Kayaking di Jogja
Siapa
sangka kalau kita bisa main kayak di Jogja? Dekat pula dari pusat kota.
Itu pertanyaan yang saya ulang terus-menerus dalam hati. Sumber
perekonomian Jogja memang berasal dari pariwisata, tapi saya tidak tahu
kalau banyak daerah yang sedang mencoba mengembangkan potensi
wisatanya, termasuk daerah tempat bermain kayak kemarin. Dari awal
keluar kos hingga kembali, ada beberapa pengalaman dan pertemuan yang
baru saya lihat dan alami. Sebagian besar karena saya tidak menyangka
bahwa tempat seperti ini ada di Jogja.
KKN vibe-nya kerasa banget |
Jadi,
tempat ini berada di Jalan Imogiri. Kalau kita mau ke
Mangunan, jalan yang dilalui persis sama, hanya ini masih sangat di
bawah. Namanya Wisata Air Selopamioro. Kalau mau persisnya, daerah ini
ada di aliran sungai, kalau tidak salah Kali Kuning, yang jembatannya
baru runtuh karena ada banjir bandang sekitar awal tahun ini.
Dari
namanya, desa ini mengedepankan wisata air, karena memang posisinya
berada di sungai yang tidak begitu dangkal dan panjang. Airnya
kehijauan, dan di pinggiran sungai banyak bebatuan sungai putih dengan
berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang lancip dan tajam, ada juga yang
mulus dan berpenampang besar. Arusnya pun tenang walaupun ada beberapa
bagian yang berarus lebih kencang karena ada alirannya agak melandai.
Hamparan batu di sungai ini sangat-sangat luas. Bisa terlihat jelas
karena memang ketika musim kemarau seperti ini air menyusut dan tempat
kita melangkah adalah dasar sungainya.
Tempat kejadian perkara |
Sepertinya
pengadaan tempat wisata ini didorong oleh Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Karena di kayak yang ada,
tertempel logo Kemendes. Begitupun di jaket pelampung yang disediakan.
Kalau memang demikian, ini merupakan langkah yang bagus, karena potensi
di daerah ini memang perlu dikembangkan maksimal. Banyak anak muda yang
beraktifitas di sini, dan ada beberapa warung yang beroperasi. Toilet
pun ada walaupun masih belum dalam bentuk toilet tetap dan sangat
berukuran kecil.
Di
sisi kiri dan kanan desa dan sungai banyak terdapat tebing-tebing dari
pegunungan. Dari kejauhan terlihat dominan warna cokelat dengan
pohon-pohon yang sedang meranggas. Daerah ini memang di kelilingi
tebing-tebing tinggi dan di kakinya banyak lahan pertanian yang masih
aktif digarap warga.
Jalan
ke tempat ini sangat mudah diakses walaupun hanya selebar satu mobil
saja. Dari kota hingga Jalan Imogiri memang sudah diaspal dan sangat
mulus, tetapi begitu masuk ke pedesaan, sebagian besar masih berupa
jalan cor-coran semen. Selama menuju ke sini, akan banyak kita temui
pohon-pohon bambu dan suasana yang agak gersang. Saya pun kurang tahu
apakah mobil bisa masuk atau tidak, kalau pun bisa pasti akan sulit
mencari lahan parkir karena memang belum disediakan di sisi tempat saya
datang. Mungkin bisa diwaspadai juga karena banyak tanda peringatan
bahwa daerah di sekitar sana memang rawan longsor.
Karena
jembatan penghubung di desa ini baru saja runtuh diterjang banjir
bandang. Jadi alternatif untuk pengunjung yang datang dari sisi seberang
tempat persewaan kayak adalah dengan menaiki perahu oranye dari BNPB.
Tidak ada dayung, hanya ada tali yang harus ditarik agar kita sampai ke
ujung lainnya. Cara kerja perahu ini sama dengan getek di sungai-sungai
kecil.
Jalur utama sementaranya |
Saat kami datang, entah mengapa tali penghubung yang harus ditarik itu terikat tidak beraturan (tangled).
Kami sudah naik dan sampai di tengah sungai (masih di bagian dalam),
lalu perahu terhenti karena memang talinya macet dan tidak memungkinkan
kami sampai ke pinggiran sungai. Manusia-manusia di atas kapal sempat
dipenuhi kebingungan. Upaya untuk kembali ke titik awal masih sulit,
berusaha mengurai talinya pun memakan waktu yang lama. Akhirnya datang
seorang bapak yang membantu memanggilkan petugas penyewaan kayak agar
membawa kami ke sana dengan kapal karet, sedangkan beliau mengurai tali
yang terikat itu. Such a life saver.
Singkat
cerita, setelah sampai ke tepian sungai yang lain, perjalanan main
kayak pun segera dimulai. Untuk informasi, kayak di sini masih belum
banyak. Kami datang berempat dan menggunakan dua kayak, masing-masing
diisi dua orang. Biaya yang kami keluarkan hanya sebesar Rp10.000/orang
untuk 40 menit. Bahkan rasanya kami main di air lebih dari 40 menit.
Setelah bayar, kami memilih jaket pelampung dan dayung yang ada di
sekitar tempat registrasi. Untuk tas dan barang berharga bisa dititipkan
di meja registrasi karena memang tidak banyak orang yang datang. Hanya
ada kami waktu itu.
Tempat istirahat kongkow-kongkow |
Wilayah
yang bisa disusuri cukup panjang. Ujung yang menjadi patokan adalah
ketika arus sudah mulai deras. Begitu mulai mendekati, lebih baik
langsung putar balik saja. Di area yang tenang, sebenarnya nyaman untuk
diisi dengan foto-foto pemandangan, swafoto, dan bahkan duduk diam dan
menikmati angin. Suasananya sangat tenang. Karena di desanya sendiri
tidak banyak motor-motor yang lalu lalang. Disarankan untuk datang pagi
sekitar jam 8-9 pagi sebelum matahari meninggi.
All in all,
kayaking di tempat ini selain jadi pengalaman pertama, juga jadi
pembersih mata karena pemandangan dan suasananya sangat jauh dengan yang
ada di kota. Mungkin yang menarik adalah kontribusi Kemendesa di dalam
upaya pembangunan tempat-tempat wisata seperti ini. Program yang sangat
membantu tapi perlu tindak lanjut dan pengawasan kualitas semua sisi.
Fasilitas yang masih apa adanya pun sudah bagus, dengan pendampingan
mungkin akan lebih baik dari ini.
Makanan
yang dijual pun rasanya enak dan murah, kami beli batagor waktu itu.
Harga batagornya pun hanya Rp5.000 saja, dengan porsi yang agak lebih
banyak. Tidak seperti kebanyakan tempat wisata yang mematok harga tinggi
untuk sesuatu yang kualitasnya pas-pasan. Ada banyak faktor, memang.
Tidak ada yang bisa menjanjikan bahwa ketika tempat ini ramai, semua
akan tetap sama. Tapi, keadaan yang ada saja sudah merupakan awal yang
baik. Kudos, untuk pengembang dan staf di lapangan.
n.b.
Kayak yang saya tumpangi sempat terjungkal karena salah ide, kesalahan
kalkulasi, dan tidak ada kegesitan. Ingin diceritakan, tapi sebaiknya
jangan. Intinya…saya dan kawan satu kayak bagaikan pohon dan kebun dalam
lagu “tik…tik…bunyi hujan di atas genting” alias basah semua.
Setelah terjungkal |
n.b.b.
Waktu kami terjungkal, hidup menunjukkan faktanya yang tak terelakkan.
Hal pertama yang dikhawatirkan adalah…ponsel. Bukan kondisi badan, kaki,
tangan, atau pun kemungkinan terluka di anggota tubuh mana pun. Itu
masalah prioritas saja sebenarnya.
0 komentar