Sumber: https://www.imdb.com/title/tt8951086/ |
Sepanjang film, kita bakal banyak
melihat kehidupan yang Eunhee alami. Pertemanan, kenakalan remaja, sampai
cinta-cintaan anak baru gede. Kita juga harus melihat bagaimana di hidup Eunhee
ini banyak sekali ketidakadilan. Kalau diceritakan satu-satu jadinya spoiler ya...dan kepanjangan juga. Tapi,
untungnya ada seorang yang jadi penengah dan mengerti kondisi Eunhee. Miss
Youngji. Guru Bahasa Mandarin di tempat dia kursus selesai sekolah. Kalau kehidupan
Eunhee ini macam padang pasir yang panas dan melelahkan, kelas Bahasa Mandarin
ini adalah oasenya. Eunhee bisa bebas bercerita dan perlahan kedekatan mereka
semakin erat.
House of Hummingbird yang
mengambil latar tahu 1994 juga bisa menunjukkan tren yang sedang terjadi di sana
waktu era itu. Misalnya Eunhee yang masih pakai pager dan telepon umum buat
telepon gebetannya setidaknya jadi penanda waktu yang cukup mewakili. Gaya
pakaian Eunhee juga 90-an banget. Nggak begitu kekinian dan asal-asalan sih.
Unsur drama dan kompleksitas
ceritanya juga lebih banyak. Kalau dibuat mind
map, pusatnya itu Eunhee. Lalu bercabang ke masalah keluarga, cinta,
persahabatan, kesehatan mental, dan pencarian jati diri. Kadang kita bisa
kasihan sama Eunhee, tapi...kadang juga bisa keseeeeel banget. Apalagi di
bagian pembuka film.
Yang cukup berani adalah
penggambaran kisah cinta anak-anak perempuan di usia SMP. Eunhee yang ditaksir
anak cewek lain. Mereka pun saling suka dan sampai berani ciuman pipi. Tapi apa
anak SMP sudah paham sama cinta dan semacamnya? Dapat infomasi dari mana ya
kira-kira? Kalau mereka masih pakai pager, internet dan akses informasi juga
belum semarak sekarang. Kepo aja gitu jadinya. Juga...apa tahun 1994 sudah pada
berani ya di sana? Atau ada nggak ya represi soal itu?
Kalau ada yang bikin saya
penasaran mungkin pas bagian *spoiler
alert* Eunhee dipukul oleh kakaknya sampai telinganya sakit berdengung. Dia
terus datang ke dokter dan akhirnya dokter tanya kenapa kok gendang telinganya
sampai sobek. Eunhee nggak jawab apa-apa. Dokternya pun langsung menawarkan
pembuatan surat keterangan pemeriksaan. Eunhee yang nggak paham akhirnya nanya
buat apa surat itu. Dokternya bilang, “Buat bukti (for evidence).”
Kalau dokternya bisa langsung
nebak Eunhee dipukul (walaupun bisa aja dipukul selain keluarga), berati
kejadian macam itu udah sering terjadi kan? Dan...karena biasanya yang saya
tahu banyak filmmaker yang memasukan
unsur-unsur atau kondisi sosial, politik, dan ekonomi di tempat ceritanya ke
dalam film, apa mungkin pada tahun segitu kekerasan domestik sudah sering
terjadi? Jadi penasaran aja sama kondisi itu dua puluh tahun setelahnya.
Dan...kayaknya sistem pendidikan
dan pola pikir orang tua masih sama aja di mana-mana. Banyak anak yang harus
belajar keras karena ada tuntutan dari orang tua agar sukses dan masuk ke
jurusan tertentu biar masa depannya agak cerah dan “nggak berakhir kaya ibu dan
bapak”.
Film ini juga sukses menyilaukan
mata saya. Secara harfiah. Karena banyak adegan malam hari yang agak redup dan
gelap tiba-tiba langsung berganti ke siang hari dan brightness-nya full nggak kaleng-kaleng. Yang disorot langit pula.
Mantap!
Bagian akhir film mungkin banyak
yang bingung atau pengen kejelasan. Tapi ya balik lagi, karena ilmnya memang
lama, hampir dua jam tiga puluh menit, kalau mau akhirnya jelas dan terbuka
mungkin bisa sampai tiga jam filmnya selesai. Atau, bagian tengah film dipotong
beberapa menit. Karena nggak bisa menyenangkan semua pihak, jadi ya...apa yang
dirasa baik sama pembuat filmnya ya yang ada di film sepertinya.
Lagi, seperti dua film yang
sebelumnya, banyak pesan yang muncul di dialog atau gestur pemain. Bagian
monolog Miss Youngji di akhir film harus banget didengerin sampai akhir. Karena
saya—lagi-lagi—nggak fokus, jadi nggak bisa nangkep semuanya. Dasar aku.
Kalau film ini tayang reguler dan
masuk Indonesia, sangat-sangat layak untuk masuk daftar tontonan. Dua jam yang
nggak terasa-terasa banget lamanya. Dan mungkin membuat kita mempertanyakan
banyak hal di dalamnya.