Kisah Hidup Anak Gadis Korea Selatan di House of Hummingbird

by - 11/28/2019 04:15:00 PM

Sumber: https://www.imdb.com/title/tt8951086/


Masih dari film yang saya tonton di JAFF kemarin, film ini kayaknya termasuk banyak peminatnya. Studionya juga hampir full house waktu itu. Padahal bukan film pembuka atau penutup. House of Hummingbird adalah film dari Korea Selatan. Ceritanya soal hubungan sebuah keluarga di tahun 1994 yang kurang begitu harmonis. Eunhee, anak bungsu dari tiga bersaudara harus hidup di keluarga yang kalau saya lihat kurang memberi perhatian dan sering ribut. Kakak laki-lakinya, yang sedang fokus belajar untuk tes masuk kuliah sering memukuli dia. Kakak perempuannya? Hhh.... dia sering bolos belajar dan malah pacaran sampai pulang malam. Ayahnya aja sampai sudah bosan untuk marah-marah.


Sepanjang film, kita bakal banyak melihat kehidupan yang Eunhee alami. Pertemanan, kenakalan remaja, sampai cinta-cintaan anak baru gede. Kita juga harus melihat bagaimana di hidup Eunhee ini banyak sekali ketidakadilan. Kalau diceritakan satu-satu jadinya spoiler ya...dan kepanjangan juga. Tapi, untungnya ada seorang yang jadi penengah dan mengerti kondisi Eunhee. Miss Youngji. Guru Bahasa Mandarin di tempat dia kursus selesai sekolah. Kalau kehidupan Eunhee ini macam padang pasir yang panas dan melelahkan, kelas Bahasa Mandarin ini adalah oasenya. Eunhee bisa bebas bercerita dan perlahan kedekatan mereka semakin erat.

House of Hummingbird yang mengambil latar tahu 1994 juga bisa menunjukkan tren yang sedang terjadi di sana waktu era itu. Misalnya Eunhee yang masih pakai pager dan telepon umum buat telepon gebetannya setidaknya jadi penanda waktu yang cukup mewakili. Gaya pakaian Eunhee juga 90-an banget. Nggak begitu kekinian dan asal-asalan sih.

Unsur drama dan kompleksitas ceritanya juga lebih banyak. Kalau dibuat mind map, pusatnya itu Eunhee. Lalu bercabang ke masalah keluarga, cinta, persahabatan, kesehatan mental, dan pencarian jati diri. Kadang kita bisa kasihan sama Eunhee, tapi...kadang juga bisa keseeeeel banget. Apalagi di bagian pembuka film.

Yang cukup berani adalah penggambaran kisah cinta anak-anak perempuan di usia SMP. Eunhee yang ditaksir anak cewek lain. Mereka pun saling suka dan sampai berani ciuman pipi. Tapi apa anak SMP sudah paham sama cinta dan semacamnya? Dapat infomasi dari mana ya kira-kira? Kalau mereka masih pakai pager, internet dan akses informasi juga belum semarak sekarang. Kepo aja gitu jadinya. Juga...apa tahun 1994 sudah pada berani ya di sana? Atau ada nggak ya represi soal itu?

Kalau ada yang bikin saya penasaran mungkin pas bagian *spoiler alert* Eunhee dipukul oleh kakaknya sampai telinganya sakit berdengung. Dia terus datang ke dokter dan akhirnya dokter tanya kenapa kok gendang telinganya sampai sobek. Eunhee nggak jawab apa-apa. Dokternya pun langsung menawarkan pembuatan surat keterangan pemeriksaan. Eunhee yang nggak paham akhirnya nanya buat apa surat itu. Dokternya bilang, “Buat bukti (for evidence).”

Kalau dokternya bisa langsung nebak Eunhee dipukul (walaupun bisa aja dipukul selain keluarga), berati kejadian macam itu udah sering terjadi kan? Dan...karena biasanya yang saya tahu banyak filmmaker yang memasukan unsur-unsur atau kondisi sosial, politik, dan ekonomi di tempat ceritanya ke dalam film, apa mungkin pada tahun segitu kekerasan domestik sudah sering terjadi? Jadi penasaran aja sama kondisi itu dua puluh tahun setelahnya.

Dan...kayaknya sistem pendidikan dan pola pikir orang tua masih sama aja di mana-mana. Banyak anak yang harus belajar keras karena ada tuntutan dari orang tua agar sukses dan masuk ke jurusan tertentu biar masa depannya agak cerah dan “nggak berakhir kaya ibu dan bapak”. 

Film ini juga sukses menyilaukan mata saya. Secara harfiah. Karena banyak adegan malam hari yang agak redup dan gelap tiba-tiba langsung berganti ke siang hari dan brightness-nya full nggak kaleng-kaleng. Yang disorot langit pula. Mantap!

Bagian akhir film mungkin banyak yang bingung atau pengen kejelasan. Tapi ya balik lagi, karena ilmnya memang lama, hampir dua jam tiga puluh menit, kalau mau akhirnya jelas dan terbuka mungkin bisa sampai tiga jam filmnya selesai. Atau, bagian tengah film dipotong beberapa menit. Karena nggak bisa menyenangkan semua pihak, jadi ya...apa yang dirasa baik sama pembuat filmnya ya yang ada di film sepertinya.

Lagi, seperti dua film yang sebelumnya, banyak pesan yang muncul di dialog atau gestur pemain. Bagian monolog Miss Youngji di akhir film harus banget didengerin sampai akhir. Karena saya—lagi-lagi—nggak fokus, jadi nggak bisa nangkep semuanya. Dasar aku.

Kalau film ini tayang reguler dan masuk Indonesia, sangat-sangat layak untuk masuk daftar tontonan. Dua jam yang nggak terasa-terasa banget lamanya. Dan mungkin membuat kita mempertanyakan banyak hal di dalamnya.

You May Also Like

0 komentar