The Unsaid Words

of Rizqi Maulana

Pages

  • Home
  • About Me
  • Contact
  • Gallery
  • Writings
 


Entah apa yang membuat manusia di zaman sekarang--termasuk saya--sering dikelilingi rasa khawatir, cemas, dan takut berlebihan. Membayangkan masa depan yang tidak pasti sesering menyesali dan meratapi masa lalu yang sudah pasti tidak mungkin kembali. Apakah itu karena faktor lingkungan? Media sosial? Tekanan keluarga, kerabat, hingga masyarakat? Enak memang menyalahkan faktor luar atas ketidakwajaran yang terjadi pada diri kita. Tapi...tidak demikian yang dipercayai oleh filsafat stoa yang terangkum dalam buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring ini.

Buku yang menjadi national best-seller ini membahas tentang pandangan filsafat stoa (stoicism) dan kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Memberikan kiat dan cara pengelolaan pikiran sehingga kita bisa lebih santai dan tidak tertekan dalam menghadapi berbagai tindakan atau kejadian yang bisa mematahkan semangat. Dengan kata lain, buku ini merupakan "panduan" agar kita bisa tenang sejak dalam pikiran.

Pendekatan saya tentang filsafat pertama kali itu ketika semester pertama perkuliahan dalam mata kuliah Filsafat Ilmu yang *uhuk* saya nggak paham sama sekali. Jiper memang kalau mendengar buku atau pembahasan tentang filsafat. Namun untungnya Filosofi Teras ini dibuat dengan bahasa yang sangat santuy dan jauh dari kesan "berat banget" seperti stereotip di luaran sana.

Tentang Stoisisme

Sejak bab-bab awal, kita diajak berkenalan dengan sejarah Filsafat Stoa ini. Bagaimana musibah kapal karam yang membuat, Zeno, seseorang yang tadinya tajir melintir menjadi jatuh miskin seketika. One thing led to another, hingga akhirnya muncullah filsafat yang umurnya awet selama lebih dari dua milenium.

"Some things are not up to us, some things are not up to us." - Epictetus (Enchiridion) hal. 46

Mari masuk ke intisari dari Filosofi Teras itu sendiri. Kita akan menemukan fakta bahwa sebenarnya, rasa khawatir, cemas, takut, dan marah itu datang bukan semata-mata dari faktor eksternal. Namun, kenyataannya justru terbalik. Bahwa pikiran kitalah yang jadi dalang di balik itu semua. Opini-opini kita yang--namanya juga opini-- umumnya tidak berdasar dan cenderung membuat semua terkesan buruk itulah akar dari semua perasaan yang mengenakan tadi. Karena, salah satu poin yang sering diulang-ulang dalam buku ini adalah: Semua kejadian yang terjadi di luar kontrol kita itu netral. Opini kitalah yang menyebabkan sebuah kejadian menjadi terasa positif atau negatif. Kurang lebih seperti itu.

Ngomong-ngomong soal kontrol dan kendali, ada sebuah konsep bernama "dikotomi kendali" yang dapat digunakan untuk berlatih mengelola pikiran dan emosi kita. Singkatnya, kita mengategorikan sesuatu menjadi dua: apakah itu berada di bawah kendali kita (pemikiran, respon diri, besarnya usaha, dll); atau apakah itu berada di luar kendali kita (penilaian orang, ucapan orang lain, kesehatan, kapan kita mati, dll). Kalau itu berada di luar kendali kita, maka, ya udah. Itu bukan sesuatu yang bisa kita kendalikan. Dan yang bisa dikendalikan adalah respon dan opini atau judgement kita terhadap masalah itu. Lengkapnya mungkin bisa dibaca di buku Filosofi Teras (beli yang asli, ya, gaes).

Pada bab-bab berikutnya dalam buku ini masih berisi tentang bahasan mengenai cara pengelolaan pikiran dengan berbagai metode. Tidak perlu dijelaskan di sini karena penjabaran di bukunya sudah cukup sederhana dan mudah dimengerti.

Latihan Menderita

Dari sekian bagian penjelasan, ada satu hal yang menarik perhatian saya. Bagian Latihan Menderita!

Kenapa menarik? Karena dibuku dijelaskan kalau kita memang, literally, latihan untuk menderita. Belajar hidup di bawah standar nyaman dan tidak bermewah-mewahan. Tujuannya memang mulia, untuk mengajarkan kita bahwa kita masih bisa hidup dan berfungsi dengan atau tanpa standar kemewahan yang ada. Kalau dipikir-pikir, rasa puas terhadap kepemilikan barang tentu tidak akan ada habisnya. Kita akan selalu menginginkan barang yang lebih baru walaupun yang kita punya masih berfungsi. Standar kemewahan yang ada pun kadang malah membuat kita, sadar atau tidak, malah jadi materialistis.

Penulis juga sudah memberi tahu kalau kita mungkin akan menemukan ajaran Filsafat Stoa ini selaras dengan ajaran agama atau gaya hidup lain. Nah, kalau berdasarkan pemahaman saya, Latihan Menderita ini esensinya hampir mirip dengan gaya hidup minimalisme. Hanya berbeda di pendekatan dan tujuannya.

In my sotoy opinion, Latihan Menderita ini dilakukan untuk menguji atau membuktikan kemungkinan bertahan hidup tanpa barang mewah atau standar tinggi, minimalisme justru dari awal menganjurkan kita hidup sederhana tanpa banyak barang, karena memang rata-rata koleksi kita tidak dibutuhkan dan seringnya tidak membawa kebahagiaan.

Tapi pandangan stoa dan minimalisme menurut saya sama, kok. Bahwa sebenarnya kita tidak perlu banyak barang atau bermewah-mewah untuk tetap bisa hidup dengan bahagia. Karena rasa bahagia itu tidak datang dari barang koleksi atau respon orang terhadap gaya hidup kita. Dikembalikan ke dikotomi kendali, penilaian orang itu ada di luar kendali kita, sedangkan rasa bahagia itu lebih ke a state of mind alias kondisi pikiran kita.

Saya memang belum pernah menemukan literatur tentang minimalisme, seperti literatur tentang ilmu filsafat yang sudah ada dari sebelum Masehi. Tapi, dari berbagai sumber modern yang pernah saya baca dan lihat (rata-rata video YouTube, film dokumenter, atau pun blog serta artikel), para pelaku minimalisme akan menganjurkan kita untuk kembali ke diri kita dan kembali mendengarkan diri sendiri. Apakah kita butuh barang ini? Ataukah saya hanya ingin membuat orang lain terkagum-kagum lalu kita merasa superior? Lebay ya? Tapi dari buku Goodbye, Things-nya Fumio Sasaki, saya baru tahu bahwa memang ada orang yang seperti itu.

Mungkin kalau tujuan kedua tercapai, kita akan bahagia. Tapi coba kalau sebaliknya? Karena respon orang itu bukan di bawah kontrol kita, begitu orang tidak memberikan respon yang kita inginkan, lalu kita pasti akan baper dan mutung. Lagi-lagi karena berharap pada sesuatu yang tidak di bawah kendali kita.


Sepanjang membaca buku ini, beberapa kali saya teringat dengan ucapan dari orang-orang tua di sekitar. Kadang, mereka sering bilang, "Kita kan sudah usaha, hasilnya gimana mah itu terserah Allah SWT." Nggak tahu apa mereka pernah baca buku-buku Filsafat Stoa (kayaknya sih nggak ya), tapi memang filsafat ini terasa sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Padahal baca tentang ilmu filsafat baru dari buku ini.

Syukurnya lagi, layout dari buku ini juga sangat membantu proses membaca. Tidak semua isinya huruf, tapi diselingi gambar-gambar dan halaman kutipan. Cukup meringankan mata karena pasti kalau layout-nya seperti buku non-fiksi lain, saya pasti males bacanya. Walaupun, hampir yakin penyebab terbesarnya adalah opini saya tentang filsafat seperti yang saya sampaikan di atas.

Untuk ukuran buku "pengatar filsafat stoa" saya rasa sudah banyak hal yang tersampaikan. Walaupun itu memang masih dasar sepertinya. Mungkin ke depannya saya akan coba cari literatur tentang stoa lain yang berbahasa Indonesia dulu. Baru perlahan naik tingkat ke buku-buku Marcus Aurellius, dkk.

Seperti Om Piring bilang di bagian epilog, buku Filosofi Teras ini memang baru awal, bagi kita yang mau mendalami. Jadi, semoga ke depannya banyak buku-buku filsafat yang dikemas seringan mungkin agar ilmu dan intisarinya bisa dipahami banyak orang.

Selamat membaca! Buku bagus memang harus di-review dan disebarkan.

n.b. Bab Sebelas buku ini memberikan banyak pencerahan tentang ketakutan saya selama ini. Terima kasih, Om Piring.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Stasiun Manggarai, calon pengganti Stasiun Gambir
Tiap dengar kata Jakarta, hal pertama yang hampir selalu terlintas adalah soal macet dan panasnya. Rasanya kota ini semerawut dan bikin pusing, kata orang-orang yang lama tinggal di sana. Mungkin mereka ada benarnya. Saya yang bukan (atau belum jadi) anak Jakarta, kadang suka penasaran dan ingin membuktikan sendiri. Separah apa sih lalu lintas di Big Durian ini. Akhirnya... Ketika ada kesempatan beberapa hari ke Jakarta, saya berusaha coba semua transportasi umum di sini. Jadi tulisan ini murni hanya berdasarkan pengalaman saya kurang dari seminggu itu.

Sah!
Ketika tahu kalau saya bakal ke Jakarta, jari-jari tangan ini langsung riset tentang apa-apa saja yang bisa dilakukan di sana. Khususnya soal mobilitas, karena memang tidak ada niat untuk membawa kendaraan pribadi, jadi sudah sedari awal saya mempersiapkan diri untuk belajar rute TransJakarta dan MRT, karena kalau ojek online memang tidak perlu persiapan. Di Jogja pun sudah biasa.

Riset tempat wisata atau destinasi menarik mana yang murah dan dekat itu sudah wajib. Cara untuk sampai ke sana pun bisa dicari semalam sebelumnya. Tapi, tujuan utama saya dari sebelum berangkat adalah...naik MRT Jakarta. Kapan lagi kan bisa naik MRT pertama di Indonesia?

Sebagai percobaan pertama, tidak sah rasanya kalau tidak naik dari salah satu stasiun akhir dan paling strategis. Yaitu MRT Bundaran HI. Ternyata memang beda rasanya naik sarana transportasi yang sudah mutakhir. Semuanya serbacepat, tepat waktu, dan...rapi. Untung ini sudah beberapa bulan setelah peluncuran, jadi saya tidak harus berpapasan dengan orang-orang yang piknik atau bergelantungan di dalam rangkaian.
Peron bawah tanah Halte MRT Bundaran HI

Dari Halte Bundaran HI, tujuan saya waktu itu ke Cipete, karena lihat postingan di Instagram tentang toko kue yang sedang hits. Karena letaknya strategis dan dekat sekali dari Halte Cipete Raya, jadi tidak begitu melelahkan ketika harus berjalan kaki beberapa ratus meter.

Biaya naik MRT pun tidak begitu mahal. Kalau tidak salah dari Bundaran HI ke Cipete Raya hanya sekitar Rp10.000 atau Rp11.000, sekitar segitu. Terbayar sudah dengan peron yang bersih, toilet yang super nyaman, dan kecepatan waktu tempuh. Kalau pakai transportasi lain mungkin harganya bisa beberapa kali lipat, belum dengan macet dan kesemrawutan lalu lintas.

Selain MRT, transportasi lain yang cukup diistimewakan adalah TransJakarta. Diistimewakan karena mereka punya jalur sendiri yang--idealnya--tidak dimasuki kendaraan lain. Perjalanan saya dengan TransJakarta dimulai dari Halte Stasiun Kota sampai ke Bundaran HI (untuk naik MRT ke Cipete Raya). 

Sebenarnya naik TransJakarta ini nyaman, lho. Untuk masalah berdiri memang sudah risiko dan sebenarnya tidak begitu melelahkan. TransJakarta ini juga bebas macet dan karena rute yang saya tempuh relatif singkat dan jalannya "lurus-lurus" saja, tidak begitu terasa jadinya. 

Dari segi kondisi, kalau mau dibandingkan dengan TransJogja, bus TransJakarta jauh lebih besar dan luas. Memang itu juga pengaruh dari kondisi di lapangan. Penduduk Jogja memang masih belum banyak yang menggunakan bus kota, motor atau mobil pribadi masih jadi pilihan. Terdiri dari sekitar 2-3 rangkaian, membuat penumpang juga tidak perlu berdesakan. Haltenya pun luas-luas dan bersih. Sama seperti transportasi umum lain seperti kereta atau MRT, kita memang harus usaha ekstra untuk jalan ke tempat tujuan karena memang pemberhentiannya tidak bisa menyenangkan semua pengguna.
Lantai atas bus tingkat untuk Jakarta City Tour Bus yang jadi rebutan.

Selain TransJakarta, ada juga Jakarta City Tour Bus yang bisa membawa kita keliling kota sambil mendengarkan paparan dari pemandu di bus. Waktu itu saya naik bus tentang "History of Jakarta", isinya kita melewati bangunan-bangunan bersejarah di pusat kota dengan pemberhentian akhir ke Kawasan Wisata Kota Tua. Seru! Karena bus ini bus tingkat, jadi jarak pandang kita lebih tinggi dan luas. Berasa jadi raksasa. Poin plus lain dari Jakarta City Tour Bus ini adalah...gratis! Kita bisa datang ke halte terdekat (saya di depan Masjid Istiqlal), lalu pilih ingin naik bus yang mana. Di samping dan depan bus ada kode bus dan keterangan temanya, kok. Atau kalau takut salah bisa tanya ke petugasnya. Tapi harus dicek juga karena ada bus lain yang harus bayar, jadi dipastikan sebelum naik.

Nah, berikutnya adalah kendaraan umum yang sempat bikin saya jiper waktu lihat video-video dan berita di internet. None other than...KRL. Yep. angkutan umum andalan pekerja dari Bodetabek ini memang kalau dilihat selalu penuh, berdesakan, dan terkesan nggak aman. Banyak yang kena masalah di sini. Mulai dari kena copet, catcalling, atau desak-desakkan dengan penumpang lain.

Buat mencegah semua kondisi tadi, saya naik pas bukan jam sibuk. Sekitar jam dua siang dari Stasiun Pasar Minggu Baru ke Stasiun Gondangdia. Nyaman, lho, sebenarnya KRL ini. Walaupun kipas anginnya nggak ada dingin-dinginnya sama sekali. Lupa kipasnya muter apa nggak. Gerbongnya juga cukup luas. Walaupun dengan pengecualian karena ini bukan jam sibuk. Kalau saya naik agak sorean mungkin lain cerita. Semua pekerja laju bakal tumplek blek. Hiii...saya masih suka jiper karena memang kadang suka tidak nyaman kalau di keramaian, berdesakkan pula.
-

Stasiun Pasar Minggu Baru tempat saya naik tidak begitu luas. Karena memang sedikit yang naik di sini. Selain itu juga sedang ada renovasi di stasiun, jadi memang agak kotor dan berdebu. Peronnya pun di dua sisi tidak begitu luas. Tapi kursinya masih tersedia banyak.

Datang dengan persiapan dan niat untuk mencoba transportasi umum di Jakarta memang membantu. Mencari rute terdekat dari destinasi wisata atau tempat makan dan nongkrong itu penting sekali! Dan...rasanya berada di kota yang sudah maju sistem transportasinya memang beda. Semua terasa mewah dan kita sudah beradaptasi dengan teknologi. Jakarta memang terlambat punya MRT dibanding Thailand dan Malaysia, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Meskipun ungkapan itu tidak bisa diterapkan terus menerus (karena orang Indonesia memang sering terlambat).

Penampakan Stasiun Pasar Minggu Baru

Rasanya beda ketika sistem transportasi kita sudah serbaotomatis. Tinggal tap kartu langsung jalan. Semua serba cashless, rapi, dan tertib. Optimis memang kalau Indonesia bisa maju walaupun harus berlari mengejar posisi negara lain. KRL yang murah dan jadi andalan, TransJakarta yang sangat-sangat luas, bersih, dan nyaman, sampai MRT yang jadi ikon kebanggaan karena kita mampu punya teknologi seperti itu.

Opsi lain seperti angkot dan Metromini memang kadang masih jadi pilihan, tapi...banyak yang harus dibenahi di sistemnya. Tugas siapa? Saya rasa semuanya. Semua yang butuh naik kendaraan umum, semua yang punya wewenang untuk mengatur urusan transportasi. Pakai, rawat, dan jangan lupa untuk melaporkan ketidaktaatan siapa pun yang mengganggu kenyamanan. Bisa kok angkutan umum di Jakarta dan Indonesia tertib dan terintegrasi. Asal jangan lempar tanggung jawab dan lepas tangan saja.

Salam.


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

Bachelor of political science.

recent posts

Labels

  • #RzBaca
  • #RzMain
  • #RzNonton
  • #RzNulis
  • Buku
  • Cerita
  • Drakor
  • Film
  • gaya hidup
  • Gender
  • Islam
  • Jalan-jalan
  • Jogja
  • Kerja
  • KKN
  • Kuliner
  • Lingkungan
  • Minimalisme
  • Myself
  • Resensi
  • Seni
  • Zero Waste

Blog Archive

  • ►  2020 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2019 (14)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ▼  Oktober (2)
      • Filosofi Teras: Tenang Sedari Pikiran, Berlatih Me...
      • Pengalaman Naik Transportasi Umum Jakarta: Sebuah ...
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2018 (3)
    • ►  November (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2017 (4)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Desember (1)

Created with by BeautyTemplates| Distributed By Gooyaabi Templates