Judul Buku: Kim
Ji-Yeong, Lahir 1982
Penulis: Cho
Nam-Joo
Alih bahasa:
Iingliana
Penerbit:
PT. Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 192
hlm
Lahir dan tumbuh besar di
lingkungan yang menomorduakan perempuan membuat Kim Ji-Yeong harus merasakan
diskriminasi karenanya. Keluarga yang menjadi lingkungan terdekatnya pun
melakukan tindakan yang membuat Ji-Yeong kehilangan kesabaran. Perlakuan demi
perlakuan yang tidak mengenakkan membuat Ji-Yeong menjadi dewasa dengan membawa
beban, trauma, dan emosi yang terakumulasi membuat dia mengalami gangguan
kejiwaan, bahkan hingga dia menikah dan mempunyai anak. Inilah yang menjadi
cerita dalam buku Kim Ji-Yeong Lahir 1982 karya Cho Nam-Joo.
Kisah di buku ini dimulai dari
kondisi Ji-Yeong yang dirasa semakin hari semakin aneh oleh suaminya, Jeong
Dae-hyeon. Ji-Yeong tanpa dia sadari sendiri sering bertingkah laku seperti
orang lain dan mengubah gaya bicaranya. Awalnya, Dae-hyeon menganggap dia hanya
bercanda, tapi lama-kelamaan kondisi Ji-Yeong ini semakin mengkhawatirkan. Lalu,
dia menemui psikiater untuk berkonsultasi soal masalah istrinya.
Dari sisi cerita, kita akan
dibawa oleh penulis untuk mengetahui bagaimana Ji-Yeong tumbuh dan menjadi
dewasa. Seperti sudah dijelaskan di atas, Ji-Yeong hidup di masa di mana
perempuan sering mengalami ketidakadilan (bahkan hingga sekarang). Dari dia
kecil, dia harus merelakan kenyamanan di rumahnya bagi sang adik laki-laki
satu-satunya. Sementara dia dan kakaknya, Kim Eun-yeong, harus menahan diri
untuk tidak iri atas perlakuan nenek dan ayahnya yang lebih memihak pada
adiknya.
Di masa sekolah, keadaan tidak
menjadi lebih baik. Dia dan teman-teman perempuannya kerap mendapatkan
diskriminasi oleh guru dan masyarakat. Ji-Yeong, lagi-lagi harus menahan diri
untuk tidak marah pada temannya yang sering menjahili dia sampai menangis.
Gurunya pun sangat tidak membantu karena malah mengatakan bahwa teman
laki-lakinya itu sebenarnya menyukai dia. Ucapan yang sebetulnya tidak perlu
diberitahukan kalau pun itu benar.
Semakin jauh kita membaca, akan semakin
banyak perlakuan-perlakuan tidak adil yang dialami para perempuan. Sekali lagi,
banyak dari perlakuan ini disebabkan HANYA karena mereka perempuan. Stigma pada
perempuan yang dilekatkan oleh (kemungkinan) laki-laki membuat posisi perempuan
di luar keluarga (sekolah, tempat kerja, tempat umum) selalu tidak setara.
Sulit rasanya untuk memercayai
bahwa di dunia nyata ada perempuan yang mengalami hal yang sama. Tapi, setelah mencari
tahu lebih banyak, ternyata memang kondisi seperti itu benar-benar ada. Bahkan
banyak yang lebih parah. Cerita Ji-Yeong ini mungkin akan dianggap sebagai
secuil bagian dari diri para perempuan. Terlepas dari cerita yang fiksi,
membaca buku ini sangat membuka mata saya tentang diskriminasi pada perempuan.
Kenapa Perempuan Sering Mendapat Label Negatif?
Ketika Ji-Yeong masuk perguruan
tinggi, dia mengikuti klub mendaki di kampusnya. Hingga di tahun ketiga,
Ji-Yeong yang baru putus dengan kekasihnya, mengikuti perkemahan dengan
angkatan lainnya. Hingga saat dia terdengar para laki-laki sedang berbicarakan
dirinya dan dia pun terbangun dan mendengar percakapan mereka. Ternyata teman
laki-lakinya menyukai Ji-Yeong. Namun, kemudian ada seseorang yang justru
berkata, “Ah, sudahlah. Siapa yang mau mengunyah permen karet yang sudah diludahkan?”
Membandingkan perempuan dengan
benda mati, yang kadang dianggap murahan, jorok, dan tidak berharga bukanlah
hal yang baru. Beberapa waktu lalu, terjadi sebuah kasus pelecehan sosial di
salah satu perguruan tinggi, lalu ada pihak yang memberikan sudut pandang lain
tentang kasus pelecehan ini dengan mengibaratkan si korban adalah ikan asin dan
pelakunya adalah kucing.
Itu bukan hal baru lagi di
kehidupan bermasyarakat. Banyak ungkapan negatif yang diberikan bagi perempuan.
Apapun pilihan yang diambil perempuan, selalu diikuti oleh obrolan miring dari
orang lain. Padahal pilihan itu tidak ada sangkut pautnya dengan orang yang
mengomentari. Perempuan yang ingin bekerja dibilang melawan kodrat. Bagi yang
tidak ingin menikah muda dianggap menunda jodoh dan dianggap perempuan tanpa
aturan. Belum lagi mereka yang ingin mewarnai rambut, bertato, tidak berhijab,
dan melakukan hal-hal yang ‘nggak cewek banget’ padahal tujuannya hanya ingin
mengekspresikan diri.
Ji-Yeong yang dianggap permen
karet yang sudah dikunyah, korban pelecehan yang dianggap ikan asin, sampai
perempuan yang dianggap melawan kodrat mungkin hanya ujung dari gunung es yang
terekspos karena mereka berani melawan aturan yang mendiskriminasi. Di luar
sana mungkin ada yang lebih memilih diam dan mengikuti arus karena tidak mampu
melawan pihak-pihak yang menekan mereka balik. Dan, bisa jadi lebih parah
daripada ketiga contoh di atas.
Rasanya, langkah kecil menuju
kehidupan sosial yang bebas diskriminasi dan menjunjung kesetaraan adalah
dengan tidak melabeli orang lain atas pilihan mereka. Tidak memandang sebelah
mata mereka yang berbeda pilihan. (Paragraf ini merupakan pikiran tanpa basis
akademis. Murni hasil berpikir singkat setelah melihat fenomena di media
sosial).
Suara dan Emosi yang Terpendam Menjadi Bom Waktu
Tidak lama setelah Ji-Yeong
mengetahui dirinya disamakan dengan permen karet yang sudah dikunyah, dia
memilih diam. Hingga keesokan harinya dia bertemu denga laki-laki yang
mengatakan itu. Si lelaki berbasa-basi dengan menanyakan kondisi Ji-Yeong.
Diceritakan bahwa Ji-Yeong ingin berkata,
“Memangnya permen karet bisa tidur?” Hanya saja, dia akhirnya tidak berkata
apa-apa.
Kondisi Ji-Yeong yang sering
memilih untuk tidak berkata apa-apa tentu berdampak buruk bagi dirinya. Dan,
hal ini tidak terjadi sekali-dua kali. Dari masa kecil, Ji-Yeong sering memilih
diam karena terkadang ketika dia bercerita justru dia yang dimarahi. Hingga
dirinya dewasa pun dia masih memilih diam ketika dia dianggap sebagai “ibu-ibu
cafe” yang dikira orang-orang hanya menghamburkan uang suami dan tidak perlu
bekerja.
Puncaknya adalah kondisi Ji-Yeong
yang sering berganti kepribadian menjadi orang lain. Apakah itu dampak dari
kondisi yang menekan Ji-Yeong? Sepertinya belum ada jawaban pasti. Karena diceritakan
psikiater yang menangani kasus Ji-Yeong pun mendiagnosa terlalu cepat
kondisinya. Tapi yang mungkin lebih pasti adalah suara dan emosi orang yang dipendam
pasti akan meledak dan muncul ke permukaan. Entah kapan, di mana, dan dengan
cara apa. Begitu pun pemantiknya yang berupa ha-hal yang tidak disadari.
Kebiasaan memendam emosi dan
suara rasanya bukan hal yang asing. Berbagai alasan dan penyebabnya pun sering
tidak kita sadari. Hal yang dianggap ‘bercandaan’ bagi satu orang mungkin akan
dianggap lain bagi yang memiliki emosi dan masalah. Ini sering terjadi mungkin
karena kita masih belum punya empati yang menyeluruh.
Kalau tadi sebaiknya kita tidak
perlu repot-repot melabeli orang lain dengan label yang suka-suka kita, untuk
kondisi ini (yang bisa terjadi pada siapa pun) sebaiknya kita belajar
mendengarkan bersama-sama. Karena kemampuan mendengarkan itu salah satu yang
tersulit. Sulit karena kita harus berusaha hadir bersama orang yang berkeluh
kesah dan harus memusatkan perhatian. Selain itu, cara merespon pun agak
menjebak. Beberapa ucapan yang kita kira biasa saja ternyata malah menjadi
bumerang yang memperkeruh suasana.
Buku Kim Ji-Yeong Lahir 1982
tidak hanya memberikan kita bayangan tentang misoginisnya kehidupan di Korea
Selatan. Data-data perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang timpang pun
disajikan lengkap dengan sumber jurnal, buku, dan berita. Mulai dari jumlah
angka kelahiran laki-laki yang lebih tinggi, karena banyak aborsi yang
dilakukan ibu-ibu yang mengandung anak perempuan, hingga gap gaji laki-laki dan perempuan di Korea Selatan yang terendah di
negara-negara OECD. Bagi yang mau menindaklanjuti bisa dicek semua sumbernya.
Sebelum membaca buku ini memang
saya sudah menonton filmnya dan membaca berbagai respon dari masyarakat di
sana. Para lelaki banyak yang menilai jelek film ini dan tentu saja para
perempuannya memberi nilai yang tinggi. Bahkan yang paling aneh adalah adanya
petisi yang dilayangkan kepada Blue House
untuk membatalkan penayangan film ini. Tugas Presiden yang banyak dan levelnya
nasional hingga antarnegara masih harus ditambah dengan petisi aneh macam ini
sangat kurang tepat, kan?
Saat membaca cerita ini saya
merasa kalau perubahan kepribadian Ji-Yeong merupakan fenomena unik dan menarik
untuk dijelaskan lebih dalam. Tapi di sisi lain, ada kemungkinan kalau proses
konsultasi Ji-Yeong ini diperdalam dan dijelaskan kronologisnya, jalan
ceritanya akan terlalu teknis(?). Tapi dengan penjelasan singkat di bab akhir,
menunjukkan kalau kondisi Ji-Yeong ini masih kurang dipahami bahkan oleh
psikiaternya. Bahkan psikiaternya mulai meragukan dugaannya. Dari depresi
pascamelahirkan hingga dugaan depresi pengasuhan anak.
Kondisi kejiwaan Ji-Yeong yang
tidak dijelaskan dengan pasti masih membuka kesempatan pembaca untuk menduga-duga
apa yang sebenarnya terjadi. Kalau saya pribadi suka jenis cerita yang memberi
ruang untuk berimajinasi tentang akhir cerita atau kondisi yang dibiarkan
menggantung di akhir. Akan tetapi, untuk kasus Ji-Yeong yang realistis dan
banyak terjadi di dunia nyata (bagian depresinya, bukan bertukar kepribadian)
membuat saya penasaran dan ingin tahu penjelasan ilmiahnya. Tapi dengan adanya
kemungkinan cerita yang terlalu ilmiah (yang mungkin tidak terjadi juga
seandainya itu dijelaskan), saya berusaha mencukupkan isi ceritanya seperti
yang ada sekarang.
0 komentar