Kayaking di Jogja

by - 8/11/2019 06:34:00 PM





Siapa sangka kalau kita bisa main kayak di Jogja? Dekat pula dari pusat kota. Itu pertanyaan yang saya ulang terus-menerus dalam hati. Sumber perekonomian Jogja memang berasal dari pariwisata, tapi saya tidak tahu kalau banyak daerah yang sedang mencoba mengembangkan potensi wisatanya, termasuk daerah tempat bermain kayak kemarin. Dari awal keluar kos hingga kembali, ada beberapa pengalaman dan pertemuan yang baru saya lihat dan alami. Sebagian besar karena saya tidak menyangka bahwa tempat seperti ini ada di Jogja.



KKN vibe-nya kerasa banget
Jadi, tempat ini berada di Jalan Imogiri. Kalau kita mau ke Mangunan, jalan yang dilalui persis sama, hanya ini masih sangat di bawah. Namanya Wisata Air Selopamioro. Kalau mau persisnya, daerah ini ada di aliran sungai, kalau tidak salah Kali Kuning, yang jembatannya baru runtuh karena ada banjir bandang sekitar awal tahun ini.

Dari namanya, desa ini mengedepankan wisata air, karena memang posisinya berada di sungai yang tidak begitu dangkal dan panjang. Airnya kehijauan, dan di pinggiran sungai banyak bebatuan sungai putih dengan berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang lancip dan tajam, ada juga yang mulus dan berpenampang besar. Arusnya pun tenang walaupun ada beberapa bagian yang berarus lebih kencang karena ada alirannya agak melandai. Hamparan batu di sungai ini sangat-sangat luas. Bisa terlihat jelas karena memang ketika musim kemarau seperti ini air menyusut dan tempat kita melangkah adalah dasar sungainya.

Tempat kejadian perkara
Sepertinya pengadaan tempat wisata ini didorong oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Karena di kayak yang ada, tertempel logo Kemendes. Begitupun di jaket pelampung yang disediakan. Kalau memang demikian, ini merupakan langkah yang bagus, karena potensi di daerah ini memang perlu dikembangkan maksimal. Banyak anak muda yang beraktifitas di sini, dan ada beberapa warung yang beroperasi. Toilet pun ada walaupun masih belum dalam bentuk toilet tetap dan sangat berukuran kecil.

Di sisi kiri dan kanan desa dan sungai banyak terdapat tebing-tebing dari pegunungan. Dari kejauhan terlihat dominan warna cokelat dengan pohon-pohon yang sedang meranggas. Daerah ini memang di kelilingi tebing-tebing tinggi dan di kakinya banyak lahan pertanian yang masih aktif digarap warga.

Jalan ke tempat ini sangat mudah diakses walaupun hanya selebar satu mobil saja. Dari kota hingga Jalan Imogiri memang sudah diaspal dan sangat mulus, tetapi begitu masuk ke pedesaan, sebagian besar masih berupa jalan cor-coran semen. Selama menuju ke sini, akan banyak kita temui pohon-pohon bambu dan suasana yang agak gersang. Saya pun kurang tahu apakah mobil bisa masuk atau tidak, kalau pun bisa pasti akan sulit mencari lahan parkir karena memang belum disediakan di sisi tempat saya datang. Mungkin bisa diwaspadai juga karena banyak tanda peringatan bahwa daerah di sekitar sana memang rawan longsor.

Karena jembatan penghubung di desa ini baru saja runtuh diterjang banjir bandang. Jadi alternatif untuk pengunjung yang datang dari sisi seberang tempat persewaan kayak adalah dengan menaiki perahu oranye dari BNPB. Tidak ada dayung, hanya ada tali yang harus ditarik agar kita sampai ke ujung lainnya. Cara kerja perahu ini sama dengan getek di sungai-sungai kecil. 

Jalur utama sementaranya
Saat kami datang, entah mengapa tali penghubung yang harus ditarik itu terikat tidak beraturan (tangled). Kami sudah naik dan sampai di tengah sungai (masih di bagian dalam), lalu perahu terhenti karena memang talinya macet dan tidak memungkinkan kami sampai ke pinggiran sungai. Manusia-manusia di atas kapal sempat dipenuhi kebingungan. Upaya untuk kembali ke titik awal masih sulit, berusaha mengurai talinya pun memakan waktu yang lama. Akhirnya datang seorang bapak yang membantu memanggilkan petugas penyewaan kayak agar membawa kami ke sana dengan kapal karet, sedangkan beliau mengurai tali yang terikat itu. Such a life saver.

Singkat cerita, setelah sampai ke tepian sungai yang lain, perjalanan main kayak pun segera dimulai. Untuk informasi, kayak di sini masih belum banyak. Kami datang berempat dan menggunakan dua kayak, masing-masing diisi dua orang. Biaya yang kami keluarkan hanya sebesar Rp10.000/orang untuk 40 menit. Bahkan rasanya kami main di air lebih dari 40 menit. Setelah bayar, kami memilih jaket pelampung dan dayung yang ada di sekitar tempat registrasi. Untuk tas dan barang berharga bisa dititipkan di meja registrasi karena memang tidak banyak orang yang datang. Hanya ada kami waktu itu.

Tempat istirahat kongkow-kongkow
Wilayah yang bisa disusuri cukup panjang. Ujung yang menjadi patokan adalah ketika arus sudah mulai deras. Begitu mulai mendekati, lebih baik langsung putar balik saja. Di area yang tenang, sebenarnya nyaman untuk diisi dengan foto-foto pemandangan, swafoto, dan bahkan duduk diam dan menikmati angin. Suasananya sangat tenang. Karena di desanya sendiri tidak banyak motor-motor yang lalu lalang. Disarankan untuk datang pagi sekitar jam 8-9 pagi sebelum matahari meninggi.

All in all, kayaking di tempat ini selain jadi pengalaman pertama, juga jadi pembersih mata karena pemandangan dan suasananya sangat jauh dengan yang ada di kota. Mungkin yang menarik adalah kontribusi Kemendesa di dalam upaya pembangunan tempat-tempat wisata seperti ini. Program yang sangat membantu tapi perlu tindak lanjut dan pengawasan kualitas semua sisi. Fasilitas yang masih apa adanya pun sudah bagus, dengan pendampingan mungkin akan lebih baik dari ini.

Makanan yang dijual pun rasanya enak dan murah, kami beli batagor waktu itu. Harga batagornya pun hanya Rp5.000 saja, dengan porsi yang agak lebih banyak. Tidak seperti kebanyakan tempat wisata yang mematok harga tinggi untuk sesuatu yang kualitasnya pas-pasan. Ada banyak faktor, memang. Tidak ada yang bisa menjanjikan bahwa ketika tempat ini ramai, semua akan tetap sama. Tapi, keadaan yang ada saja sudah merupakan awal yang baik. Kudos, untuk pengembang dan staf di lapangan.

n.b. Kayak yang saya tumpangi sempat terjungkal karena salah ide, kesalahan kalkulasi, dan tidak ada kegesitan. Ingin diceritakan, tapi sebaiknya jangan. Intinya…saya dan kawan satu kayak bagaikan pohon dan kebun dalam lagu “tik…tik…bunyi hujan di atas genting” alias basah semua.

Setelah terjungkal
n.b.b. Waktu kami terjungkal, hidup menunjukkan faktanya yang tak terelakkan. Hal pertama yang dikhawatirkan adalah…ponsel. Bukan kondisi badan, kaki, tangan, atau pun kemungkinan terluka di anggota tubuh mana pun. Itu masalah prioritas saja sebenarnya.

You May Also Like

0 komentar