Momen KKN di Dusun
Sumberan, Kelurahan Wonoharjo, Kecamatan Kemusu ini banyak banget ngasih
pemahaman dan pembelajaran baru. Cukup kita lebih jeli mengamati lingkungan,
insyaallah, ada aja pelajaran-pelajaran baru tiap harinya. Mungkin bagi
sebagian orang, daftar di bawah ini cuma daftar-daftar mainstream. Banyak buku-buku motivasi yang memuat. Tapi, kalau kita
mengalami sendiri, dan memetik pelajarannya, rasanya jauh lebih berkesan dan
mengena. Serius! Oke, untuk mempersingkat karakter, here they are….
Dari kami yang siap mengabdi kala itu |
1.
Tertawa karena hal-hal kecil
Jadi, ceritanya, di
Sumberan itu banyak jalan naik-turun. Bentuknya beda-beda, ada yang landai ada
juga yang curam. Nah, kelompok kami itu sukanya sama turunan yang curam-curam.
Kalau kita menemukan turunan curam tadi, langsung tuh, motornya gak digas dan
kadang-kadang dimatikan. Rasanya mirip kayak naik roller coaster yang ada di Dunia Fantasi. That is why, kami menyebutnya dengan Dufan ala Sumberan.
Dufan ini menjadi
kebiasaan kami hampir setiap hari. Sensasi meluncur di motor dengan kecepatan
cukup tinggi, ditambah angin yang kenceng ternyata bisa jadi hiburan yang
murah-meriah selama KKN. Kami nggak perlu ngeluarin duit sama sekali, tapi kami
bisa ketawa bareng-bareng. Ternyata, kalau kita peka, hal-hal kecil yang ada di
sekitar kita bisa jadi sumber kebahagiaan, tanpa perlu mengeluarkan biaya
sepeser pun.
2.
Senyum
Smile
is the best make up human can put on. Well,
saya percaya. Di Sumberan ini, setiap ketemu sama masyarakat, kami selalu
saling melempar senyum. Senyumnya harus yang ikhlas tapi, ya. Senyum di sini
bukan untuk basa-basi atau formalitas tiap ketemu, tapi lebih ke cara kita
menyapa dan menerima keberadaan satu sama lain. Apalagi kami di sini tamu yang
suka nyusahin masyarakat.
Rasanya nggak berat kok
untuk senyum. Apalagi katanya senyum yang ikhlas itu bisa jadi ibadah. Mungkin
kalau dijelaskan apa manfaat senyum bakal kepanjangan ya. Tapi yang saya
rasakan setelah senyum, perasaan jauh lebih tenang dan saya merasa diterima di
Sumberan ini. Senyum itu bahasa yang universal, kita nggak perlu bersuara, tapi
semua orang bisa terbawa bahagia.
3.
Not to make life
more complicated
Sering kalau di rumah kita
suka ribet masalah makanan, pakaian, dan hal-hal remeh temeh lainnya. Tapi di
sini, semua serba ringkas. Makan tinggal makan, mau masak sayur tinggal metik,
tinggal ambil. Apa aja dimakan, nggak pake gengsi.
Kami di sini makan tape
singkong, makan gethuk, makan ikan
asin nggak pakai mikir lagi, semua dilibas. Bayangkan kalau di kota, pasti
sudah ogah-ogahan. Kalau biasanya kita suka gak bersyukur atas apa yang ada,
dan malah ingin sesuatu yang lain, di sini nggak berlaku. Budaya orang di
tempat KKN ini membuat kami lebih bisa menerima dan nggak mengeluh. Dikasih gethuk goreng aja sudah alhamdulillah.
Apalagi orang-orang di sini sering memberi makanan berat, camilan, dan
buah-buahan.
Singkong, jagung dan
pisang yang jadi komoditas di sini juga mempermudah kehidupan masyarakat. Ada
kenduri atau hajatan tinggal ambil bahan dasarnya di kebun, terus langsung
diolah. Sederhana, gak pake ribet. Ditambah semua menerima. Mungkin, kalau kami
sudah protes, ingin beli ini-itu, pesan ini-itu, delivery ini-itu.
Sebenarnya, kalau
dipikir-pikir, kitalah yang suka memperumit hidup sendiri. Padahal, hidup itu
amat sangat sederhana dan mudah. Mungkin gengsi dan pride jadi faktor yang memperumit itu, tapi semua sebenarnya bisa
dihindari. Kebiasaan mengikuti tren, mengikuti arus pergaulan buat kita
memperumit lifestyle yang aslinya
mudah. Akhirnya, saya beranggapan kalau sebenarnya kita tidak perlu membuat
hidup menjadi lebih rumit, karena sebenarnya akan ada masa di mana kerumitan
datang tanpa kita minta.
4.
Facing small rejections
Di KKN hari ke sekian,
saya dan teman saya keliling ke beberapa toko kelontong untuk meminta sedikit
donasi, alasannya adalah karena proposal permintaan sponsor kami nggak jadi kami
ajukan ke salah satu BUMN di daerah Boyolali. Udara siang hari di Boyolali
nggak manusiawi sekali. Panas. Ditambah juga debu jalanan yang banyak terbang
di sepanjang jalan. Dalam waktu tempuh 1,5 jam saja, wajah kami langsung kucel
nggak keruan.
Bisa dibilang kami
sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah badan capek, muka gosong, eh, masih ditolak
juga di beberapa toko. Awalnya setelah kami jelaskan maksud dan tujuan kedatangan,
pemilik toko menyuruh kami menunggu beberapa menit, mereka mau diskusi dulu
katanya. Sudah ditunggu, pakai haus dan kegerahan, ternyata mereka nggak mau
memberi donasi. Kesal sih, tapi itu sudah risiko sih ya.
Empat jam keliling ke
Kemusu dan Juwangi, Alhamdulillah kami dapat donasi dari 5 toko. Satu toko
memberi sembako, dan yang lainnya memberi uang tunai seikhlasnya. Bukan masalah
besar-kecilnya sih yang penting, tapi lebih ke kebaikan hati para pedagang itu.
Bayangkan, kami orang asing, baru datang ke daerah situ, tapi sudah berani
minta-minta sumbangan donasi. Apalagi acara kami juga nggak menjangkau daerah
mereka.
Let’s
go back to rejections thing. Mungkin
terlalu lebay kalau saya bilang ditolak oleh toko yang diminta donasi itu
menyakitkan. Karena, masih ada rejections yang jauh lebih besar dan parah di
luar sana. Penolakan ini cuma seujung upil dibanding penolakan lain yang
sebesar gunung. Ditolak calon pacar, ditolak kerja, atau bahkan ditolak judul
skripsinya, jauh lebih menyakitkan. Tapi, rejections
ini bisa jadi bayangan dan latihan buat kita menghadapi yang lebih besar. Nggak
akan langsung sukses sih, tapi setidaknya kita pernah tahu bagaimana rasanya
diberi harapan, lalu ditolak di saat bersamaan.
5.
No one likes to
be left out
Yang namanya KKN sudah
pasti kerja tim harus bagus. Nggak boleh ada gesekan-gesekan kecil maupun
besar. Selama satu bulan di atap yang sama, terus diskusi bahas proker yang
nggak kecil akan terus terjadi dan semakin intensif mendekati hari-H. Kalau
pola diskusinya salah, bisa-bisa ada yang nggak suka dan merasa ter-left out(?) dari grup. Perasaan seperti
itu nggak bisa dibilang lebay, karena ada orang yang perasaannya super sensitif
dan sulit berbicara.
Ngomong-ngomong soal being left out, di waktu saya KKN ada
kejadian-kejadian, yang kalau tidak dicegah, akan mengarah ke perasaan left out. Did it happen to me? You guess it. Ketika bahas proker, kami
untungnya sudah membuat koordinator-koordinatornya. Sayangnya, dengan dibuat
koordinator itu, jadinya justru komunikasi kelompok untuk membahas proker nggak
intensif. Semua yang diskusi hanya ketua dan koordinator-koordinatornya. Nah,
gimana yang lain? Kadang ada yang ngedumel dan curhat di belakang. Mereka dari
yang nggak berani jadi malas buat ngomong. Akhirnya, di akhir-akhir waktu KKN,
kami evaluasi semua dan yaah ada perubahan yang terasa, walaupun sedikit.
Perasaan ter-left out itu memang nggak mengenakkan.
Kita merasa nggak dianggap dan pemikiran kita nggak dihargai dan diperhatikan.
Dalam kerja tim memang komunikasi secara menyeluruh itu penting. Semua anggota
punya otak dan pemikiran masing-masing. Masalah cocok atau nggaknya pemikiran
dengan realita, nggak kemudian membuat kita melewati mereka dan tidak menanyai
pendapatnya. Baik atau jelek, bagus atau tidak, semua harus terlibat. KKN bukan
hanya masalah lancarnya program kerja, tapi juga bagaimana tim ini merasa
terlibat dan sense of belonging-nya
terasa walaupun itu bukan bagian tugasnya.
Idul Adha kami |
6.
Tradisi yang masih ada di Indonesia
Waktu malam setelah
17-an, kami mengadakan acara penyerahan hadiah bersamaan dengan apitan desa dan
sedekah bumi. Rangkaian acaranya dimulai dari setelah magrib sampai kurang
lebih jam 2 tengah malam di depan rumah Bapak RT 001. Isinya sih cuma pembagian
olahan hasil bumi, lalu dilanjut pengumuman pemenang, baru yang terakhir itu
acara puncaknya, karawitan.
Karawitannya itu
langsung dari grup Ibu RT 001 Sumberan. Mereka mulai main sekitar jam 10 malam.
Nah, di acara karawitan ini tetep ada tradisi nyawer duit. Sinden-sinden yang
lagi nembang dikasih uang buat membawakan lagu yang di-request sama penonton. Selama penontonnya masih minta buat
dinyanyikan, ya terus aja si sinden nyanyi. Ini yang buat acara karawitan bisa
berlangsung sampai larut malam.
Terus tradisi yang
dimaksud apa? Tradisi yang saya maksud di poin ini bukan tentang karawitannya,
tetapi tradisi masyarakat yang selalu ada tiap acara hiburan di malam hari
berlangsung. Mabuk dan minum minuman keras.
Jam 11 malam, mulai
datang Bapak-bapak se-Dukuh Sumberan ke tempat karawitan. Awalnya sih semua
lancar, dan saya masih bisa menikmati karawitannya. Tapi, penonton bapak-bapak
mulai mengganggu ketika mereka mulai minum miras di kursi penonton. Ganggunya
itu udah di luar bayangan saya. Mereka yang tadinya ngobrol-ngobrol santai,
bahas masalah desa, cerita ngalor-ngidul, eh, malah pada berantem sendiri.
Antarbapak mulai saling marah dan suara mereka mulai meninggi. Puncaknya adalah
ketika ada salah satu bapak-bapak yang marah-marah dan ngajak berkelahi ke
semua orang yang dia rasa mengganggu keasyikan dia. Semua penonton berusaha
ditonjok sama Bapak itu, termasuk Pak Mantri yang juga bisa hadir. Akhirnya, Bapak
itu dibawa pulang setelah beliau jatuh ke selokan dan kepalanya berdarah.
Ckckckck.
Merayakan 17-an |
Kesenian karawitan
memang sudah saya suka dari dulu. Waktu SD, pelajaran karawitan jadi yang
paling ditunggu sama semua orang. Musik-musik dari gamelan juga memang bisa
buat adem dan nggak emosi. Tapi, kalau kasusnya kayak yang di atas tadi,
keindahan karawitannya kan jadi terganggu. Bahkan mungkin orang-orang datang ke
tempat apitan desa cuma buat mabuk. Mereka nggak begitu peduli dengan
karawitannya sendiri. Sayang sih sebenarnya.
Budaya mabuk di
Indonesia memang masih tinggi. Sampai sekarang, saya masih belum paham apa sih
faedahnya dari mabuk itu. kita hangover
dan nggak sadar sama apa yang kita lakukan. Bisa saja saat mabuk kita mukul
orang, jatuh, atau melakukan hal-hal yang mencelakakan diri sendiri. Jujur,
saya agak risih dan terganggu dengan budaya mabuk-mabukan ini. Dilihat dari
sisi mana pun, kok kayaknya nggak ada manfaatnya gitu lho. Tapi anehnya, masih
saja budaya mabuk ini diminati. Mungkin ada banyak faktor yang membuat budaya
ini langgeng di dusun kami. Siapalah kami anak KKN yang datang cuma satu bulan,
optimis bisa mengubah budaya yang sudah terpelihara mungkin sejak kami belum
lahir.
7.
How easy my life
is in the city
In brief, momen KKN ini
membuat saya sadar kalau selama ini hidup saya sudah sangat-sangat mudah. Apa
yang saya butuhkan semua ada di Jogja. Saya nggak pernah kesulitan soal sinyal,
air, akses hiburan, sampai infrastruktur. Di ‘kota’ semua sudah serba nyaman
dan mapan. Tapi, walau begitu, masih aja saya suka meminta lebih, merasa belum
cukup, membuang-buang uang dan kurang bersyukur.
Begitu datang ke
Sumberan dan melihat bagaimana kondisi di sini, yang pertama saya lakukan
adalah… mengeluh. Kok jalannya jelek,
sinyalnya bapuk, airnya keruh, akses ke ‘kota / kecamatan’ jauh luar biasa.
Saat observasi pertama, rasanya saya ingin pindah lokasi. Tempatnya kok begini
amat ya. Kesan pertama saya tentang kondisi Sumberan memang nggak begitu bagus.
Untungnya, orang-orang di sini baik-baik dan ramah-ramah.
Antara minggu kedua dan
ketiga, saya mulai bisa mikir. Mereka yang tinggal di sini saja masih bisa
ketawa-ketawa, masih ingat untuk memberi tetangganya kelebihan rezeki di rumah.
Mereka masih bisa terlihat bahagia, walaupun semua masih serbaterbatas. Lah,
saya yang tinggal di kota yang semuanya serbaada, masih suka merasa kurang.
Momen-momen impulsif yang kadang muncul membuat saya sadar kalau hidup saya
sudah jauh lebih mudah dan jauh lebih membahagiakan asal saya tahu bagaimana
caranya.
Enjoy atau nggaknya
momen KKN kita, memang banyak faktornya, internal atau eksternal. Tapi kita
masih tetap dapat menentukan mau seperti apa kita menjalaninya. Ada yang bilang
kalau rasa marah, sedih, dan emosi lainnya itu terjadi karena kita yang
meminta, kita yang memilih untuk merespons demikian. Ganjalan-ganjalan kecil
pasti selalu ada. Tapi cara kita merespons akan memberikan dampak yang berbeda.
Walaupun KKN di sini ada yang tidak mengenakkan, tapi saya berusaha untuk
mencari pembelajaran di setiap hal yang terjadi, baik atau buruk. Cara ini
sepertinya akan saya coba terapkan di semua kesempatan. Karena lelah juga kalau
semua kejadian harus direspons dengan emosi, padahal masih ada pilihan lain
yang jauh lebih bermanfaat.
Ditulis di
Boyolali, 30
Agustus 2017.
Terima kasih.