Perbandingan Marie Kondo dan Fumio Sasaki
Ada
dua buku yang mengenalkan saya dengan minimalisme. Buku pertama, adalah
Life-changing Magic of Tidying Up dari Marie Kondo, yang sudah dibuat serialnya
di Netflix. Lalu, buku kedua adalah Goodbye, Things dari Fumio Sasaki. Kedua
buku itu membawa dua sudut pandang baru yang ujungnya bermuara ke satu titik:
Hidup dengan sedikit barang membuat kita lebih bahagia. Cuma, dalam proses
membaca kedua buku ini, ada satu hal yang bisa dikomparasi. Komparasi ini yang
saya rasa bisa menjadi perbandingan untuk mereka yang mau hidup dengan sedikit
barang.
Kalau kita membaca buku Marie Kondo
di atas, ada satu pegangan yang selau diulang-ulang: simpan barang yang membuat
kita merasa bahagia. Atau bahasa lainnya, barang yang sparks joy. Inti dari mengurangi barang cara Marie Kondo adalah
supaya kita membuang benda-benda yang tidak membuat kita bahagia sama sekali.
Jadi di akhir proses decluttering
hanya akan ada barang yang membahagiakan kita.
Dalam proses membuang barang-barang,
Marie Kondo selalu menggunakan pendekatan yang sangat personal. Semua benda
kita pegang satu per satu, lalu adanya perasaan bahagia atau tidak saat kita
menyentuh barang itu yang menentukan. Jika kita merasa bahagia saat menyentuh
barang, maka barang itu disimpan. Jika tidak, jangan lupa ucapkan terima kasih
atas kerja si barang yang sudah menjalankan fungsinya dengan baik. Oh, di
serial (dan di buku pun) Tidying Up with Marie Kondo di Netflix diperlihatkan
kalau tiap akan memulai proses decluttering
Marie Kondo selalu menyapa rumah. Seolah memang rumah dan barang itu memiliki
nyawa dan perasaan.
Beralih ke bukunya Fumio Sasaki,
‘Goodbye, Things’, yang sering disebut buku gaya hidup minimalisme ekstrem.
Kalau Marie Kondo masih memiliki kriteria lanjutan soal barang yang harus
disimpan, Fumio Sasaki tidak punya. Di bagian tengah buku, Fumio Sasaki
mengatakan bahwa salah satu cara untuk mengurangi barang adalah dengan membuang
semua barang walaupun itu membawa kebahagiaan. Pendekatan ini yang berbeda jauh
dengan cara Marie Kondo. Tidak heran kalau label ‘Minimalis ekstrem’ diberikan
bagi Sasaki.
Sebagai orang yang masih di tahap
awal mengurangi barang, kadang-kadang kedua cara di atas membuat seolah-olah
ada dua jalan bercabang yang harus dipilih. Memang, ketika kita sudah tahu
bahwa dua jalan itu akan menuju ke ujung yang sama, ada rasa tenang yang
datang. Setidaknya kita tidak perlu khawatir atau meragukan masa depan dan
hasil dari semua proses yang akan dan sudah kita lalui. Namun, memilih jalur
mana yang akan ditempuh juga tidak bisa asal-asalan. Perlu pemikiran yang
serius soal bagaimana cara yang menurut kita terbaik. Tentu ini kembali ke
kesiapan kita sendiri. Apakah akan memilih jalan yang ekstrem yang memberikan
hasil cepat atau jalan yang perlahan-lahan tapi mungkin akan membuat kita
banyak berpikir soal barang yang ada?
Seiring proses mengurangi barang
ini, ada satu hal lain yang tiba-tiba muncul di pikiran: proses menuju hidup
minimalis ini tidak hanya soal hidup dengan sedikit barang dan mengetahui semua
yang kita punya, tapi juga proses untuk mengenali diri sendiri. Dalam
perjalanannya, proses memilih satu di antara dua cara itu membuat saya banyak
berpikir dan menarik kesimpulan soal kepribadian diri. Apakah saya tipe orang
yang langsung bertindak atau berpikir dua-tiga kali. Untuk soal minimalisme ini
mungkin tidak ada salah-benar, tapi soal lain belum tentu.
Ada satu momen di mana saya melakuka
decluttering dengan satu cara di satu
waktu, lalu di waktu yang lain menggunakan cara lainnya. Ternyata, di
perjalanannya saya sering merasa salah dan ‘menyesal’ karena memilih untuk
membuang barang. Satu hal yang saya luput dari penjelasan Fumio Sasaki dan
Marie Kondo adalah saya lupa soal kepentingan barang. Karena terlalu
tergesa-gesa kadang saya langsung membuang semua. Sampai di satu momen saya
baru sadar kalau saya butuh barang itu dan cukup sering. Atau ketika saya
insting saya masih belum terlatih soal mana yang menimbulkan kebahagian mana
yang tidak. Terlalu lama berpikir juga membuat saya menyimpan barang yang,
tidak hanya saya tidak butuhkan, tapi juga tidak sparks joy sama sekali. Biasanya ini karena saya terlalu lama
memegang dan memasukan memori saya soal barang itu.
Proses membuang barang yang
berlangsung lama dan menggunakan dua pendekatan ini memunculkan sebuah hipotesa
pribadi soal pertanyaan saya: Menentukan soal mana cara yang lebih baik harus
dilakukan secara bertahap. Bukan soal cepat-lambatnya membuang barang tapi
tentang mana yang lebih sesuai. Mungkin untuk yang masih lajang, seperti Fumio
Sasaki, membuang semua koleksi akan bisa dilakukan lebih cepat. Tapi apakah
mereka yang sudah berkeluarga bisa melakukan hal itu? Belum tentu. Ada proses
yang sangat privat dan personal soal memilih ini. Jadi tidak bisa menarik
kesimpulan bahwa satu cara ini cocok untuk semua.
Jadi satu hal yang saya rasa cukup
penting adalah...untuk tidak menggunakan standar kita pada orang lain. Memilih
cara mengeliminasi benda di rumah bagi satu orang tidak akan cocok untuk orang
lain. Silakan pilih cara Sasaki atau Marie Kondo, lalu rasakan apa yang
terjadi. Jika kasusnya seperti saya yang ada rasa menyesal, maka bisa kurangi
kecepatan prosesnya dan berpikir lebih matang. Tapi jika cara yang dipilih
sudah pas maka tidak ada masalah. Hanya, yang masih sering terlupa adalah soal
perbedaan proses bagi setiap individu. Satu pendekatan yang cocok bagi kita
belum tentu cocok bagi yang lain. Tidak seharusnya ada pemaksaan dan tidak ada
yang harus merasa terpaksa.
0 komentar