Sumber: https://www.cgv.id/en/movies/info/19011500/2019-12-16 |
Setelah gagal nonton Kucumbu
Tubuh Indahku karena diboikot dan akhirnya langsung turun layar, kesempatan
nonton film ini datang juga. CGV nayangin film ini yang awalnya hanya tanggal
15 dan 17 Desember tapi kayanya sih diperpanjang.
Penayangan kembali film ini emang
kesempatan emas sih. Mungkin karena ada hype
Kucumbu Tubuh Indahku yang terbangun setelah film ini menyabet banyak penghargaan di Festival Film Indonesia 2019, termasuk Aktor
Pria Terbaik dan Film Panjang Terbaik.
Pas keluar teater banyak waktu
yang saya habiskan untuk mikir dan mencerna adegan-adegan di film ini. Masih
terbayang pengalaman yang bikin saya takjub, jijik, ketawa, dan fokus ke layar.
Sebenernya sih ini film yang cukup mudah untuk diikuti, karena ceritanya
tentang Wahyu Juno, seorang penari Lengger yang tumbuh besar dikelilingi
kemalangan walaupun banyak yang bilang dia itu punya kelebihan di tubuhnya.
Lentur, tenang, dan halus. Mirip Arjuna.
Terlepas dari tema dan
penggambaran yang mungkin sedikit mengusik sebagian orang, film ini menurutku
manis banget. Selain manis, film ini juga berani. Satu adegan di mana seorang
perempuan digambarkan berani untuk memulai dan malah laki-laki yang
takut-takut. Sedikit nudity ada di
beberapa bagian dan adegan nggak biasa baik antara laki-laki dan perempuan,
sesama perempuan, maupun sesama laki-laki tersebar di sana-sini.
Datang nonton film ini memang
harus dengan pikiran damai dan tenang. Cukup sering sewaktu di dalam teater
saya denger komentar, “What the hell...,”
atau “Anjir, apaan sih kok kayak gini.” Mungkin masih belum terbiasa? Mungkin.
Nikmati aja dinamikanya yang memang cukup naik-turun. Kalau hidup Juno kecil
bakal bikin kita sedih dan ketawa tipis-tipis, ketika Juno dewasa bakal lebih
kompleks dan banyak aspek yang masuk.
Unsur budaya, seni, dan
seksualitas memang cukup banyak porsi di sini. Nggak ada yang mendominasi sih
menurutku. Justru di akhir ketika mulai ada masalah politik bikin semakin
keren.
Tentang bagaimana posisi tinggi
di pemerintahan dan pandangan masyarakat dianggap jauh lebih penting dari
kebahagiaan dan jati diri jadi satu momen yang paling mengena sih. Bagaimana
banyak orang harus menutupi hal-hal yang membuat mereka bahagia hanya karena
takut oleh tekanan masyarakat dan sistem yang ada mungkin bisa dirasakan oleh
kita semua.
Kucumbu Tubuh Indahku nggak
termasuk film yang slow-paced menurutku.
Penempatan monolog Juno yang disisipkan beberapa kali semacam momen untuk
tenang setelah adegan-adegan panjang. Dan...tariannya keren gila! Penjelasan
tentang bagaimana alam adalah guru bagi manusia bisa jadi bahan renungan kita
untuk nggak bersikap kasar pada alam.
Banyak banget takeaway dan insight baru. Buat yang nggak tahu apa itu kesenian Lengger, ini
awal yang bagus buat kita cari tahu lebih dalam lagi. Ternyata budaya
tradisional Indonesia sudah sedemikian maju tetapi malah seolah ditahan dan
dibuat mati karena alasan “moralitas”. Gagal paham saya.
Satu hal yang makin membuat film
ini keren adalah....soal menyembuhkan trauma. Juno memang hidup dengan merasakan
trauma pada darah. Karena pengalamannya soal darah di waktu kecil memang cukup
mengguncang mental anak kecil. Gimana dia nggak suka ada pertumpahan darah dan
orang-orang di sekitarnya justru membuat dia terbayang-bayang lagi trauma masa
kecilnya. “Darah neng endi-endi.”
Isu trauma ini juga bisa banget
disangkutpautkan sama politik, khususnya tentang ’65 dan perang melawan
komunisnya. Ayah Juno...trauma pada sungai karena keluarganya dituduh antek
PKI. Padahal bukan dan nggak ada hubungannya sama sekali. Kenapa trauma sungai?
Ada penjelasannya di film.
Ngomong-ngomong soal komunis,
mungkin keresahan yang diangkat dalam film ini adalah soal penyebaran fitnah
kepada lawan politik atau orang lain dengan embel-embel “komunis baru”.
Beberapa tahun belakangan sering kan denger dan lihat di berita? Isu komunis
bangkit, seorang tokoh di-framing
sebagai keturunan komunis, atau satu figur publik ‘diduga’ mendukung komunis.
Kadang isu-isu macam ini cuma bikin gaduh aja sih.
The bigger picture dari film ini adalah bukan soal LGBT seperti
yang digaungkan para pemboikot. Hal yang bisa saya
tangkep sih ada beberapa: seksualitas (tentunya); trauma healing; hubungan
manusia dengan alam; sampai kondisi sosial, budaya, dan politik.
Untuk informasi lebih lanjut:
Diskusi dengan Garin Nugroho, Sudjiwo Tejo, dan Gina S. Noor di acara Rosi Kompas TV
0 komentar