Kim Ji-Young, Born 1982: Tentang Akumulasi Perasaan, Kesehatan Mental, dan Kesetaraan

by - 12/04/2019 02:41:00 PM

sumber: https://celebrity.okezone.com/
Setelah sempet tertunda, akhirnya bisa juga nonton Kim Ji-Young, Born 1982. Sebuah film dari Korea Selatan yang kayanya niat banget buat mengangkat isu tentang kesetaraan gender dan kondisi perempuan di sana. Diadaptasi dari buku berjudul sama, film ini diperankan oleh Jung Yu-Mi dan Gong Yoo, di mana mereka jadi sepasang suami-istri dan orang tua muda yang punya anak perempuan super lucu. Banyak dinamika dan konflik yang akhirnya bermunculan satu demi satu sepanjang film.

Masalah dari film ini bukan hanya soal urusan pernikahan dan segala remeh-temehnya. Tapi soal Ji Young yang mengalami depresi karena banyak hal. Penyebab depresinya pun banyak banget, dan masih terjadi di mana-mana sampai sekarang, apalagi di Asia sepertinya. Tekanan keluarga, sifat ibu mertua, pengalaman waktu dia kecil, dan tekanan yang dia dapat “karena dia seorang perempuan”.

*bocoran adegan dimulai dari....sekarang*

Kim Ji-Young, Born 1982 ini film drama yang sebenernya sangat sederhana. Kekuatannya menurutku ada di isu yang diangkat dan dari akting para pemain. Nggak ada special effect, musik pun dibuat syahdu dan nggak overpowering, pengambilan gambar pun sama dengan film drama keluarga pada umumnya. Tapi, akting Gong Yoo, Jung Yu-Mi, dan semua pemain lain memang mantap!

Jung Yu-Mi yang memainkan karakter yang sedang depresi berhasil akting dua kepribadian yang berbeda. Waktu dia jadi Kim Ji-Young yang normal dan waktu dia jadi orang lain, itu dua karakter yang sangat kontras. Bagian yang paling heartbreaking itu waktu Ji-Young jadi ibunya pas lagi tahun baruan di keluarga suami, dan puncaknya waktu dia jadi neneknya(?) lalu dia ngobrol ke ibunya untuk nggak menyusahkan dirinya sendiri. Wah! Suara isakan mulai muncul di sana-sini. Sedih banget. Apalagi pencahayaannya dibuat remang-remang, jadi saya bisa fokus ke akting pemain-pemainnya.

Selebihnya sih film ini masih sama aja kaya film drama lain. Komedinya pun masih ada dengan cara yang sangat-sangat effortless. Sepanjang film kayanya semua tokoh laki-laki di film ini jadi sumber masalah, selain Babang Gong Yoo si suami idaman nan tampan tentunya.

Kalau ada salah satu karakter favorit, mungkin Ibunya Kim Ji-Young ada di posisi teratas. Penggambaran dia sebagai ibu yang kuat dan lebih berpikiran terbuka dibanding Bapaknya (masih kesel sama dia). Pengalaman masa muda sang Ibu yang membentuk dia. Sewaktu muda harus kerja keras buat biayain keluarga dan kakak-kakak laki-lakinya pada akhirnya buat dia terbiasa hidup keras dan nggak diam diri aja. Ji-Young dan kakak perempuannya juga jadi kaya gitu. Mantap!

Ini seriusan! Ada beberapa bagian di film ini yang bikin emosi banget-banget. Walaupun ini “cuma” film yang diadaptasi dari buku, tapi semuanya masih terjadi dan sepertinya langgeng. Jadi jangan heran kalau women’s march masih ada di mana-mana. Karena ya...mereka masih sering ditekan oleh masyarakat dan sistem gitu lho.

*bocoran adegan bagian II*

Mungkin satu yang paling relatable (padanannya apa sih ya?), adalah waktu Ji-Young dideketin temen laki-lakinya mulai dari halte dia naik sampai turun di dekat rumahnya. Keliatan banget kalau dia nggak nyaman dan takut. Dia sampai dibantu seorang ibu baik hati (yang main di When Camellia Blooms) sampai dia nangis-nangis di pinggir jalan. And you know what... waktu Bapaknya datang dan jalan bareng ke rumah, dia malah terang-terangan nyalahin seragamnya si anak yang katanya kependekan. Hellow... *facepalm*. Itu mungkin masih diperdebatkan ya. Tapi, menurutku aneh aja. Bahkan di 2019 ini pun masih ada yang menyalahkan cara berpakaian perempuan.

sumber: https://www.imdb.com/title/tt11052808/
Film ini diangkat dari buku kan ya. Kalau baca-baca di berita sih, banyak yang kontra dengan buku dan film ini. Kurang lebih karena budaya patriarki masih langgeng di sana. Yah, di sini juga sama aja. Bahkan katanya ada crowdfunding untuk cerita lain yang berusaha lawan diskriminasi buat laki-laki. Tapi, pro-kontra soal karya seni sih bukan hal baru juga. Menarik juga sebenernya. Ternyata banyak yang bisa ter-trigger hanya karena karya kreatif seperti buku dan film. Mungkin interpretasi terhadap karya itu sendiri kali ya?

Kalau lihat gambaran yang lebih luas lagi, film ini menurutku nggak hanya menunjukkan soal betapa perempuan masih belum ada di level yang sama dengan laki-laki, khususnya di luar urusan rumah tangga dan tetek bengeknya. Hal yang paling dasar adalah keadaan ketika sesama manusia, terlepas dari jenis kelaminnya apa, kadang nggak ada rasa empati terhadap kondisi kesehatan mental seseorang.

Waktu seseorang bilang dia nggak apa-apa, itu mungkin dia menutupi sesuatu yang dirasa terlalu berat dan takut menyusahkan orang lain. Bahkan mungkin mereka nggak tahu apa yang salah dengan diri mereka? Ji-Young yang bekerja keras dan punya akumulasi kekesalan dan perasaan lain yang dipendam selama hidup, rasanya jadi bom waktu dan kondisi depresinya itu jelas bukan sesuatu yang tiba-tiba.

Perasaan depresif yang ada hanya diketahui si suami. Itu pun dia masih clueless soal kenapa-kenapanya. Orang tua Ji-Young yang juga nggak peka soal kondisi anak perempuannya dan percaya kalau dia hanya “capek”. Bibi-bibi dan ibu mertua yang kalau ngomong susah direm dan nggak sadar kalau ucapannya itu menyakiti hati dan kondisi psikologis dia. Malah secara nggak disadari buat perempuan yang sudah depresif makin depresif.

Sure, emang perempuan masih belum dianggap setara dan dilihat sebelah mata dan patriarki masih langgeng. Patriarki pun masih banyak memberikan dampak buruk bagi perempuan. I wholeheartedly agree! Tapi mungkin sekarang ketika kita berusaha melawan itu semua dan menyetarakan level laki-laki dan perempuan, harusnya hal-hal intangible juga perlu diperhatiin. Kadang justru banyak yang saling serang dan nggak peduli waktu bahas soal kesehatan mental. Both men and women. Mungkin dua upaya itu bisa berjalan bersamaan? Bisa kan? Bisa nggak sih?

You May Also Like

0 komentar