Sumber: republikfiksi.com |
“Kita harus ganti nama
bajak laut ini. Kerapu Merah itu terdengar seperti nama rumah makan, bukan
perompak yang ditakuti. Siapa sih kentut yang ngasih nama itu dulu, ya?
“Elo, Bang.”
“Oh, yah sebenarnya
Kerapu Merah gak jelek-jelek amat, Cuma kurang wibawa aja dikit. Dikiiiiit. Ya
udah gak apa-apa, gak usah ganti nama,” sahut Jaka.
Nukilan dialog di belakang buku itu yang buat saya penasaran
sama isi buku keseluruhan. Plus, review-review
tentang buku ini yang selalu kece. Memang sih, karyanya Mas Adhitya Mulya sudah
banyak saya dengar. Buku Sabtu Bersama Bapak dan Travel’s Tale, Belok Kanan: Barcelona!-lah
yang sudah saya idam-idamkan dari dulu. Tapi, baca buku Adhitya Mulya yang mana
pun gak masalah. Heee.
Buku
Bajak Laut dan Purnama Terakhir ini genre-nya komedi sejarah. Bagian komedinya
diambil dari kisah hidup seorang Jaka Kelana. Lelaki tanggung yang ingin jadi
bajak laut. Cita-citanya kesampaian dengan membuat geng perompak bernama……….
Kerapu Merah. Kisah hidup Jaka Kelana ini agak nganuh. Mau kasihan tapi si Jaka ngeselin, mau kesel tapi hidupnya
apes melulu. Mimpi Jaka and the Boys buat jadi perompak laut terkenal juga bisa
dibilang bego-bego dongo sih. Main bunuh kompeni tapi nggak diriset dulu,
kompeni itu siapa, bunuhnya mau gimana, kagak ada blueprint yang jelas. Tapi namanya
mengejar mimpi, tidak ada kemustahilan—at least buat Kang Jaka.
Nah,
dari sisi sejarah, cerita ini mengambil waktu di masa kolonialisasi. Waktu
masih ada VOC di Nusantara. Tokoh utama dari kolonial ini adalah Admiral
Speelman yang diceritakan sebagai petinggi VOC di Nusantara waktu itu. Selain
itu, diceritakan juga kisah tiga orang Arya: Galuh Puspa, Rusa Arang, dan Bara
Angkasa. Ketiganya diceritakan punya misi tersendiri dengan tipe cerita yang
agak berbeda.
Dua genre
tadi kemudian bertemu karena ada hal yang diperebutkan. Pencarian oleh Jaka,
Para Arya, dan Admiral Speelman jadi cerita yang menarik. Sampai akhirnya di
akhir cerita, semua rahasia terbongkar. Walaupun saya sudah bisa menebak di
bagian awal sampai pertengahan
Hal
yang menarik lain adalah, cerita sejarah di sini hampir semua rekaan Mas
Adhitya sendiri. Kalau nggak dikasih disclaimer di halaman fakta vs fiksi—dan balik
ke genre komedinya, pasti saya bisa langsung percaya. Jalan cerita sejarahnya
juga runut dan detail. Pasti risetnya serius banget. Cara Mas Adhitya nyempilin
komedinya juga macam-macam, salah satunya dari footnote aka catatan kaki. Ya
namanya komedi, fiksi pula, bebas sih ya.
Salah
satu adegan yang lucu itu waktu Jaka Kelana dapat puja-puji setelah berhasil
bunuh kompeni—yang tanpa blueprint itu. Ternyata, Jaka Kelana and the Boys
(baik hidup atau mati) malah jadi DPO kompeni dengan hadiah yang gede luar
biasa. Baca deh. Hehehe
Bajak
Laut dan Purnama Terakhir ini jadi debut bacaan saya terhadap karya-karya Mas
Adhitya Mulya. Cerita hidup Jaka Kelana yang nganuh tadi jadi bagian favorit
tadi. Walaupun di akhir cerita, sudah
mudah diduga.
Setelah baca buku ini, lalu mau baca buku Adhitya Mulya yang
lain, saya rasa genre komedi bisa jadi pilihan. Bisa buku ini atau Jomblo.
Sabtu Bersama Bapak bisa jadi selingan, kalau bosan sama yang komedi. Cheers.
0 komentar