The Unsaid Words

of Rizqi Maulana

Pages

  • Home
  • About Me
  • Contact
  • Gallery
  • Writings
Sumber: https://www.imdb.com/title/tt8951086/


Masih dari film yang saya tonton di JAFF kemarin, film ini kayaknya termasuk banyak peminatnya. Studionya juga hampir full house waktu itu. Padahal bukan film pembuka atau penutup. House of Hummingbird adalah film dari Korea Selatan. Ceritanya soal hubungan sebuah keluarga di tahun 1994 yang kurang begitu harmonis. Eunhee, anak bungsu dari tiga bersaudara harus hidup di keluarga yang kalau saya lihat kurang memberi perhatian dan sering ribut. Kakak laki-lakinya, yang sedang fokus belajar untuk tes masuk kuliah sering memukuli dia. Kakak perempuannya? Hhh.... dia sering bolos belajar dan malah pacaran sampai pulang malam. Ayahnya aja sampai sudah bosan untuk marah-marah.


Sepanjang film, kita bakal banyak melihat kehidupan yang Eunhee alami. Pertemanan, kenakalan remaja, sampai cinta-cintaan anak baru gede. Kita juga harus melihat bagaimana di hidup Eunhee ini banyak sekali ketidakadilan. Kalau diceritakan satu-satu jadinya spoiler ya...dan kepanjangan juga. Tapi, untungnya ada seorang yang jadi penengah dan mengerti kondisi Eunhee. Miss Youngji. Guru Bahasa Mandarin di tempat dia kursus selesai sekolah. Kalau kehidupan Eunhee ini macam padang pasir yang panas dan melelahkan, kelas Bahasa Mandarin ini adalah oasenya. Eunhee bisa bebas bercerita dan perlahan kedekatan mereka semakin erat.

House of Hummingbird yang mengambil latar tahu 1994 juga bisa menunjukkan tren yang sedang terjadi di sana waktu era itu. Misalnya Eunhee yang masih pakai pager dan telepon umum buat telepon gebetannya setidaknya jadi penanda waktu yang cukup mewakili. Gaya pakaian Eunhee juga 90-an banget. Nggak begitu kekinian dan asal-asalan sih.

Unsur drama dan kompleksitas ceritanya juga lebih banyak. Kalau dibuat mind map, pusatnya itu Eunhee. Lalu bercabang ke masalah keluarga, cinta, persahabatan, kesehatan mental, dan pencarian jati diri. Kadang kita bisa kasihan sama Eunhee, tapi...kadang juga bisa keseeeeel banget. Apalagi di bagian pembuka film.

Yang cukup berani adalah penggambaran kisah cinta anak-anak perempuan di usia SMP. Eunhee yang ditaksir anak cewek lain. Mereka pun saling suka dan sampai berani ciuman pipi. Tapi apa anak SMP sudah paham sama cinta dan semacamnya? Dapat infomasi dari mana ya kira-kira? Kalau mereka masih pakai pager, internet dan akses informasi juga belum semarak sekarang. Kepo aja gitu jadinya. Juga...apa tahun 1994 sudah pada berani ya di sana? Atau ada nggak ya represi soal itu?

Kalau ada yang bikin saya penasaran mungkin pas bagian *spoiler alert* Eunhee dipukul oleh kakaknya sampai telinganya sakit berdengung. Dia terus datang ke dokter dan akhirnya dokter tanya kenapa kok gendang telinganya sampai sobek. Eunhee nggak jawab apa-apa. Dokternya pun langsung menawarkan pembuatan surat keterangan pemeriksaan. Eunhee yang nggak paham akhirnya nanya buat apa surat itu. Dokternya bilang, “Buat bukti (for evidence).”

Kalau dokternya bisa langsung nebak Eunhee dipukul (walaupun bisa aja dipukul selain keluarga), berati kejadian macam itu udah sering terjadi kan? Dan...karena biasanya yang saya tahu banyak filmmaker yang memasukan unsur-unsur atau kondisi sosial, politik, dan ekonomi di tempat ceritanya ke dalam film, apa mungkin pada tahun segitu kekerasan domestik sudah sering terjadi? Jadi penasaran aja sama kondisi itu dua puluh tahun setelahnya.

Dan...kayaknya sistem pendidikan dan pola pikir orang tua masih sama aja di mana-mana. Banyak anak yang harus belajar keras karena ada tuntutan dari orang tua agar sukses dan masuk ke jurusan tertentu biar masa depannya agak cerah dan “nggak berakhir kaya ibu dan bapak”. 

Film ini juga sukses menyilaukan mata saya. Secara harfiah. Karena banyak adegan malam hari yang agak redup dan gelap tiba-tiba langsung berganti ke siang hari dan brightness-nya full nggak kaleng-kaleng. Yang disorot langit pula. Mantap!

Bagian akhir film mungkin banyak yang bingung atau pengen kejelasan. Tapi ya balik lagi, karena ilmnya memang lama, hampir dua jam tiga puluh menit, kalau mau akhirnya jelas dan terbuka mungkin bisa sampai tiga jam filmnya selesai. Atau, bagian tengah film dipotong beberapa menit. Karena nggak bisa menyenangkan semua pihak, jadi ya...apa yang dirasa baik sama pembuat filmnya ya yang ada di film sepertinya.

Lagi, seperti dua film yang sebelumnya, banyak pesan yang muncul di dialog atau gestur pemain. Bagian monolog Miss Youngji di akhir film harus banget didengerin sampai akhir. Karena saya—lagi-lagi—nggak fokus, jadi nggak bisa nangkep semuanya. Dasar aku.

Kalau film ini tayang reguler dan masuk Indonesia, sangat-sangat layak untuk masuk daftar tontonan. Dua jam yang nggak terasa-terasa banget lamanya. Dan mungkin membuat kita mempertanyakan banyak hal di dalamnya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Akhirnya ke JAFF juga! Setelah tahun lalu telat dapet info untuk pemutaran filmnya dan kesel sendiri karena banyak temen yang bilang bagus-bagus filmya. Berkat info yang bertebaran di media sosial, akhirnya dengan tepat waktu bisa booking beberapa film. Penasaran ke film dari luar Indonesia sih. Karena beberapa film Indonesia udah pernah nonton sebelumnya. Dan...dua film pertama yang saya tonton adalah Nakorn-Sawan dan Parcel. Ada beberapa poin menarik yang saya dapat dari dua film ini. Banyak hal baru yang bisa dipelajari dan...memberi pandangan baru soal film sendiri.


Nakorn-Sawan

Nakorn-Sawan ini semacam gabungan antara film dokumenter dan yang bukan. Kalau di internet banyak disebut film dokudrama. Dokumenternya diambil dari kumpulan-kumpulan video pendek almarhumah ibunya yang meninggal karena sakit dan ayahnya yang bekerja di kebun karet. Bagian dramanya agak fokus ke kisah Aoey yang baru pulang ke Thailand. Bagian drama ini diceritakan saat Aoey dan ayahnya melakukan upacara ke sungai dengan dua biksu dan kenalan atau tetangganya.

sumber: https://we-love-cinema.com/movies/33802-nakorn-sawan/

Bagian dokumenter dan drama ini berjalan paralel dan ada momen dimana tokoh Aoey ini semacam perwujudan si pembuat film dengan waktu setelah ibunya meninggal dunia. Di awal memang saya agak susah untuk dapat inti dari filmnya. Tapi, ketika ada bagian yang membahas soal sekolah film dan master degree, baru ada kejelasan soal film ini. Buat orang lain mungkin ada yang menangkap lebih cepat?

Nakorn-Sawan sih tipe-tipe film yang irit dialog. Banyak diamnya dan cenderung hening. Pengalaman nonton Nakorn-Sawan mirip waktu saya nonton Sekala Niskala. Mungkin karena sedikit dialog tadi, pengambilan gambarnya harus dibuat nggak biasa. Di bagian drama, ada pengambilan gambar yang simple dan kelihatannya raw banget. Saya suka. Dan di bagian dokumenter, itu bener-bener santai. Kaya anak yang ngerekam kedua orang tuanya lagi ngobrol aja. 

Ada review yang bilang kalau film ini sangat terasa unsur meditatifnya. Khususnya tentang kematian. Memang rasanya demikian. Apalagi ketika Ibu si sutradara bilang kalau dia sudah tidak takut mati lagi. Perubahan kondisi sang Ibu dari yang tadinya sehat sampai jadi sakit dan tidak sesegar dulu, terdokumentasikan dan ditampilkan dengan sangat baik. Momen-momen nostalgia tergambar dengan jelas. Salah satu bagian favorit saya adalah waktu sang sutradara bertanya ke Ibunya tentang foto-foto masa kecil, kenangan-kenangan Ibunya sebelum meninggal, ketika keluarga mereka masih utuh.

Sebenarnya tiap nonton film yang minim dialog semacam ini agak takut-takut juga. Kadang malah jadi bosan dan nggak fokus lagi ke cerita. Di beberapa bagian emang agak bikin susah fokus karena sibuk menduga-duga dan pengen cepet-cepet ganti adegan. Apa tipe-tipe film festival emang seperti ini? Mungkin film slow-paced semacam ini nggak bisa dinikmati oleh semua orang. Apalagi yang bosenan. Tapi biasanya justru film kaya gini itu punya makna yang cukup dalam. Walaupun biasanya keselip di ekspresi muka atau gestur si aktornya sih. Itu PR buat saya yang suka gagal fokus dan sering ngalor-ngidul mikir yang lain.

 



Parcel

Kalau film Parcel ini tentang sepasang suami-istri yang sama-sama seorang dokter, Shouvik dan Nandini. Nandini sendiri diceritakan sudah berhenti dari pekerjaannya. Sampai ketika hari ulang tahunnya, Nandini mendapatkan parcel tanpa nama pengirim. Hampir setiap hari parcel-parcel itu datang dan lama-kelamaan membuat hidupnya dan keluarga tidak tenang. Semua saling menduga tentang siapa yang mengirim. Shouvik kemudian menduga sang istri memiliki penguntit atau penggemar rahasia karena parcel-parcel itu berisi foto-foto Nandini. Ada yang diambil belasan tahun lalu, ada juga yang diambil dua hari sebelum parcel itu dikirim.

sumber: https://asianmoviepulse.com/2019/10/film-review-the-parcel-2019-by-indrasis-acharya/

Sepanjang film rasanya kita akan dibuat menduga-duga tentang siapa pengirim parcel itu. Plus motifnya. Tapi, sebelum sampai ke sana (yang nggak bakal sampai juga sebenernya), di film ini ada sisipan-sisipan lain yang makin membuat kita menebak-nebak bagian akhir dari film ini. Isu perselingkuhan paling terasa karena baik Shouvik dan Nandini sama-sama pernah berselingkuh. Nandini kemudian menduga kalau temannya yang merasa punya dendamlah pelakunya, tapi kemudian cerita diarahkan ke kejadian yang berbeda. Nandini akhirnya menghabiskan waktu untuk menduga-duga hingga kesehatannya mental dan fisiknya jadi korban.

Secara pribadi saya suka film yang latar tempatnya dibuat apa adanya. Kalau memang tempatnya kotor dan rusak, ya tunjukkan saja kerusakannya tanpa di-retouch selama itu nggak ngaruh ke cerita ya. Atau kalau memang ada isu atau masalah sosial, politik, dan sebagainya di daerah itu, ya...kasih lihat saja apa adanya. Kondisi rumah sakit yang gedungnya dibuat bapuk, pelayanan jasa yang masih harus suap sana-sini untuk dapet fasilitas dasar, sampai masyarakat yang masih suka ringan tangan dan emosian khususnya, malah bisa buat kita tertarik secara emosional karena di sini pun yang macam itu ada di mana-mana.

Mirip-mirip seperti film A Copy of My Mind-nya Joko Anwar. Kalau di Indonesia masih banyak koruptor yang hidup mewah di penjara, liatin aja. Walaupun yang di ACMM masih nggak seberapa dibanding yang kejadian sebenarnya. Apalagi yang disidak sama Mbak Nana. Kalau di Jakarta masih ada demo dan kerusuhan, kasih liat aja apa adanya. Kalau diolah dengan baik, kondisi-kondisi sosial, politik, dan ekonomi di suatu tempat malah bisa jadi keunikan di sebuah film sendiri yang mungkin negara-negara maju nggak punya.

Film ini mungkin agak panjang ya buat sebagian orang. Tapi, ini beda sama Nakorn-Sawan yang minim dialog dan banyak heningnya. Ada sih beberapa momen yang fokus di musiknya aja. Tapi Parcel ini lebih banyak emosinya. Mulai dari bahagia, bingung, sedih, marah, sampai putus asa. Jadi masih ada dinamikanya buat saya. Tapi ya itu, bikin greget karena kita nggak nyampe-nyampe ke akhir dan di akhir pun nggak dijelaskan secara gamblang siapa si pengirim parcel ini.

Karena pas pemutaran film ada sutradara dan aktor wanitanya, mereka bilang kalau film ini termasuk ke dalam film yang nggak menjelaskan secara eksplisit tentang ceritanya ke penonton (keliatan sih). Jadi itu terserah penonton untuk menginterpretasikan si parcel tadi. Apakah itu perumpamaan? Mungkin. Menebak siapa pelakunya, silakan saja. Banyak diskusi atau teori yang bisa muncul dari proses kita menerjemahkan apa pun di film ini. Bagaimana kondisi di Kolkata yang masih agak berantakan, sistem kerja medis, sampai ke pemerataan akses kesehatan pun rasanya bisa dibahas buat yang ingin lebih kenal dengan Bengali Cinema ini.

Tapi, kalau sudah di tahap menginterpretasikan sebuah karya seni, ya jangan pernah berusaha menentukan mana benar-salah atau baik-buruknya. Karena kalau sudah ada label salah-benar, berarti ada kemungkinan kalau pandangan kita bisa aja salah. Lebih baik dinikmati aja. Perbedaan pendapat atau interpretasi tadi juga hal yang lumrah karena proses berpikir kita kan berbeda-beda.

n.b. Musik pembukanya manis banget!
n.b.b. Selamat memasuki usia ke-100 tahun untuk industri film Bengali! Keren ya bisa sustain sampai selama itu.


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

Bachelor of political science.

recent posts

Labels

  • #RzBaca
  • #RzMain
  • #RzNonton
  • #RzNulis
  • Buku
  • Cerita
  • Drakor
  • Film
  • gaya hidup
  • Gender
  • Islam
  • Jalan-jalan
  • Jogja
  • Kerja
  • KKN
  • Kuliner
  • Lingkungan
  • Minimalisme
  • Myself
  • Resensi
  • Seni
  • Zero Waste

Blog Archive

  • ►  2020 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2019 (14)
    • ►  Desember (3)
    • ▼  November (3)
      • Kisah Hidup Anak Gadis Korea Selatan di House of H...
      • Impresi Pertama tentang Dua Film dari Acara JAFF 2019
      • Pilu Membiru by Kunto Aji: On Making Peace with My...
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2018 (3)
    • ►  November (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2017 (4)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Desember (1)

Created with by BeautyTemplates| Distributed By Gooyaabi Templates