The view |
Jogja dan seni memang sudah tak bisa dipisahkan. Banyak karya seniman-seniman yang dipamerkan, dan beberapa malah sudah jadi agenda rutin tahunan. Animo masyarakat yang didominasi anak muda juga cukup memuaskan dan menandakan masih banyak yang tertarik dengan pameran seni lukis dan instalasi. Khusus di akhir bulan Juni hingga sekitar penghujung Agustus, ada banyak pameran yang diadakan dengan tema dan media yang berbeda. Lima dari sekian banyak pameran seni berhasil saya kunjungi dalam waktu lima jam saja, dan semuanya tidak memungut biaya masuk. Kelima pameran ini sukses memberikan pandangan baru dan berbeda tentang seni yang selama ini tidak saya ketahui dan dalami.
1. Bebas
Pameran ini diselenggarakan di Jogja Gallery yang berada di dekat Alun-alun Utara (Altar) Yogyakarta. Kalau kita sudah sampai di sekitar Altar, bangunan ini sangat mencolok karena di depannya dipasangi kepingan-kepingan seng yang dibuat seperti dinding yang cukup tinggi. Untuk parkir bisa di trotoar depannya dan berbagi lahan dengan Dagadu.
Kerajinan di pameran bebas ini didominasi oleh seni lukis yang tersebar di dua lantai. Walaupun ada juga instalasi-instalasi di beberapa titik. Ketika saya datang, suasananya sangat sangat sepi. Hanya ada panitia dan saya serta teman di dalamnya. Cukup menguntungkan karena saya tidak terganggu oleh keramaian dan bisa berlama-lama mengamati karya di sana.
Ketika berada di dalam, saya banyak berhenti di beberapa karya seni karena banyak yang sulit saya pahami. Sebagai orang yang tidak begitu paham dengan seni, karya-karya yang cenderung abstrak dan perlu ditelaah mendalam memang jadi pekerjaan rumah. Interpretasi si seniman dengan penikmat tentu pasti berbeda. Memang ketika mebahas tentang seni, salah-benar dan kebakuan interpreatasi tidak berlaku sama sekali, semua tergantung cara pandang dan pola pikir yang menyaksikan. Walaupun begitu, saya tetap menikmati keliling-keliling di sana.
2. Sumonar Fest
Awalnya, Sumonar Fest seharusnya menjadi pemberhentian pertama kami sebab hari Senin itu adalah hari terakhirnya. Namun karena kurangnya informasi, saya datang terlalu pagi pameran cahayanya belum dimulai. Haluan pun berubah ke Pameran Bebas lebih dulu. Letak yang saling berdekatan menjadi alasan mengapa.
The pictures |
Saya tidak tahu apa-apa tentang pameran ini, tapi begitu datang ke sana yang kedua kali, langsung disambut dengan permainan video mapping di tangga saat hendak naik ke lantai dua. Di Loop Station ini tidak begitu banyak yang di pamerkan, tetapi karena memang jarang ada yang seperti ini, banyak momen yang terabadikan.
Pameran video mapping seperti ini memang lebih mudah dinikmati dan disaksikan. Permainan cahaya dan permainan komposisi gambar, walaupun kelihatan mudah, tapi pasti butuh kreativitas dan uji coba yang panjang. Itu kalau saya yang coba buat.
3. Celebration of Compassion
Tempat ekshibisi karya seni ini dekat sekali dengan kos saya. Hampir setiap hari saya lewat jalan ini karena memang cukup strategis dan ramai tempat makan. Bangunannya ini baru diresmikan beberapa minggu sebelumnya, saya tidak tahu kalau ini juga jadi tempat pameran seni. Tirtodipuran Link namanya.
Datang dan melihat-lihat lukisan di sini membawa kesan dan perasaan berbeda dengan yang sebelumnya. Suasana di sini, walaupun sama-sama tidak ramai, lebih cerah karena bentuk bangunannya yang berjendela cukup besar-besar sehingga banyak cahaya alami yang masuk. Selain itu, pemilihan warna mayoritas putih juga mempercerah ruangan yang memang besar dan luas. Mungkin anak sekarang akan bilang, “Tempatnya Instagramable banget!”
Dari segi lukisannya pun tidak seabstrak di pameran Bebas. Meskipun saya masih perlu menelaah di beberapa gambar. Cuma, di sini ada satu karya seni yang lebih interaktif. Di salah satu ruangan, ada lima lukisan yang visualnya bisa berubah jika sumber cahaya diubah. Lima lukisan itu, sepertinya terinspirasi dari beberapa pelukis: Van Gogh; Affandi; Pablo Picasso; dan Sudjojono.
Jadi, cara kerja ruangan ini adalah dengan mengganti pencahayaan: penerangan dengan lampu biasa; dengan sinar UV; lalu tanpa penerangan alias gelap gulita. Di setiap penggantian, kelima gambar yang ada di sana kemudian berganti-ganti. Saya tidak tahu bagaimana caranya dan tidak mau pusing-pusing juga untuk mengamati bagaimana karyanya bisa jadi sedemikian rupa. Datang dan menikmati saja sudah lebih dari cukup.
Pengalaman dan pemahaman baru ini menambah pemahaman saya tentang seni. Media apapun ternyata bisa digunakan dan, kembali lagi, tidak ada patokan baku soal bagaimana seharusnya seni disampaikan. Semua yang ada di sekitar bisa jadi penyalur jiwa seni kita.
4. Ora Saru
Ini… pameran yang temanya paling nggak biasa. Karya-karya seni di sini mengangkat tema yang berkaitan dengan seksualitas yang jarang dibicarakan dan dilibatkan dalam kegiatan sehari-hari. Datang ke sini terasa menguji pemahaman dan kedewasaan saya dalam membahas masalah seksualitas. Saya berusaha untuk tidak risih dan tetap bersikap biasa saja, karena memang seperti itulah seharusnya.
Dalam memandang masalah seksualitas, baik dari aspek biologis (reproduksi, pembuahan, hubungan seks, hingga masturbasi) maupun aspek sosial yang melibatkan masyarakat luas (pelecehan, tekanan psikis) hingga kebebasan berekspresi melalui penampilan seharusnya tidak menimbulkan masalah besar. Semua ada di pikiran kita saja. Apakah isi otak kita hanya hal-hal yang berbau seks? Atau kita sudah cukup dewasa dalam memahami bahwa sesungguhnya anggota tubuh orang lain bukanlah objek bagi kita sebagaimana anggota tubuh kita bukan objek bagi orang lain.
Isu seperti ini memang menarik dan bisa membuka banyak percakapan karena banyak lapisan-lapisan yang kita tidak sadari saling terhubung dan berada di bawah payung yang sama: seksualitas. Penyelenggaraan acara seperti ini membuka jalan bagi pengunjung untuk berani berdiskusi dan (seharusnya) merasa nyaman dengan tubuh sendiri.
5. Biennale
Pertama kali dengar tentang Biennale di Jogja itu tahun 2017. Tanpa ekspektasi apa-apa, saya datang ke Jogja National Museum bersama beberapa teman. Biennale kemudian ada lagi di tahun 2019 (karena acaranya memang dua tahunan), tempatnya di Gedung PKKH UGM. Yang saya suka dari sini adalah banyak karya yang interaktif. Bisa dibilang dari lima pameran, ini yang paling berbeda.
Yang saya suka adalah bagian kumpulan foto-foto yang dijadikan sebuah gunungan. Kurang sempat mendalami lebih dalam, tapi memang menarik ketika dilihat. Ada juga instalasi berbentuk telepon-telepon kaleng yang isinya berbeda-beda. Sepertinya memutarkan cerita-cerita orang-orang yang kemudian dikurasi.
Omong-omong, walaupun tempatnya strategis dan masuknya pun gratis, di sini masih kurang ramai pengunjung. Atau setidaknya tidak seramai waktu dua tahun lalu. Kurang tahu apakah karena memang sudah berlangsung beberapa hari, jadi sudah lewat peak time-nya, atau memang banyak yang belum tahu saja.
Kadang kita memang perlu datang ke tempat-tempat seperti ini. Di luar dari keuntungan karena bisa hemat uang, melihat karya seni juga bisa jadi obat bagi mata agar bisa melihat banyak warna dan bentuk yang tidak biasa. Kita dibawa berpikir tentang sebuah karya, dan menemukan banyak hal yang bisa dibahas lebih dalam.
Setiap saya melihat karya seni yang tidak biasa, refleks saya menggeleng-gelengkan kepala saking tidak habis pikirnya. Bagaimana banyak orang di luar sana yang punya daya imajinasi, kreativitas, dan keterampilan yang besar. Membuat iri memang. Namun, datang dan menyaksikan sebuah pameran saja sudah lebih dari cukup untuk saya.
0 komentar