Akhirnya ke JAFF juga! Setelah tahun lalu telat dapet info untuk pemutaran filmnya dan kesel sendiri karena banyak temen yang bilang bagus-bagus filmya. Berkat info yang bertebaran di media sosial, akhirnya dengan tepat waktu bisa booking beberapa film. Penasaran ke film dari luar Indonesia sih. Karena beberapa film Indonesia udah pernah nonton sebelumnya. Dan...dua film pertama yang saya tonton adalah Nakorn-Sawan dan Parcel. Ada beberapa poin menarik yang saya dapat dari dua film ini. Banyak hal baru yang bisa dipelajari dan...memberi pandangan baru soal film sendiri.
Nakorn-Sawan
Nakorn-Sawan ini semacam gabungan antara film dokumenter dan
yang bukan. Kalau di internet banyak disebut film dokudrama. Dokumenternya
diambil dari kumpulan-kumpulan video pendek almarhumah ibunya yang meninggal
karena sakit dan ayahnya yang bekerja di kebun karet. Bagian dramanya agak
fokus ke kisah Aoey yang baru pulang ke Thailand. Bagian drama ini diceritakan
saat Aoey dan ayahnya melakukan upacara ke sungai dengan dua biksu dan kenalan
atau tetangganya.
sumber: https://we-love-cinema.com/movies/33802-nakorn-sawan/ |
Nakorn-Sawan sih tipe-tipe film yang irit dialog. Banyak
diamnya dan cenderung hening. Pengalaman nonton Nakorn-Sawan mirip waktu saya
nonton Sekala Niskala. Mungkin karena sedikit dialog tadi, pengambilan
gambarnya harus dibuat nggak biasa. Di bagian drama, ada pengambilan gambar
yang simple dan kelihatannya raw banget. Saya suka. Dan di bagian dokumenter,
itu bener-bener santai. Kaya anak yang ngerekam kedua orang tuanya lagi ngobrol
aja.
Ada review yang bilang kalau film ini sangat terasa unsur
meditatifnya. Khususnya tentang kematian. Memang rasanya demikian. Apalagi
ketika Ibu si sutradara bilang kalau dia sudah tidak takut mati lagi. Perubahan
kondisi sang Ibu dari yang tadinya sehat sampai jadi sakit dan tidak sesegar
dulu, terdokumentasikan dan ditampilkan dengan sangat baik. Momen-momen
nostalgia tergambar dengan jelas. Salah satu bagian favorit saya adalah waktu
sang sutradara bertanya ke Ibunya tentang foto-foto masa kecil,
kenangan-kenangan Ibunya sebelum meninggal, ketika keluarga mereka masih utuh.
Parcel
Kalau film Parcel ini tentang sepasang suami-istri yang
sama-sama seorang dokter, Shouvik dan Nandini. Nandini sendiri diceritakan
sudah berhenti dari pekerjaannya. Sampai ketika hari ulang tahunnya, Nandini
mendapatkan parcel tanpa nama pengirim. Hampir setiap hari parcel-parcel itu
datang dan lama-kelamaan membuat hidupnya dan keluarga tidak tenang. Semua
saling menduga tentang siapa yang mengirim. Shouvik kemudian menduga sang istri
memiliki penguntit atau penggemar rahasia karena parcel-parcel itu berisi
foto-foto Nandini. Ada yang diambil belasan tahun lalu, ada juga yang diambil
dua hari sebelum parcel itu dikirim.
sumber: https://asianmoviepulse.com/2019/10/film-review-the-parcel-2019-by-indrasis-acharya/ |
Sepanjang film rasanya kita akan dibuat menduga-duga tentang
siapa pengirim parcel itu. Plus motifnya. Tapi, sebelum sampai ke sana (yang
nggak bakal sampai juga sebenernya), di film ini ada sisipan-sisipan lain yang
makin membuat kita menebak-nebak bagian akhir dari film ini. Isu perselingkuhan
paling terasa karena baik Shouvik dan Nandini sama-sama pernah berselingkuh.
Nandini kemudian menduga kalau temannya yang merasa punya dendamlah pelakunya,
tapi kemudian cerita diarahkan ke kejadian yang berbeda. Nandini akhirnya
menghabiskan waktu untuk menduga-duga hingga kesehatannya mental dan fisiknya
jadi korban.
Secara pribadi saya suka film yang latar tempatnya dibuat
apa adanya. Kalau memang tempatnya kotor dan rusak, ya tunjukkan saja
kerusakannya tanpa di-retouch selama
itu nggak ngaruh ke cerita ya. Atau kalau memang ada isu atau masalah sosial,
politik, dan sebagainya di daerah itu, ya...kasih lihat saja apa adanya.
Kondisi rumah sakit yang gedungnya dibuat bapuk, pelayanan jasa yang masih
harus suap sana-sini untuk dapet fasilitas dasar, sampai masyarakat yang masih
suka ringan tangan dan emosian khususnya, malah bisa buat kita tertarik secara
emosional karena di sini pun yang macam itu ada di mana-mana.
Mirip-mirip seperti film A Copy of My Mind-nya Joko Anwar.
Kalau di Indonesia masih banyak koruptor yang hidup mewah di penjara, liatin
aja. Walaupun yang di ACMM masih nggak seberapa dibanding yang kejadian
sebenarnya. Apalagi yang disidak sama Mbak Nana. Kalau di Jakarta masih ada
demo dan kerusuhan, kasih liat aja apa adanya. Kalau diolah dengan baik,
kondisi-kondisi sosial, politik, dan ekonomi di suatu tempat malah bisa jadi
keunikan di sebuah film sendiri yang mungkin negara-negara maju nggak punya.
Film ini mungkin agak panjang ya buat sebagian orang. Tapi,
ini beda sama Nakorn-Sawan yang minim dialog dan banyak heningnya. Ada sih
beberapa momen yang fokus di musiknya aja. Tapi Parcel ini lebih banyak
emosinya. Mulai dari bahagia, bingung, sedih, marah, sampai putus asa. Jadi
masih ada dinamikanya buat saya. Tapi ya itu, bikin greget karena kita nggak
nyampe-nyampe ke akhir dan di akhir pun nggak dijelaskan secara gamblang siapa
si pengirim parcel ini.
Karena pas pemutaran film ada sutradara dan aktor wanitanya,
mereka bilang kalau film ini termasuk ke dalam film yang nggak menjelaskan
secara eksplisit tentang ceritanya ke penonton (keliatan sih). Jadi itu
terserah penonton untuk menginterpretasikan si parcel tadi. Apakah itu
perumpamaan? Mungkin. Menebak siapa pelakunya, silakan saja. Banyak diskusi
atau teori yang bisa muncul dari proses kita menerjemahkan apa pun di film ini.
Bagaimana kondisi di Kolkata yang masih agak berantakan, sistem kerja medis,
sampai ke pemerataan akses kesehatan pun rasanya bisa dibahas buat yang ingin
lebih kenal dengan Bengali Cinema ini.
Tapi, kalau sudah di tahap menginterpretasikan sebuah karya
seni, ya jangan pernah berusaha menentukan mana benar-salah atau baik-buruknya.
Karena kalau sudah ada label salah-benar, berarti ada kemungkinan kalau
pandangan kita bisa aja salah. Lebih baik dinikmati aja. Perbedaan pendapat
atau interpretasi tadi juga hal yang lumrah karena proses berpikir kita kan
berbeda-beda.
n.b. Musik pembukanya manis banget!
n.b.b. Selamat memasuki usia ke-100 tahun untuk industri
film Bengali! Keren ya bisa sustain sampai selama itu.
0 komentar