The Unsaid Words

of Rizqi Maulana

Pages

  • Home
  • About Me
  • Contact
  • Gallery
  • Writings
Kalau ada satu hal yang bisa disyukuri dari hadirnya media sosial dan internet, itu adalah sebuah pertemuan dengan video di YouTube, tentang gaya hidup minimalis dari The Minimalist juga postingan dari Dee Lestari di Instagram tentang buku Marie Kondo. Setelah saya tuntas menonton dua presentasi dari the Mininimalist dan rampung membaca bukunya Marie Kondo, ada sudut pandang baru yang saya dapatkan mengenai hubungan kita dengan barang, uang, dan kekayaan. Belum sampai di tahap yang menurut saya life-changing, tetapi setidaknya saya bisa lebih santai dalam hidup khususnya setiap ada tren-tren baru yang sedang digandrungi.

Ada dua perspektif dari sumber yang saya pakai. The Minimalist menyarankan kita untuk mengeliminasi barang-barang yang tidak memberikan nilai apapun (does not add value) ke dalam hidup kita. Sedangkan Marie Kondo menggunakan istilah does not spark joy sebagai indikator saat memilih barang yang akan dihilangkan.

Rasa penasaran saya berlanjut…

Saat membaca blog milik the Minimalist, ada satu kiriman mengenai ‘Minimalism Game’. Secara singkat, game ini mewajibkan kita untuk membuang barang sesuai hari yang ada selama satu bulan penuh. Satu barang di hari pertama hingga tiga puluh barang di hari ke-30. Agar lebih seru, disarankan untuk melakukan game ini dengan partner atau orang terdekat. 

Oke, sepertinya ini menarik. Akhirnya di akhir Februari 2019, saya mulai memetakan jalannya permainan ini. Saya mulai mendata apa-apa saja yang bisa disingkirkan di awal-awal bulan agar terasa lebih mudah dan tanpa perlu pertimbangan ekstra. Plus, di perjalanannya, saya menggunakan metode the Minimalist dan juga Marie Kondo yang sudah dijelaskan di atas. Semua bagian di kamar kos--yang tidak begitu besar--mulai saya sisir dengan cukup teliti. Kamar mandi, lemari pakaian, rak buku, kulkas, hingga bagian-bagian yang jarang saya perhatikan seperti teras depan tidak lepas dari observasi saya.

Akhirnya, beberapa hari sebelum permainan ini dimulai, saya sudah bisa mendata apa-apa saja yang bisa dibuang atau disumbangkan. Setelah hari ke-6 mulailah saya cari-cari barang yang tidak terlihat dari permukaan, jadi perlu usaha tambahan dalam proses pemilahannya. Agar lebih mudah juga, saya memilah barang berdasarkan kategori, walaupun tidak seperti yang disarankan Marie Kondo. Dalam prosesnya, tidak semua dapat terdokumentasikan karena jumlahnya semakin banyak dan relatif berukuran besar. 

Permainan yang awalnya cukup mudah ternyata mulai menunjukkan kesulitannya pasca hari ke-12. Sempat ada keraguan apakah saya bisa berhasil hingga hari ke-30 atau akan mandek di pertengahan bulan. Pada akhirnya, saya hanya bisa mengeliminasi barang sampai hari ke-21 saja. Sebenarnya masih banyak barang yang ada di kamar kos saya, tapi rasa-rasanya masih akan saya perlukan. Mungkin seiring berjalannya waktu nanti saya eliminasi satu per satu. Semoga.

Untuk proses mengurangi barang dari hari ke hari, saya bisa jabarkan sebagai berikut:

Hari ke-1 sampai ke-6

Membuang barang di enam hari pertama masih terasa mudah. Sebab di akhir bulan Februari saya sudah selesai mendata barang-barang apa saja yang akan dibuang. Kebanyakan barang yang saya keluarkan adalah yang memang sudah menjadi sampah dan jarang dipakai selama bertahun-tahun.

Benda pertama yang saya buang adalah sepatu yang sudah hampir rusak. Ada sesuatu yang mengganjal saat membuang sepatu ini. Di satu sisi saya ingin menyumbangkan saja sepatunya agar bisa sampai ke tangan yang tepat. Namun, di sisi lain, saya tidak punya akses dan info siapa yang mau menerima sepatu using saya itu. 

Sepatu lama
Hari-hari selanjutnya benda yang saya buang antara lain dua spons cuci yang sudah teronggok lama di kamar mandi tanpa pernah saya sentuh. Lalu ke tiga makanan bekas yang sudah kedaluwarsa karena saya biarkan di kulkas. 
Benda terberat di enam hari pertama menurut saya adalah kipas angin yang sudah rusak dari awal 2018 lalu. Sampai akhir bulan Maret kipas itu masih ada di kamar dan belum saya buang. Rasanya untuk kipas semacam ini lebih baik disalurkan ke orang yang mengumpulkan barang bekas secara langsung daripada dibuang di tempat sampah.
Seminggu pertama, aman! Tidak ada kesulitan, semua benda tinggal diambil dan dikumpulkan per kondisi. Optimisme saya masih tinggi dan begitu juga semangat saya! Minggu ke-2? Ke-3? Siap!

Pemandangan sehari-hari


Hari ke-7 sampai ke-9

Tiga hari ini saya khususkan untuk memilah koleksi buku-buku. Mungkin secara tidak sadar saya termasuk tsundoku. Orang yang mengumpulkan buku tapi tidak pernah dibaca dan membiarkan tertumpuk di rak-rak. Buku yang paling awal saya pilih adalah yang sudah saya beli dari dua tahun yang lalu tetapi belum pernah dibaca sama sekali. Lalu berikutnya adalah yang baru dibaca setengah dan tidak dilanjutkan. Baru di hari ke-9, buku-buku yang sudah saya baca satu kali dan belum ada niatan untuk dibuka kembali.
 
Sebagian kecil buku yang disumbangkan
Untuk penyaluran buku ini jauh lebih mudah. Saya memang sudah cukup sering menyumbangkan buku ke Perpustakaan Kota Yogyakarta. Di sana ada bank buku yang sudah disediakan yang hasil sumbangannya akan disalurkan ke taman-taman bacaan.

Proses membersihkan buku ini pun membuat saya berkontemplasi dan kembali berpikir tentang niat awal saya membeli buku. Ternyata secara tidak sadar ada beberapa buku yang saya beli karena ingin ikut-ikutan tren. Tidak bermaksud merendah atau ingin terlihat bersalah. Koleksi buku-buku saya pun akhirnya banyak terdiamkan di rak dan jarang disentuh sama sekali. 

Semakin banyak belajar tentang minimalisme, sekarang saya lebih memilih meminjam buku di perpustakaan atau ke teman saja. Walaupun ada satu keinginan saya di tahun 2019 ini, saya ingin membaca lebih banyak buku non-fiksi. Tidak ada yang salah memang dari genre buku yang dibaca, apakah itu fiksi maupun non-fiksi. Hanya, untuk saya yang lebih sering membaca novel dan cerpen-cerpen, buku non-fiksi saya harapkan dapat jadi angin segar di alam membaca saya.

Hari ke-10 sampai 14

Lima hari berikutnya saya mulai agak kewalahan. Barang-barang yang memang sampah, sudah dibuang. Buku-buku tertentu, juga sudah. Sekarang saya mulai harus cari barang lain yang tersembunyi. Ternyata setelah saya mengacak-acak isi kamar, semakin saya sadar kalau selama ini banyak hal-hal tidak berguna yang tetap saya simpan.

Dalam prosesnya, sering saya tidak habis pikir, apa gunanya saya menyimpan pulpen-pulpen bekas di dalam tas? Kenapa tidak langsung dibuang? Ada juga batu baterai yang sudah habis tapi saya biarkan ada di kotak penyimpanan. Bulatan kertas corat-coret semasa kuliah, nota-nota bekas KKN dan zaman di organisasi masih saya kumpulkan. Awalnya saya merasa takut kalau suatu saat benda-benda itu diperlukan. Sampai bertahun-tahun kemudian, semua aman-aman saja. Belajar membuang barang dan belajar untuk tidak mengkhawatirkan masa depan memang terjadi bersamaan.
 
Padahal nggak pernah disentuh sama sekali
Kategori berikutnya yang saya sortir adalah pakaian dan sejenisnya. Sama seperti kasus di atas, saya menumpuk pakaian di lemari untuk berjaga-jaga kalau ada teman atau saudara yang datang dan harus pinjam baju saya. Baju-baju yang sempit dan celana-celana yang tidak lagi muat pun saya simpan dan taruh di bagian terdalam di rak paling bawah lemari. 

Saat memilih pakaian pun saya sadar kalau banyak baju yang selama ini tidak saya sukai. Entah itu dari segi model, warna, hingga potongannya. Kalau ditarik garis waktunya, baju-baju itu biasanya hadiah atau baju yang dibeli ketika kepepet dan tidak direncanakan, jadi asal ambil saja. Anehnya, saya masih tidak tega buat menyumbangkan bajunya semua. Di luar baju kumal yang biasanya saya jadikan lap, baju-baju lain masih agak sulit saya relakan. Padahal tidak ada manfaatnya juga buat saya, selain memenuhi lemari-lemari saya. 

Akhirnya setelah proses penyortiran selesai, total yang akan saya sumbangkan kurang lebih 17 potong mulai dari baju, kemeja, hingga celana pendek dan panjang. Tugas berikutnya adalah mencari cara atau wadah yang mau menerima sumbangan ini. Mungkin saja di luar sana ada yang lebih pas badannya untuk mengenakan atasan dan bawahan saya.

Hari ke-15 sampai ke-18
Waktu dulu coba bersih-bersih ala KonMari, bagian yang paling saya nggak suka adalah kertas. Jumlahnya banyak, dan biasanya itu berupa fotokopi materi-materi kuliah atau silabus. Jadi selama empat hari itu isinya saya hanya menyortir kertas yang sudah dari zaman kuliah dulu ditumpuk (dan jarang dibaca kecuali pas mau ujian). 

Awalnya sih mau mencoba kreatif, kertas-kertas yang ada saya jadikan alas di lemari atau rak baju. Tapi di perjalanannya saya juga membaca buku karya Fumio Sasaki yang ‘Goodbye, Things’ ada bagian yang menyarankan bahwa kita sudah tidak perlu mencoba kreatif, contoh yang paling sering saya lakukan adalah: toples selai yang saya jadikan tempat menaruh alat tulis.

Akhirnya saya memutuskan untuk membuang semua kertas-kertas saya. Karena memang hanya jadi sampah juga di kamar. Dibaca nggak, bikin berantakan sih iya. Jenis kertasnya juga nggak terbatas di bahan kuliah saja. Mulai dari pamflet, brosur, sampai kupon-kupon beli satu gratis satu saya buang juga.

Setelah dibuang sedikit demi sedikit, yang saya simpan hanya ijazah dan transkrip yang sudah dilegalisasi dan dokumen-dokumen penting yang mungkin diperlukan buat daftar kerja. Jadi semua yang ada di kamar saya itu ada fungsi dan tujuannya. Bukan dibiarkan terus jadi sampah.

Hari ke-19 sampai ke-21

Tiga hari final. Tiga hari terakhir di mana saya sudah harus mengacak-ngacak semua isi kamar sampai menemukan yang bisa dibuang. Sampai di titik ini rasanya insting dan perasaan butuh atau tidak lebih sering saya pakai.
Semua kategori barang saya kunjungi sekali lagi. Mulai dari pakaian, buku, sampai kertas-kertas. Baju yang tadinya saya kira masih saya perlukan, setelah dipikir dua sampai tiga kali ternyata nggak begitu penting lagi, dan baju yang ada pun masih bisa saya pakai tanpa harus lihat gengsi dan lain sebagainya. Begitu juga untuk buku dan barang koleksi lainnya.
Tiga hari terakhir ini lebih menguji kemampuan berpikir dan menimbang-nimbang sesuatu. Penting atau tidak, perlu atau tidak, semua dijejalkan di tiga hari ini. Mungkin juga karena saya hanya tinggal di satu kamar kos, jadi tidak banyak yang bisa saya masukkan dan kumpulkan di dalamnya.

Hari ke-11??

Di akhir prosesnya memang lebih lapang keadaan kamar saya. Walaupun beberapa barang masih ada di kamar bahkan sampai akhir bulan. Ada yang sayang kalau dibuang begitu saja. Sepertinya memang proses meminimalkan barang ini bukan sesuatu yang bisa selesai dalam satu jangka waktu tertentu, tapi lebih ke proses yang terus berlanjut. Karena memang kita selama hidup pasti akan membeli dan mengoleksi barang apa pun.

Apakah saya merasakan ada kejernihan saat mengeliminasi barang? Belum sampai ke sana sepertinya. Tapi yang pasti, ada perubahan pola pikir dalam proses membeli barang. Untuk yang sifatnya hanya jadi koleksi masih bisa saya rem dan perhatiannya bisa teralihkan ke hal-hal lain. Hanya yang masih jadi PR adalah untuk makanan dan minuman. Jujur saya juga masih suka membeli makanan bukan karena butuh atau terdesak perlu, tapi hanya karena ingin. Jadi kondisi ini sangat-sangat konsumtif dan berlawanan dengan hidup minimalis yang ingin saya wujudkan.

Sekali lagi, karena saya menganggap proses ini akan berjalan seiring dengan kedewasaan kita, rasanya jalan menuju minimalisme ini akan lebih berfokus bukan pada hal-hal yang sifatnya berupa koleksi, tapi lebih ke pola makan dan ngemil. Apakah saya akan berhenti membeli camilan karena lapar mata atau karena memang butuh? 

Memang tak ada gading yang tak retak. Rasanya proses mengeliminasi barang kali ini juga masih kurang persiapan. Indikator yang saya pakai adalah banyaknya kantung plastik yang saya buang untuk mewadahi sampah-sampah dan semua benda. Plastiknya pun berbagai macam ukuran.
  
Kalau saya akan melakukan minimalism game lagi, mungkin selain pemetaan barang yang akan dibuang, saya juga akan mempersiapkan tempat yang lebih ramah lingkungan untuk mewadahi barang-barang yang masih ada nilai gunanya. Rencananya, tahun ini akan saya lakukan lagi pada bulan Juni. Sangat mungkin kalau lebih sedikit plastik yang akan saya pakai.

Hasil akhirnya jadi seperti ini:





Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Identitas Buku
Judul: Goodbye, Things – Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Penulis: Fumio Sasaki
Penerjemah: Annisa Cinantya Putri
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Halaman: xxvi + 242

Pertemuan pertama saya dengan minimalisme dimulai dari buku Marie Kondo yang kemudian berlanjut ke film dokumenter dari The Minimalist. Semenjak itu, saya mulai mencari tahu lebih lanjut tentang gaya hidup yang digadang-gadang sedang menjadi tren di seluruh dunia ini. Akhirnya saya menemukan informasi tentang Fumio Sasaki dan gaya hidup minimalismenya di Jepang beserta bukunya, Goodbye, Things. Kemudian, tanpa disadari, ketertarikan saya terhadap minimalisme mulai tumbuh dan semakin membesar.

Satu hal yang saya ketahui tentang Fumio Sasaki adalah dia dilabeli sebagai minimalis yang cukup ekstrem. Hal ini cukup masuk akal karena setelah membaca bukunya, saya pun jadi memahami apa yang dia lakukan sampai ke titik ini. Sasaki sendiri hanya memiliki sedikit barang di apartemennya dan walaupun begitu, dia masih ingin mengurangi semua barang-barangnya hingga tersisa benda-benda yang pokok dan sangat penting saja. Fakta-fakta tentang Sasaki dan informasi dari buku Marie Kondo dan film The Minimalist sudah menjadi amunisi saya sebelum membaca buku ini.

Pembahasan awal dari buku ini adalah tentang meningkatnya budaya minimalisme di Jepang, yang menghadirkan beberapa minimalis dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ada seorang minimalis lajang sekaligus traveller, seorang minimalis lajang dan pekerja di Tokyo, ada juga sepasang suami-istri. Secara implisit, mungkin ini menunjukkan bahwa gaya hidup minimalis cocok bagi semua latar belakang dan kalangan, dan bukan hanya dapat dilakukan oleh mereka yang lajang.

Kelebihan dari buku ini adalah Sasaki di awal menekankan beberapa aturan penting tentang minimalisme. Pertama, ditekankan bahwa minimalisme bukanlah sebuah kompetisi dengan orang lain. Kita tidak perlu sesumbar atas betapa sedikitnya barang yang kita punya, dan menghakimi mereka yang memiliki banyak barang. Kedua, proses ini tidaklah mudah, tetapi tidak mustahil. Mereka yang ingin memulai perjalanan menuju minimalisme harus tahan dengan proses yang panjang dan memakan waktu. Sasaki sendiri masih mengurangi barang-barang kepemilikannya sendiri.

Sudut pandang lain yang saya dapatkan ketika membaca buku ini adalah mengenai hubungan antara mengurangi jumlah barang dengan ketenangan mental dan pikiran. Sasaki menjelaskan proses menjadi seorang minimalis telah mengubah dirinya secara perlahan. Dia mengklaim bahwa dirinya sekarang sudah lebih terbuka dan tidak begitu introver seperti sebelum memulai proses ini. Salah satunya adalah karena alasan dia mengumpulkan barang adalah untuk membentuk citra diri di mata orang lain. Membeli banyak buku yang tidak pernah dibaca sama sekali karena ingin dilihat berpengetahuan luas dan rajin membaca. Mengoleksi banyak film dan menonton semua yang sedang menjadi tren di bioskop supaya ingin dianggap sebagai penggemar film dan tidak ingin ketinggalan pembicaraan denga teman-temannya. Melalui minimalis, tidak hanya Sasaki membuang barang yang dibeli bukan karena suka, tapi juga membuang keinginan membentuk citra dirinya bersamaan.

Karena sudah memiliki referensi lain tentang minimalis, jadi saya menemukan jalan tengah ketika ingin mencoba menjalankan minimalisme dari nol. Dalam buku Life-changing Magic of Tidying Up dari Marie Kondo dan juga dari paparan The Minimalist, pandangannya memang terasa lebih manusiawi dan jauh dari ekstrem. Perbedaan yang paling mencolok adalah, jika Marie Kondo menganjurkan menyimpan barang yang hanya membuat kita bahagia, Sasaki justru sebaliknya. Dia tetap menganjurkan membuang barang walaupun membuat kita senang (hlm. 119). Keekstreman Sasaki juga agak terlihat dari keinginannya untuk tinggal di tempat yang jauh lebih kecil, dan contoh yang dia berikan. Dia berkata kalau hanya ada handuk kecil yang dia gunakan untuk berbagai keperluan (mandi dan mencuci khususnya). Untuk sebagian orang mungkin ini tidak dapat diterima.

Efek membaca buku ini saya rasakan tidak begitu kuat seperti buku Marie Kondo. Meski begitu, ada bagian yang sangat mengena bagi saya pribadi. Betapa kita hanya mengoleksi barang hanya karena mengikuti tren dan ingin membentuk citra diri semata. Itulah yang saya lakukan tiap membeli buku. Selain itu, aspek psikologi yang dipaparkan juga sangat mendalam dan dijelaskan secara runut dan cukup rinci. Pengalaman Sasaki mengurangi barang dan pengaruhnya terhadap kepribadiannya terasa natural dan tidak dibesar-besarkan.

Kembali lagi, mungkin jika ada orang yang perkenalan pertamanya dengan minimalis berawal dari buku ini, bukan tidak mungkin banyak yang akan mundur dan beranggapan bahwa minimalisme adalah gaya hidup yang ekstrem dan sulit. Jika kita memperbanyak referensi, maka akan ada sudut pandang baru yang akan membuat kita dapat menentukan pendekatan mana dan seperti apa yang paling cocok bagi kita. Seperti yang sudah ditekankan Sasaki sebelumnya: ini bukan kompetisi dan memang sulit tapi tidak mustahil.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Jogja.

Sunset.

Ratu Boko.

Tiga kata yang saling berhubungan. Sedang di Jogja? Mau berburu sunset? Berangkat kita ke Ratu Boko!

Sebagai orang dengan referensi tempat berburu sunset yang terbatas, kalau ditanya tempat yang bagus di Jogja, pasti jawabnya ke pantai. Selalu. Cuma, kali ini ada referensi baru, yang saya dapat karena ajakan teman. Ratu Boko!

Dengar Ratu Boko ini sudah dari lama. Awal-awal SMA malah sering ke daerah sana, ke Candi Prambanannya. Tapi buat ke Ratu Boko sendiri belum sempat. Satu, jarang ada yang ajak. Dua, tempatnya naik-naik ke bukit, jadi malas.

Akhirnya dari tahun 2011-2018, pecah telor juga saya soal ke Ratu Boko ini. Berangkat habis asar bareng teman, sampai di sana sekitar jam 16.30-17.00 WIB. Mepet tutup. Situs ini juga tutupnya kebetulan jam 18.00 WIB. Bisalah keliling-keliling Ratu Boko ini.

Habis bayar tiket masuk Rp40.000, keliling langsung kami ke hampir semua bagian. Gua, pemandian, bagian Keputrian--atau Keputren ya? Lupa. Gede banget, gila ini tempat. Punya rumah kaya gini kasihan orang-orang yang harus bersih-bersih (kenapa nggak kita yang bersih-bersih?).

Sebenernya berkunjung ke situs-situs semacam ini biasanya punya plot yang sama. Datang, foto-foto, swafoto (kalau hobi), baca papan informasi, komentar ngalor-ngidul, terus pulang. Tapi...... Di sini mau langsung pulang malah sayang! Datang ke Ratu Boko sore hari, lihat matahari terbenam dan langit pas golden hours, Emejing!! Warna langit sore hari memang indah. Langsung enggan pulang!

Sunset yang dilihat dari pantai sama dari bukit di Ratu Boko berbeda sih menurut saya. Dari ketinggian, kadang kita berasa lebih dekat dengan langit (kalau bukan khayangan). Gradasi warna yang kelihatan dari bukit ini indah gila! (Indah gila?) Bahkan foto yang diambil pake kamera dan ponsel nggak bisa menangkap sebagus tangkapan mata (duh!).

Seriusan! Datang ke Ratu Boko buat mengejar matahari terbenam is a must! (tapi kalau hujan atau mendung lain cerita ya, gaes). Walau dipikir-pikir agak telat baru ke sini setelah tujuh tahun di Jogja. Fokusnya selalu teralih ke Candi Prambanan sih.

Untuk yang belum pernah ke Ratu Boko atau yang sudah pernah tapi lupa seperti apa di dalamnya, ini ada beberapa foto yang sudah diedit buat lihat-lihat. Enjoy! See ya in my next post!

Rapi ya? Kayaknya sih disusun waktu ada gempa atau pemugaran gitu. Cmiiw

Susunan batu yang, jujur, saya gak tahu dulunya apa.

Indah lho kalau dilihat langsung.

Bagian dalam setelah gapura dan tempat foto hits Ratu Boko

Sudah senja, ayo pulang.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Beberapa bulan yang lalu, waktu lagi nonton video-video di Youtube, saya sempat lihat satu video yang kontennya tentang zero waste. Isinya tentang tantangan zero waste di Amerika selama sebulan yang dilakukan seorang kreator konten di Buzzfeed. Eye-opening sekali videonya. Akhirnya, saya mengikuti video-video berikutnya yang juga tentang masalah zero waste tapi lebih ke pengurangan penggunaan plastik sekali pakai, khususnya sedotan, masih dari kreator yang sama, Auri. Saya kemudian tertarik untuk cari informasi lebih dalam tentang gaya hidup nol sampah ini. 

Ternyata gaya hidup ini sudah banyak berkembang di berbagai belahan dunia. Saya lihat TedTalks video dari Lauren Singer, yang sudah menerapkan gaya hidup ini beberapa tahun. Sampai sampahnya selama 4 tahun pun bisa disimpan di mason jar! Ada juga Bea Johnson, perempuan yang sudah berkeluarga dan punya anak, berhasil buat rumahnya 100% bebas sampah. Informasi-informasi tentang zero waste ini bisa kita peroleh di internet yang sudah banyak bertebaran.

Tertarik mulai mengurangi volume sampah saya. Akhirnya saya buat langkah sederhana untuk memulai. Belum bisa zero waste tapi setidaknya bisa sampai level low waste. Saya mulai mengganti beberapa peralatan yang sering saya pakai, yang hampir semuanya dari plastik. Informasi tentang plastik pasti sudah terdengar oleh masyarakat. Bagaimana plastik sulit untuk terurai, akan berada di bumi selama ratusan tahun hingga si pembuang sudah tidak lagi ada di bumi. Dari semua plastik yang ada, hanya sekitar 30% yang bisa didaur ulang. Sisanya? Terapung di lautan dan jadi makanan hewan-hewan laut. Saya tidak mau berkontribusi untuk itu.

Lalu peralatan apa saja yang saya ganti? Ini dia...

1. Alat mandi


 

Sabun, sampo, dan pembersih muka yang biasa kita pakai semua dibungkus plastik. Untuk yang kemasannya keras mungkin masih bisa digunakan ulang ya, tapi untuk yang kemasan isi ulang? Pasti langsung dibuang habis isinya dituang. Selain itu, zat kimia yang kita nggak tau apa ada di dalam alat-alat tersebut. Belum ada efek samping memang dari penggunaan sabun, sampo, dan pembersih muka di badan saya. Namun, di lingkungan, dampaknya sudah sangat terasa.

Makanya saya mulai belajar beralih ke all-purpose soap bar ini. Bisa buat semua anggota badan. Wanginya tidak terlalu menusuk dan aman-aman saja. Dipakai di rambut juga oke. Insyaallah bahan-bahannya alami dan nggak berbahaya. Sampahnya? Kemungkinan gak ada yang dibuang ke landfill. Guilt-free jadinya.



2. Sedotan


 

Ini dia! Sedotan plastik sekali pakai yang kita buang-buang seenaknya, ternyata buat hewan laut kena getahnya. Salah satunya penyu di video ini. Kita santai-santai buang sedotan habis minum es, latte, atau apapun, ternyata jadi penyebab makhluk lain menderita. Juga, beberapa dekade ke depan, diperkirakan sedotan dan sampah plastik lainnya akan mengalahkan jumlah dari ikan-ikan di lautan! This is not the world I want to live in.

Setelah berbagai riset tentang alternatif pengganti sedotan plastik, akhirnya saya menjatuhkan pilihan ke sedotan dari logam ini. Ada alternatif lain sebenarnya, sedotan bambu, kaca, dan kertas, tapi untuk awal saya pakai yang ini dulu. Sedotan-sedotan semacam ini bisa digunakan kembali, dicuci, dan tahan lama. Tidak ada sampah yang terbuang, dan kita sudah mengurangi kemungkinan makhluk laut menderita.

 
 3. Botol Minum reusable

 

Di antara semua peralatan di sini, yang sudah paling sering saya gunakan adalah botol minum sekali pakai. Dari SMA tahun 2011-an, saya sudah bawa botol minum sendiri ke mana-mana. Tujuan awalnya sih hemat uang biar nggak perlu beli-beli air minum kemasan plastik. Baru beberapa tahun setelahnya, kampanye untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai ini semakin gencar disosialisasikan. Saya sih setuju-setuju saja. Sudah lebih hemat, ramah lingkungan juga.


4. Sikat Gigi


 

Sampah dari sikat gigi plastik bersama dengan sedotan, botol, dan kantung plastik, memang membuat bumi ini kotor. Di laut dan di tanah, sampah-sampah ini sudah menggunung dan bertebaran di mana-mana. Ditambah lagi, sampahnya tidak bisa didaur ulang. Untuk sikat gigi, pergantiannya cukup sering dilakukan. Batas penggunaan sikat gigi yang dianjurkan kurang lebih 6-12 bulan. Kalau kita rajin, paling tidak dalam satu tahun, ada dua sikat gigi yang kita buang. Bayangkan jika setengah dari penduduk Indonesia melakukan hal yang sama? Belum ditambah dari negara-negara lain....

Kemudian saya beralih ke sikat gigi bambu yang bisa didaur ulang dan diurai di tanah. Tidak ada perbedaan yang menonjol antara sikat gigi bambu dan plastik buat saya. Tapi sikat gigi bambu yang saya pakai ini jauh lebih lembut dari yang plastik. Selesai penggunaan sikat gigi ini bisa langsung dikompos atau didaur ulang untuk keperluan lain. No waste!


5. Deodoran


 

Sama seperti sabun dan sampo, kita tidak tahu zat kimia apa yang ada di dalam deodoran yang setiap hari kita oleskan di ketiak. Selain itu, masalah kemasan plastik, kaca, dan tabung spray yang langsung dibuang, juga semakin mengganggu.

Alternatif yang saya temukan adalah deodoran yang dioleskan dari kemasan alumunium yang jelas bisa digunakan ulang untuk keperluan lain. Bahan-bahan yang digunakan juga aman dan ramah lingkungan. Beberapa kali menggunakan deodoran ini memang sama seperti yang dijual di pasaran. Hanya saja deodoran ini lebih lama menjaga ketika saya kering. Selebihnya, masalah wangi dan kenyamanan, tidak begitu berbeda.


6. Razor


 

Laki-laki pasti nggak bisa lepas dari alat ini. Alat pencukur kumis, janggut, dan lain-lainnya ini selalu jadi teman setia. Sayangnya, kondisi dari alat cukur plastik itu sama seperti produk plastik. Digunakannya hanya sebentar, tapi sampahnya ada di bumi ratusan tahun. Apalagi untuk alat cukur plastik yang mata pisaunya menempel, mungkin membahayakan hewan laut yang tidak bisa membedakan apa yang mereka lihat. Kantung plastik saja sering dikira ubur-ubur, ya kan?

Akhirnya saya beralih ke alat cukur dari logam yang lebih awet dan tahan lama. Silet yang digunakan juga bisa didaur ulang. Satu silet bisa digunakan berulang-ulang sampai beberapa bulan. Tidak seperti alat cukur plastik yang sering tumpul setelah beberapa kali pemakaian.



Sebenarnya masalah lingkungan ini sangat berkaitan dengan gaya hidup kita yang maunya serbapraktis dan serbacepat. Ditambah, alat-alat di atas harganya cukup mahal. Jadi, mau nggak mau, kita harus berinvestasi dengan membayar harga mahal tapi bisa awet jauh lebih lama dari yang biasa dijual di pasaran. Mungkin langkah saya ini masih tertinggal jauh dibanding mereka yang sudah lebih menyeluruh melakukan zero waste lifestyle ini. Ke depannya mungkin saya akan secara bertahap mengurangi pemakaian plastik ini. Tidak dengan langsung membuang yang sudah lebih dulu ada di rumah, seperti sabun cari, sampo, dan pembersih muka. Lebih baik dihabiskan dulu semua, baru kemudian membeli pengganti yang ramah lingkungan. 

Cheers for our better world. Kita bisa berkontribusi untuk memperbaiki bumi yang sudah tua ini, atau justru memperparah kondisi yang sudah ada. The choice is ours, and this is what I've chosen. 

n,b. Semua alat ini saya beli dari Cleanomic. Mereka jual berbagai alat yang ramah lingkungan dengan harga terjangkau. Silakan lihat webnya di sini.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Kayaknya masalah perut dan makanan memang jadi pertimbangan orang-orang kalau mau jalan-jalan. Masalah rasa yang cocok apa enggak, mahal atau murah, dan bagi yang Muslim, pasti kehalalan bakal jadi tambahan pertimbangan. Susah sih memang pergi berminggu-minggu di negara yang mayoritas penduduknya bukan Muslim, termasuk Thailand. Tapi setelah beberapa waktu di sini, saya sudah coba ke beberapa tempat yang ada makanan halalnya. Nah, di Thailand ini ada beberapa spot makanan halal yang pernah saya coba dan temui selama magang. Here they are:

1. Soi 7 Petchaburi Road

Jadi, di tulisan sebelumnya saya jelasin kalau penginapan saya ada di daerah Soi 7. Nah, di sini makanannya halal dan banyak pilihan. Di Soi 7 sendiri, banyak warung-warung dan rumah makan yang dimiliki sama orang Arab dan Melayu, karena memang daerahnya didominasi sama warga Muslim. Di tambah lagi di sini ada masjid yang cukup ramai dikunjungi. Staff-staff Muslim KBRI Bangkok ada yang tinggal di sini juga.

Sebenenrnya bentuk Soi 7 ini memanjang jadi di bagian belakang masih banyak lagi kios-kios makanan, dan itu udah agak jauh dari masjid. Cuma, tambah belakang tambah bercampur antara kios halal dan enggak, jadi ya harus pinter pilih-pilih. Oh, di Soi 7 ini juga ada 7/11 jadi kalau lapar malem-malem bisa melipir ke sana.
Untuk masalah makanan, di sini dijual berbagai jenis. Ada ayam bakar dan goreng, telur, kari daging sapi, sampai hotdog dan burger yang halal juga ada. Saya pernah beli lauk daging sapi di salah satu kios yang ada tulisan Masakan Muslim, harganya 50 Baht. Itu saya beli cuma lauknya aja, soalnya di hostel, kami bawa penanak nasi sendiri, jadi tinggal beli beras. Untuk makanan yang lain harganya nggak lebih dari 70 Baht buat camilan-camilannya. Kalau mau, kalian bisa eksplorasi makanan-makanan di Soi 7 ini. Tinggal cari perempuan-perempuan berhijab pada makan di mana. Hehee

Kadang-kadang kalau kami lagi malas masak nasi, biasanya langsung beli makanan berat. Saya sih paling sering beli kwetiaw goreng di Soi 7, harganya 45 Baht. Ada satu warung kaki lima gitu yang jual makanan-makanan berat, yang masak juga ibu-ibu. Harganya mulai dari 45-an Baht gitu. Pernah saya beli nasi + telur goreng harganya 30 Baht. Nasinya banyak, udah gitu telurnya dikasih dua per porsi. Ibunya juga jual Tom Yum halal yang harganya 80 Baht, isinya sih ya ada daging sapi dan ayam sama seafood yang lumayan banyak. Buat yang kangen makanan ala-ala Indonesia, di sini ada juga bakso dan mie ayam. Harganya sih mulai dari 35 Baht. Kalau masalah rasanya sih menurut saya gak jauh beda sama di Indonesia.

2. Platinum Food Center
Kalau saya lagi cari makan siang di sekitar KBRI Bangkok, biasanya sih saya langsung jalan ke Platinum Food Center di lantai 6 Platinum Fashion Mall. Di food center ini ada beberapa tempat makan yang menjual makanan halal. Biasanya ditempel di kaca etalase atau di pinggir tembok kiosnya, karena ada beberapa kios yang nggak ada namanya.
Jalan dari KBRI Bangkok ke Platinum Fashion Mall
Masakan yang sudah pernah saya coba itu, ada Nasi briyani dan lauknya ayam goreng. Ada juga menu nasi briyani pake ayam yang dimasak mirip opor. Di kios ini ada juga menu yang berkuah. Porsinya sih menurut ukuran saya enggak begitu banyak, tapi cukup ngenyangin. Walaupun begitu dipakai jalan pulang ke KBRI yaa laper lagi. Harga makanan di Food Center ini mulai dari 50 Baht ke atas. Kalau mau beli lauknya aja, misal ayam goreng, harganya sekitar 30 Baht.

Di Platinum Food Center ini ada beberapa kios makanan halal. Banyak orang-orang Muslim, apalagi Indonesia yang makan siang ke sini. Menunya yang dijual kios-kios halal itu sih gak begitu jauh berbeda, dari segi harga dan porsi. Jadi, masih bisa sedikit nyari variasi kalau mulai bosan sama menu makan siang. Cuma sayangnya, di jam-jam makan siang, tempat makan ini bakalan penuh banget, sampai-sampai susah nyari tempat duduk.

Oh iya, kalau beli makan di Platinum Food Center, gak bisa semua pakai uang tunai. Jadi kita harus top up dulu ke counter yang ada di sana dan nanti dikasih kartu untuk pembayaran. Untuk masalah batas minimal top up, saya kurang tahu sih ada apa enggak, tapi kalau saya biasanya top up 100 Baht. Harga segitu bisa buat beli makanan 50 Baht dan Thai Tea 30 Baht. Kalau uang kita sisa, bisa di-refund di counter khusus, atau bisa kita simpan selama 30 hari terhitung dari dari transaksi terakhir, jadi kartunya bisa kita bawa pulang dulu dan baru dibalikin.

Kartu buat pembayaran di Platinum
Selain makanan berat, di sini juga ada banyak pilihan menu camilan. Di sini ada yang jual shaved ice ala Korea Selatan, ada waffle, Thai tea, dan KFC. Di lantai yang sama, ada juga toko-toko souvenir makanan, fashion, elektronik, dan aksesoris. Jadi di Platinum Fashion Mall ini semuanya ada, lengkap, dan harganya cukup murah.

3. Seven Eleven aka Sevel aka 7/11

Di Thailand, 7/11 ini udah kayak Indomaret dan Alfamart. Di mana-mana ada. Bahkan sampai hadap-hadapan. Tempatnya juga gampang dijangkau dan di sepanjang jalan ke KBRI ada banyak gerai 7/11 di kanan dan kiri jalan.

Kalau beli di 7/11 biasanya sih cuma buat ganjal perut aja, pas belum sempat sarapan atau tiba-tiba lapar pas malam hari. Tiap ke 7/11, saya biasanya beli pie yang dibungkus plastik dan gak perlu dipanaskan. Rasanya macam-macam, tapi biar cari aman, saya belinya yang Tuna Pie yang bungkusnya warna biru muda, Corn Pie yang warna orange, Taro Pie yang warna ungu, Pineapple yang warna kuning. Ada juga sih yang rasa kelapa, tapi saya nggak beli, hehehe. Rasanya enak, tapi kadang-kadang enek karena gak panas. Harga pie di sini itu 20 Baht. Paling minim tiap belanja di 7/11 itu sekitar 30 Baht soalnya ditambah air mineral yang isinya sedikit tapi harganya 10 Baht.

Mungkin kalau bei di 7/11 harus lebih hati-hati, karena ada beberapa roti dan pie yang gak begitu jelas halal atau enggaknya. Biasanya sih buat yang mengandung babi, ada gambar hidung babi di bungkusnya, tapi gak semua begitu. Jadi harus lebih ekstra teliti kalau mau beli pengganjal lapar di sini.

7/11 juga jual Thai tea dan minuman dingin kayak soda dan ovaltine. Untuk Thai tea 7/11 harganya tergantung dari cup yang kita mau. Cup yang paling besar harganya 24 Baht, terus yang ukuran di bawahnya itu 18 Baht. Kalau mau minuman soda juga ada. Ukuran gelas big gulp itu kalau gak salah sekitar 20-28 Baht. Enaknya, di sini kita bisa ngatur esnya. Gak perlu takut dibanyakin es dari pada Thai tea kalau beli di kios pinggir jalan.

Setelah beberapa hari magang, dan dapat info dari staff-staff KBRI, baru tahulah kita kalau di 7/11 itu ada makanan berat yang halal. Biasanya ada tulisan CP-nya di depan bungkus makanan. Banyak sih jenisnya, ada burger udang, burger ayam, burger sapi, sampai irisan daging kecap juga ada. Harganya semua rata-rata di bawah 50 Baht per bungkus.

4. Abang-abang Penjual Buah

Buah emang jadi pilihan paling bener kalau bingung cari makanan halal. Hampir di sepanjang jalan ke KBRI ada penjual buah yang keliling dan stay di satu tempat. Pilihannya, ada mangga, pepaya, melon, jambu dan nanas. Harga per potongnya itu sekitar 20 Baht.

Isi gerobak buah. Semua sama.
Gak tau kenapa, di Thailand ini buahnya gede-gede dan banyak jenisnya. Di satu gerobak buah biasanya ada dua sampai tiga jenis jambu. Jambu klutuk yang mirip kayak di Indonesia, ada juga jambu yang warna kuning dan hijau muda. Setelah coba hampir semua jenis buah, yang paling enak itu ternyata jambu yang warnanya kuning. Rasanya manis dan seger, udah gitu empuk dan gak susah digigit. Kalau yang hijau tadi masih agak keras gitu jadi ya gak begitu beda sama jambu klutuknya.

5.Kantin KBRI

Kalau jam istirahatnya cukup mepet, paling pas buat makan di kantin KBRI. Lokasinya ada di belakang lapangan tenis dekat Sekolah Indonesia Bangkok (SIB). Di sini makanannya khas Indonesia semua. Setiap hari juga diganti menu-menunya. Saya pernah beli gudeg, bakwan, sayur tauge-tahu, ayam sama lele goreng, ada juga sup bakso yang masih panas. Harganya sih variatif, tapi buat jaga-jaga siapin uang di atas 50 Baht aja, soalnya untuk harga pastinya saya juga gak tahu berapaan per item.

Makanan di kantin KBRI enak lho. Gak jauh beda sama yang ada di Indonesia. Kalau lagi magang di sini, sempetin aja sekali-kali makan di kantin. Bosen dan makan waktu juga kalau harus jalan ke Platinum atau ke Pantip.

6. Street food nondaging

Nah, kalau misalnya lagi jalan-jalan dan jauh dari Soi 7, biasanya sih saya beli makanan buat nahan lapar yang non daging. Seringnya sih saya belinya papaya salad. Isinya ya ada timun, pepaya muda, mangga, jeruk nipis, tomat ceri, sama kacang tanah. Rasanya khas Thailand banget. Kecut! Cuma pedesnya masih agak kurang, padahal kita udah bilang super spicy. Papaya salad yang pernah saya beli harganya sekitar 30 Baht, dan ada yang lebih mahal tergantung porsi dan isi.

Selain papaya salad, saya juga beli 'sushi' isi sayuran. Isinya itu ada nasi atau sticky rice, selada, wortel, timun, dan ada produk hewaninya. Biasanya sih kalau nggak tuna, ayam, atau crab stick. Kalau mau cari aman ya pilihnya crab stick atau tuna. Satu wadah isinya sekitar delapan gulung. Harganya 50 Baht. Mahal sih emang, dan gak begitu ngenyangin juga sebenernya.

Kalau lagi jalan-jalan di food court mall, biasanya sih ada makanan full sayur. Kalau di Indonesia mungkin kayak gado-gado gitu. Pad Thai juga bisa jadi opsi makanan. Karena isinya itu ada mie, telur, dan udang. Rasanya juga enak karena ditambah bubuk cabe.

Secara keseluruhan, saya sih nggak menemukan kesulitan soal makanan. Walaupun sesekali kangen nasi Padang sama ayam geprek. Cuma kalau saya lihat-lihat, di sini serba kecut makananya. Mulai dari sambal ulek sampai saus-saus di fast food. Nasi goreng dan makanan lain pasti dikasih jeruk nipis. Mungkin lidah saya lebih cocok ke makanan pedas cabai dan merica sih. Tapi masih bisa di-skip kok kalau nggak begitu suka makanan kecut.

Silakan bagi yang punya rekomendasi makanan-makanan halal di Bangkok bisa kasih referensinya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

Bachelor of political science.

recent posts

Labels

  • #RzBaca
  • #RzMain
  • #RzNonton
  • #RzNulis
  • Buku
  • Cerita
  • Drakor
  • Film
  • gaya hidup
  • Gender
  • Islam
  • Jalan-jalan
  • Jogja
  • Kerja
  • KKN
  • Kuliner
  • Lingkungan
  • Minimalisme
  • Myself
  • Resensi
  • Seni
  • Zero Waste

Blog Archive

  • ▼  2020 (7)
    • ▼  November (1)
      • Coba-coba Kursus Online
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (14)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2018 (3)
    • ►  November (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2017 (4)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Desember (1)

Created with by BeautyTemplates| Distributed By Gooyaabi Templates