilih satu di antara dua cara itu membuat saya banyak berpikir dan menarik kesimpulan soal kepribadian diri. Apakah saya tipe orang yang langsung bertindak atau berpikir dua-tiga kali. Untuk soal minimalisme ini mungkin tidak ada salah-benar, tapi soal lain belum tentu.

            Ada satu momen di mana saya melakuka decluttering dengan satu cara di satu waktu, lalu di waktu yang lain menggunakan cara lainnya. Ternyata, di perjalanannya saya sering merasa salah dan ‘menyesal’ karena memilih untuk membuang barang. Satu hal yang saya luput dari penjelasan Fumio Sasaki dan Marie Kondo adalah saya lupa soal kepentingan barang. Karena terlalu tergesa-gesa kadang saya langsung membuang semua. Sampai di satu momen saya baru sadar kalau saya butuh barang itu dan cukup sering. Atau ketika saya insting saya masih belum terlatih soal mana yang menimbulkan kebahagian mana yang tidak. Terlalu lama berpikir juga membuat saya menyimpan barang yang, tidak hanya saya tidak butuhkan, tapi juga tidak sparks joy sama sekali. Biasanya ini karena saya terlalu lama memegang dan memasukan memori saya soal barang itu.

            Proses membuang barang yang berlangsung lama dan menggunakan dua pendekatan ini memunculkan sebuah hipotesa pribadi soal pertanyaan saya: Menentukan soal mana cara yang lebih baik harus dilakukan secara bertahap. Bukan soal cepat-lambatnya membuang barang tapi tentang mana yang lebih sesuai. Mungkin untuk yang masih lajang, seperti Fumio Sasaki, membuang semua koleksi akan bisa dilakukan lebih cepat. Tapi apakah mereka yang sudah berkeluarga bisa melakukan hal itu? Belum tentu. Ada proses yang sangat privat dan personal soal memilih ini. Jadi tidak bisa menarik kesimpulan bahwa satu cara ini cocok untuk semua.

            Jadi satu hal yang saya rasa cukup penting adalah...untuk tidak menggunakan standar kita pada orang lain. Memilih cara mengeliminasi benda di rumah bagi satu orang tidak akan cocok untuk orang lain. Silakan pilih cara Sasaki atau Marie Kondo, lalu rasakan apa yang terjadi. Jika kasusnya seperti saya yang ada rasa menyesal, maka bisa kurangi kecepatan prosesnya dan berpikir lebih matang. Tapi jika cara yang dipilih sudah pas maka tidak ada masalah. Hanya, yang masih sering terlupa adalah soal perbedaan proses bagi setiap individu. Satu pendekatan yang cocok bagi kita belum tentu cocok bagi yang lain. Tidak seharusnya ada pemaksaan dan tidak ada yang harus merasa terpaksa.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar



Judul Buku: Kim Ji-Yeong, Lahir 1982
Penulis: Cho Nam-Joo
Alih bahasa: Iingliana
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 192 hlm


Lahir dan tumbuh besar di lingkungan yang menomorduakan perempuan membuat Kim Ji-Yeong harus merasakan diskriminasi karenanya. Keluarga yang menjadi lingkungan terdekatnya pun melakukan tindakan yang membuat Ji-Yeong kehilangan kesabaran. Perlakuan demi perlakuan yang tidak mengenakkan membuat Ji-Yeong menjadi dewasa dengan membawa beban, trauma, dan emosi yang terakumulasi membuat dia mengalami gangguan kejiwaan, bahkan hingga dia menikah dan mempunyai anak. Inilah yang menjadi cerita dalam buku Kim Ji-Yeong Lahir 1982 karya Cho Nam-Joo.

Kisah di buku ini dimulai dari kondisi Ji-Yeong yang dirasa semakin hari semakin aneh oleh suaminya, Jeong Dae-hyeon. Ji-Yeong tanpa dia sadari sendiri sering bertingkah laku seperti orang lain dan mengubah gaya bicaranya. Awalnya, Dae-hyeon menganggap dia hanya bercanda, tapi lama-kelamaan kondisi Ji-Yeong ini semakin mengkhawatirkan. Lalu, dia menemui psikiater untuk berkonsultasi soal masalah istrinya.

Dari sisi cerita, kita akan dibawa oleh penulis untuk mengetahui bagaimana Ji-Yeong tumbuh dan menjadi dewasa. Seperti sudah dijelaskan di atas, Ji-Yeong hidup di masa di mana perempuan sering mengalami ketidakadilan (bahkan hingga sekarang). Dari dia kecil, dia harus merelakan kenyamanan di rumahnya bagi sang adik laki-laki satu-satunya. Sementara dia dan kakaknya, Kim Eun-yeong, harus menahan diri untuk tidak iri atas perlakuan nenek dan ayahnya yang lebih memihak pada adiknya.

Di masa sekolah, keadaan tidak menjadi lebih baik. Dia dan teman-teman perempuannya kerap mendapatkan diskriminasi oleh guru dan masyarakat. Ji-Yeong, lagi-lagi harus menahan diri untuk tidak marah pada temannya yang sering menjahili dia sampai menangis. Gurunya pun sangat tidak membantu karena malah mengatakan bahwa teman laki-lakinya itu sebenarnya menyukai dia. Ucapan yang sebetulnya tidak perlu diberitahukan kalau pun itu benar.

Semakin jauh kita membaca, akan semakin banyak perlakuan-perlakuan tidak adil yang dialami para perempuan. Sekali lagi, banyak dari perlakuan ini disebabkan HANYA karena mereka perempuan. Stigma pada perempuan yang dilekatkan oleh (kemungkinan) laki-laki membuat posisi perempuan di luar keluarga (sekolah, tempat kerja, tempat umum) selalu tidak setara.

Sulit rasanya untuk memercayai bahwa di dunia nyata ada perempuan yang mengalami hal yang sama. Tapi, setelah mencari tahu lebih banyak, ternyata memang kondisi seperti itu benar-benar ada. Bahkan banyak yang lebih parah. Cerita Ji-Yeong ini mungkin akan dianggap sebagai secuil bagian dari diri para perempuan. Terlepas dari cerita yang fiksi, membaca buku ini sangat membuka mata saya tentang diskriminasi pada perempuan.

Kenapa Perempuan Sering Mendapat Label Negatif?

Ketika Ji-Yeong masuk perguruan tinggi, dia mengikuti klub mendaki di kampusnya. Hingga di tahun ketiga, Ji-Yeong yang baru putus dengan kekasihnya, mengikuti perkemahan dengan angkatan lainnya. Hingga saat dia terdengar para laki-laki sedang berbicarakan dirinya dan dia pun terbangun dan mendengar percakapan mereka. Ternyata teman laki-lakinya menyukai Ji-Yeong. Namun, kemudian ada seseorang yang justru berkata, “Ah, sudahlah. Siapa yang mau mengunyah permen karet yang sudah diludahkan?”

Membandingkan perempuan dengan benda mati, yang kadang dianggap murahan, jorok, dan tidak berharga bukanlah hal yang baru. Beberapa waktu lalu, terjadi sebuah kasus pelecehan sosial di salah satu perguruan tinggi, lalu ada pihak yang memberikan sudut pandang lain tentang kasus pelecehan ini dengan mengibaratkan si korban adalah ikan asin dan pelakunya adalah kucing.

Itu bukan hal baru lagi di kehidupan bermasyarakat. Banyak ungkapan negatif yang diberikan bagi perempuan. Apapun pilihan yang diambil perempuan, selalu diikuti oleh obrolan miring dari orang lain. Padahal pilihan itu tidak ada sangkut pautnya dengan orang yang mengomentari. Perempuan yang ingin bekerja dibilang melawan kodrat. Bagi yang tidak ingin menikah muda dianggap menunda jodoh dan dianggap perempuan tanpa aturan. Belum lagi mereka yang ingin mewarnai rambut, bertato, tidak berhijab, dan melakukan hal-hal yang ‘nggak cewek banget’ padahal tujuannya hanya ingin mengekspresikan diri.

Ji-Yeong yang dianggap permen karet yang sudah dikunyah, korban pelecehan yang dianggap ikan asin, sampai perempuan yang dianggap melawan kodrat mungkin hanya ujung dari gunung es yang terekspos karena mereka berani melawan aturan yang mendiskriminasi. Di luar sana mungkin ada yang lebih memilih diam dan mengikuti arus karena tidak mampu melawan pihak-pihak yang menekan mereka balik. Dan, bisa jadi lebih parah daripada ketiga contoh di atas.

Rasanya, langkah kecil menuju kehidupan sosial yang bebas diskriminasi dan menjunjung kesetaraan adalah dengan tidak melabeli orang lain atas pilihan mereka. Tidak memandang sebelah mata mereka yang berbeda pilihan. (Paragraf ini merupakan pikiran tanpa basis akademis. Murni hasil berpikir singkat setelah melihat fenomena di media sosial).

Suara dan Emosi yang Terpendam Menjadi Bom Waktu

Tidak lama setelah Ji-Yeong mengetahui dirinya disamakan dengan permen karet yang sudah dikunyah, dia memilih diam. Hingga keesokan harinya dia bertemu denga laki-laki yang mengatakan itu. Si lelaki berbasa-basi dengan menanyakan kondisi Ji-Yeong. Diceritakan bahwa Ji-Yeong ingin berkata, “Memangnya permen karet bisa tidur?” Hanya saja, dia akhirnya tidak berkata apa-apa.

Kondisi Ji-Yeong yang sering memilih untuk tidak berkata apa-apa tentu berdampak buruk bagi dirinya. Dan, hal ini tidak terjadi sekali-dua kali. Dari masa kecil, Ji-Yeong sering memilih diam karena terkadang ketika dia bercerita justru dia yang dimarahi. Hingga dirinya dewasa pun dia masih memilih diam ketika dia dianggap sebagai “ibu-ibu cafe” yang dikira orang-orang hanya menghamburkan uang suami dan tidak perlu bekerja.

Puncaknya adalah kondisi Ji-Yeong yang sering berganti kepribadian menjadi orang lain. Apakah itu dampak dari kondisi yang menekan Ji-Yeong? Sepertinya belum ada jawaban pasti. Karena diceritakan psikiater yang menangani kasus Ji-Yeong pun mendiagnosa terlalu cepat kondisinya. Tapi yang mungkin lebih pasti adalah suara dan emosi orang yang dipendam pasti akan meledak dan muncul ke permukaan. Entah kapan, di mana, dan dengan cara apa. Begitu pun pemantiknya yang  berupa ha-hal yang tidak disadari.

Kebiasaan memendam emosi dan suara rasanya bukan hal yang asing. Berbagai alasan dan penyebabnya pun sering tidak kita sadari. Hal yang dianggap ‘bercandaan’ bagi satu orang mungkin akan dianggap lain bagi yang memiliki emosi dan masalah. Ini sering terjadi mungkin karena kita masih belum punya empati yang menyeluruh.

Kalau tadi sebaiknya kita tidak perlu repot-repot melabeli orang lain dengan label yang suka-suka kita, untuk kondisi ini (yang bisa terjadi pada siapa pun) sebaiknya kita belajar mendengarkan bersama-sama. Karena kemampuan mendengarkan itu salah satu yang tersulit. Sulit karena kita harus berusaha hadir bersama orang yang berkeluh kesah dan harus memusatkan perhatian. Selain itu, cara merespon pun agak menjebak. Beberapa ucapan yang kita kira biasa saja ternyata malah menjadi bumerang yang memperkeruh suasana.

Buku Kim Ji-Yeong Lahir 1982 tidak hanya memberikan kita bayangan tentang misoginisnya kehidupan di Korea Selatan. Data-data perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang timpang pun disajikan lengkap dengan sumber jurnal, buku, dan berita. Mulai dari jumlah angka kelahiran laki-laki yang lebih tinggi, karena banyak aborsi yang dilakukan ibu-ibu yang mengandung anak perempuan, hingga gap gaji laki-laki dan perempuan di Korea Selatan yang terendah di negara-negara OECD. Bagi yang mau menindaklanjuti bisa dicek semua sumbernya.

Sebelum membaca buku ini memang saya sudah menonton filmnya dan membaca berbagai respon dari masyarakat di sana. Para lelaki banyak yang menilai jelek film ini dan tentu saja para perempuannya memberi nilai yang tinggi. Bahkan yang paling aneh adalah adanya petisi yang dilayangkan kepada Blue House untuk membatalkan penayangan film ini. Tugas Presiden yang banyak dan levelnya nasional hingga antarnegara masih harus ditambah dengan petisi aneh macam ini sangat kurang tepat, kan?

Saat membaca cerita ini saya merasa kalau perubahan kepribadian Ji-Yeong merupakan fenomena unik dan menarik untuk dijelaskan lebih dalam. Tapi di sisi lain, ada kemungkinan kalau proses konsultasi Ji-Yeong ini diperdalam dan dijelaskan kronologisnya, jalan ceritanya akan terlalu teknis(?). Tapi dengan penjelasan singkat di bab akhir, menunjukkan kalau kondisi Ji-Yeong ini masih kurang dipahami bahkan oleh psikiaternya. Bahkan psikiaternya mulai meragukan dugaannya. Dari depresi pascamelahirkan hingga dugaan depresi pengasuhan anak.

Kondisi kejiwaan Ji-Yeong yang tidak dijelaskan dengan pasti masih membuka kesempatan pembaca untuk menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi. Kalau saya pribadi suka jenis cerita yang memberi ruang untuk berimajinasi tentang akhir cerita atau kondisi yang dibiarkan menggantung di akhir. Akan tetapi, untuk kasus Ji-Yeong yang realistis dan banyak terjadi di dunia nyata (bagian depresinya, bukan bertukar kepribadian) membuat saya penasaran dan ingin tahu penjelasan ilmiahnya. Tapi dengan adanya kemungkinan cerita yang terlalu ilmiah (yang mungkin tidak terjadi juga seandainya itu dijelaskan), saya berusaha mencukupkan isi ceritanya seperti yang ada sekarang.


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
sumber: https://katoliknews.com/2020/01/30/film-semesta-mulai-tayang-di-bioskop-apa-pertimbangan-produser-mengangkat-sosok-imam-asal-flores/
Beberapa tahun belakangan saya mulai sering membaca berbagai berita dan menonton tayangan yang berkaitan dengan lingkungan. Diawali dengan menonton Cowspiracy, lalu menjalar ke film dan artikel lainnya, bahkan hingga video-video di YouTube. Kadang, semua masalah yang disajikan di dalam film dan tulisan itu membuat saya merasa, meski melakukan perubahan, semua tidak akan ada pengaruhnya, saking parahnya kondisi bumi saat ini. Rasanya sekuat apa pun kita berusaha, hasilnya akan tetap sama, dan bumi akan semakin sakit setiap harinya.
 
Tapi, akhirnya ada satu film tentang lingkungan dengan pendekatan yang sangat indah, halus, dan menyentuh. Namanya Semesta (Semes7a). Film tentang 7 cerita dari 7 orang di berbagai daerah di Indonesia dalam menjaga lingkungan yang mereka tinggali. Ada yang dari Bali, Aceh, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta.

Pengalaman ketika menonton film ini, ada rasa haru dan kagum akan apa yang ketujuh orang ini perbuat. Mungkin salah satu yang terindah menurut saya. Karena ini film dokumenter tentang alam, maka yang ada di layar itulah yang diceritakan. Alam dan pemandangan tidak hanya menjadi latar adegan tetapi memang menjadi sorotan utama. Tidak bisa tidak bangga dengan betapa indah dan beragamnya Indonesia.

Secara cerita film ini memberi tahu bahwa di tengah industrialisasi yang serbacepat dan destruktif, masih ada orang-orang yang bekerja seperti para leluhur kita. Tidak ada yang mengedepankan ego, keserakahan, dan mengejar keuntungan semata tanpa peduli betapa rusaknya alam pada akhirnya. Mereka merasa bahwa hubungan manusia dengan alam itu jauh lebih sakral dan dahsyat dibanding yang kita tahu.

Secara tidak langsung, saya juga semakin yakin bahwa alam, manusia, dan semua yang ada di dalamnya itu saling terhubung. Semua masalah yang ada biasanya berawal dari terputusnya ikatan satu dengan yang lainnya. 

Semesta tidak hanya memberikan pengetahuan baru tentang bagaimana merawat alam, tetapi juga memberikan kita pelajaran tentang keterhubungan manusia dengannya. Sayang, harus diakui bahwa akhir-akhir ini banyak ditemukan fakta bahwa entah mengapa manusia moderen semakin terputus dari alam dan malah menjadi musuh yang sangat kejam. Mengeksploitasi alih-alih merawat, merusak alih-alih menjaga.

Keindahan alam Indonesia diambil dengan sangat-sangat baik. Lansekap hutan, laut, perbukitan, sungai, dan daerah perkotaan berhasil membuat saya merasa bangga atas apa yang kita punya. Rasanya hangat melihat masih ada orang-orang yang bergotong royong menjaga alam dan budaya. Namun ada juga rasa sedih dan iba ketika mereka pun menyadari sepenuhnya bahwa ada yang salah dengan manusia. Tidak semua bisa melawan, karena kekuatan mereka tidak berada di level yang sama. Ini menunjukkan bahwa menjaga alam dan budaya jelas bukan hanya tugas masyarakat. Ada tangan-tangan lain yang harus ikut terlibat.

Salah satu sudut pandang yang diambil--dan menurut saya sangat tepat--adalah tentang agama. Sebagai bangsa yang memiliki banyak agama, Indonesia seharusnya bisa belajar untuk rukun dan bekerja sama. Jika tidak bisa bekerja sama atas dasar agama, maka bekerja samalah atas dasar kemanusiaan. Walaupun berbeda-beda, ternyata ajaran agama mana pun selalu sama. Menyebarkan kebaikan kepada alam dan menjadi manusia yang tidak merusak. Akhlak yang sangat universal dan tidak terbatas pada satu agama.

Banyak hal yang bisa dibahas dari cerita dalam film ini. Saya di tengah-tengah film sedikit mempertanyakan peran pemerintah dalam proses pembangunan yang ramah lingkungan. Semua terlihat sebagai tindakan yang swadaya dari masyarakat. Dengan keterbatasan yang ada--dana, teknologi, pengetahuan, dan akses--mereka harus berusaha keras mencari jalan keluar. Bukankah akan lebih mudah kalau negara dan pihak swasta ikut andil serta?

Untuk cerita tentang budaya sasi di Papua Barat, menurut saya termasuk yang paling menyentuh. Budaya menjaga ekosistem dan biota laut di sana tidak hanya menyoroti sisi agama, terapi juga soal pemberdayaan perempuan. Bagaimana ibu-ibu dan perempuan lain ingin melakukan sasi karena mereka merasa bisa dan berdaya, seperti laki-laki. Perempuan, laki-laki, penduduk desa adat maupun urban, agama apa pun, suku serta etnis,  semua bisa berjuang bersama.
 
Rasa khawatir dan sedih muncul kembali. Seperti yang ditulis di atas, masyarakat Papua Barat--dan wilayah lainnya--menghadapi musuh yang menggunakan alat perusak lingkungan. Bom, racun ikan, dan alat-alat lain yang justru merusak dengan membunuh bibit-bibit ikan sebelum mereka dapat tumbuh. Namun demikian, melihat para perempuan ini berdaya dan berinisiatif menghidupi diri mereka sendiri sangat-sangat mengharukan dan memberi semangat. Memang harus ada optimisme bahwa di masa depan akan ada perubahan.

Secara keseluruhan, Semesta adalah film yang sangat-sangat indah serta berhasil menunjukkan kondisi bumi yang sedang sekarat. Namun Semesta tidak membuat kita takut dan pasrah. Justru film ini membuat kita berpikir untuk melakukan perubahan-perubahan kecil agar bumi makin terjaga dan terawat. Ditambah lagi kenyataan bahwa tidak ada lagi batasan antara gender, agama, suku dan etnis ketika menjaga lingkungan. Karena kerusakan lingkungan akan terasa oleh semua tanpa pandang bulu.

Trailer di sini
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
sumber: https://www.gatra.com/

Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, film keluarga yang berhasil mengetuk pintu memori masa kecil ya. Memori yang membuat tersenyum manis maupun memori yang dipilih untuk dilupakan. Pengalaman saat dan setelah menonton film ini begitu membekas dan tentu saja berkesan.

Dinamika keluarga Narendra dengan isteri dan tiga anaknya, membuka fakta bahwa yang dirasa baik menurut kita belum tentu cocok untuk orang lain. Dalam kasus ini, keputusan seorang ayahlah yang jadi akar permasalahan.

Ketiga anaknya, Angkasa, Aurora, dan Awan, mereka datang dengan cita-cita berbeda dan masalah yang lebih memilih dipendam tak disuarakan.

Angkasa, anak laki-laki tertua dan satu-satunya harus tumbuh besar dengan kewajiban menjaga adik-adik perempuannya. Kewajiban ini membuat dia mengesampingkan keinginannya. Masalah keluarga selalu berhasil masuk ke ranah pribadinya.

Aurora, anak tengah yang sulit terbaca. Anak yang nyeni dan menggunakan studio sebagai tempat pelarian dari hiruk-pikuk keluarganya. Dia merasa sudah lama keluarganya kehilangan dirinya.

Awan, si anak bontot yang sedari dulu tidak pernah bisa memilih keputusannya tanpa lepas dari bayang-bayang ayahnya. Arsitek muda yang ingin mencoba hal-hal baru meski harus berhadapan dengan ayahnya yang murka di ruang tamu.

NKCTHI menjadi film yang membuat saya belajar memahami manusia dengan masalahnya. Selalu ada pertarungan yang mereka hadapi. Diamnya seseorang, penurutnya seseorang, bahkan cerianya seseorang selalu punya cerita di baliknya.

Tokoh-tokoh di sini dibuat memiliki sisi kerapuhan. Ayah yang dalam budaya kita digambarkan sebagai sosok yang kuat dan pantang terlihat rapuh di depan siapa pun, ditunjukkan sisi lemahnya ketika menangis seorang diri. Semakin akhir membuat saya sulit untuk membenci sang Ayah sepenuhnya. Walaupun masalah-masalah ini muncul karena dirinya yang otoriter, adegan-adegan dalam film justru menunjukkan ketidaksempurnaan dan sisi lemahnya.

Film ini diiringi oleh musik-musik yang sangat mendukung cerita. Rehat-nya Kunto Aji dan Untuk Hati yang Terluka dari Isyana Sarasvati sangat menonjol di bagian penting film ini. Live music dari band-band yang ada dan permainan Piano Kale juga membuat film ini lebih bersuara dan ramai...in a good way.

Narasi Awan dan Rehat dari Kunto Aji yang tumpang tindih di awal film, ditambah dengan visual pesawat kertas, awan, dan langit sedikit membuat saya kewalahan. Sebagai manusia yang mudah terdistraksi, momen ini membuat konsentrasi saya agak terbagi. Mata ingin fokus ke terbangnya si pesawat, telinga ingin fokus mendengarkan pikiran Awan, tapi mulut ingin berkaraoke. Hehehe.

Ada hal yang sedikit kurang pas menurut saya di beberapa bagian. Cukup terlihat, tapi masih mudah dilupakan. Walaupun sempat membuat saya sedikit bingung.

Di tengah film, pikiran saya sempat menerawang ke mana-mana ketika intensitas emosi di film semakin meningkat dan para karakter siap meledak dalam keluarga ini. Menduga-duga tentang rahasia yang selama ini sengaja ditutup-tutupi. Tentang masa lalu Awan, rahasia yang disimpan Narendra dan diamnya si Ibu. Takut akan dibuat klise seperti drama lain, ternyata fakta yang ditampilkan syukurnya berbeda.

Nilai plus dari film ini menurut saya pribadi setelah meresapi dan berbagi cerita di luar teater adalah soal intensitas film ini. Penempatan konflik dan bagian yang membuat mata berkaca-kaca disebar di sepanjang film dan tidak difokuskan di bagian akhir seperti kebanyakan drama lain. Sukses membuat saya susah untuk mengambil nafas karena selalu ada bagian yang menegangkan setelah dibawa bersenang-senang sebelumnya.

Sedikit membandingkan dengan film yang beberapa waktu lalu saya tonton, 'Kim Ji-Young, Born 1982', yang menyimpan bagian sedih di setengah akhir film. Meski sama-sama sukses membuat mata berkaca-kaca, tetapi perasaan restless dan rasa intensnya berbeda. NKCTHI lebih menyesakkan. Walaupun ada variabel lain yang mungkin memengaruhi, tapi menurut saya ini yang paling mencolok.

Selain itu, NKCTHI adalah film kedua yang menampilkan wajah baru Jakarta yang metropolitan. Film pertama adalah A Copy of My Mind. Ketika tiga bersaudara saling berbincang di atap gedung, lalu ada kereta (atau KRL?) yang melaju, entah mengapa gambar itu sangat-sangat indah. Sangat sederhana. Hanya ada Angkasa, Aurora, dan Awan. Sinar matahari yang menguning dan akan tenggelam, suara kereta dan rel yang beradu, atap sebuah gedung dan pencakar-pencakar langit yang menjadi latar sukses membuat lansekap yang sangat membekas. 
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Older Posts

About me

Bachelor of political science.

recent posts

Labels

  • #RzBaca
  • #RzMain
  • #RzNonton
  • #RzNulis
  • Buku
  • Cerita
  • Drakor
  • Film
  • gaya hidup
  • Gender
  • Islam
  • Jalan-jalan
  • Jogja
  • Kerja
  • KKN
  • Kuliner
  • Lingkungan
  • Minimalisme
  • Myself
  • Resensi
  • Seni
  • Zero Waste

Blog Archive

  • ▼  2020 (7)
    • ▼  November (1)
      • Coba-coba Kursus Online
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2018 (3)
    • ►  November (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2017 (4)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Desember (1)

Created with by BeautyTemplates| Distributed By Gooyaabi Templates