Impresi Pertama tentang Dua Film dari Acara JAFF 2019

by - 11/24/2019 10:09:00 PM

Akhirnya ke JAFF juga! Setelah tahun lalu telat dapet info untuk pemutaran filmnya dan kesel sendiri karena banyak temen yang bilang bagus-bagus filmya. Berkat info yang bertebaran di media sosial, akhirnya dengan tepat waktu bisa booking beberapa film. Penasaran ke film dari luar Indonesia sih. Karena beberapa film Indonesia udah pernah nonton sebelumnya. Dan...dua film pertama yang saya tonton adalah Nakorn-Sawan dan Parcel. Ada beberapa poin menarik yang saya dapat dari dua film ini. Banyak hal baru yang bisa dipelajari dan...memberi pandangan baru soal film sendiri.


Nakorn-Sawan

Nakorn-Sawan ini semacam gabungan antara film dokumenter dan yang bukan. Kalau di internet banyak disebut film dokudrama. Dokumenternya diambil dari kumpulan-kumpulan video pendek almarhumah ibunya yang meninggal karena sakit dan ayahnya yang bekerja di kebun karet. Bagian dramanya agak fokus ke kisah Aoey yang baru pulang ke Thailand. Bagian drama ini diceritakan saat Aoey dan ayahnya melakukan upacara ke sungai dengan dua biksu dan kenalan atau tetangganya.

sumber: https://we-love-cinema.com/movies/33802-nakorn-sawan/

Bagian dokumenter dan drama ini berjalan paralel dan ada momen dimana tokoh Aoey ini semacam perwujudan si pembuat film dengan waktu setelah ibunya meninggal dunia. Di awal memang saya agak susah untuk dapat inti dari filmnya. Tapi, ketika ada bagian yang membahas soal sekolah film dan master degree, baru ada kejelasan soal film ini. Buat orang lain mungkin ada yang menangkap lebih cepat?

Nakorn-Sawan sih tipe-tipe film yang irit dialog. Banyak diamnya dan cenderung hening. Pengalaman nonton Nakorn-Sawan mirip waktu saya nonton Sekala Niskala. Mungkin karena sedikit dialog tadi, pengambilan gambarnya harus dibuat nggak biasa. Di bagian drama, ada pengambilan gambar yang simple dan kelihatannya raw banget. Saya suka. Dan di bagian dokumenter, itu bener-bener santai. Kaya anak yang ngerekam kedua orang tuanya lagi ngobrol aja. 

Ada review yang bilang kalau film ini sangat terasa unsur meditatifnya. Khususnya tentang kematian. Memang rasanya demikian. Apalagi ketika Ibu si sutradara bilang kalau dia sudah tidak takut mati lagi. Perubahan kondisi sang Ibu dari yang tadinya sehat sampai jadi sakit dan tidak sesegar dulu, terdokumentasikan dan ditampilkan dengan sangat baik. Momen-momen nostalgia tergambar dengan jelas. Salah satu bagian favorit saya adalah waktu sang sutradara bertanya ke Ibunya tentang foto-foto masa kecil, kenangan-kenangan Ibunya sebelum meninggal, ketika keluarga mereka masih utuh.

Sebenarnya tiap nonton film yang minim dialog semacam ini agak takut-takut juga. Kadang malah jadi bosan dan nggak fokus lagi ke cerita. Di beberapa bagian emang agak bikin susah fokus karena sibuk menduga-duga dan pengen cepet-cepet ganti adegan. Apa tipe-tipe film festival emang seperti ini? Mungkin film slow-paced semacam ini nggak bisa dinikmati oleh semua orang. Apalagi yang bosenan. Tapi biasanya justru film kaya gini itu punya makna yang cukup dalam. Walaupun biasanya keselip di ekspresi muka atau gestur si aktornya sih. Itu PR buat saya yang suka gagal fokus dan sering ngalor-ngidul mikir yang lain.

 



Parcel

Kalau film Parcel ini tentang sepasang suami-istri yang sama-sama seorang dokter, Shouvik dan Nandini. Nandini sendiri diceritakan sudah berhenti dari pekerjaannya. Sampai ketika hari ulang tahunnya, Nandini mendapatkan parcel tanpa nama pengirim. Hampir setiap hari parcel-parcel itu datang dan lama-kelamaan membuat hidupnya dan keluarga tidak tenang. Semua saling menduga tentang siapa yang mengirim. Shouvik kemudian menduga sang istri memiliki penguntit atau penggemar rahasia karena parcel-parcel itu berisi foto-foto Nandini. Ada yang diambil belasan tahun lalu, ada juga yang diambil dua hari sebelum parcel itu dikirim.

sumber: https://asianmoviepulse.com/2019/10/film-review-the-parcel-2019-by-indrasis-acharya/

Sepanjang film rasanya kita akan dibuat menduga-duga tentang siapa pengirim parcel itu. Plus motifnya. Tapi, sebelum sampai ke sana (yang nggak bakal sampai juga sebenernya), di film ini ada sisipan-sisipan lain yang makin membuat kita menebak-nebak bagian akhir dari film ini. Isu perselingkuhan paling terasa karena baik Shouvik dan Nandini sama-sama pernah berselingkuh. Nandini kemudian menduga kalau temannya yang merasa punya dendamlah pelakunya, tapi kemudian cerita diarahkan ke kejadian yang berbeda. Nandini akhirnya menghabiskan waktu untuk menduga-duga hingga kesehatannya mental dan fisiknya jadi korban.

Secara pribadi saya suka film yang latar tempatnya dibuat apa adanya. Kalau memang tempatnya kotor dan rusak, ya tunjukkan saja kerusakannya tanpa di-retouch selama itu nggak ngaruh ke cerita ya. Atau kalau memang ada isu atau masalah sosial, politik, dan sebagainya di daerah itu, ya...kasih lihat saja apa adanya. Kondisi rumah sakit yang gedungnya dibuat bapuk, pelayanan jasa yang masih harus suap sana-sini untuk dapet fasilitas dasar, sampai masyarakat yang masih suka ringan tangan dan emosian khususnya, malah bisa buat kita tertarik secara emosional karena di sini pun yang macam itu ada di mana-mana.

Mirip-mirip seperti film A Copy of My Mind-nya Joko Anwar. Kalau di Indonesia masih banyak koruptor yang hidup mewah di penjara, liatin aja. Walaupun yang di ACMM masih nggak seberapa dibanding yang kejadian sebenarnya. Apalagi yang disidak sama Mbak Nana. Kalau di Jakarta masih ada demo dan kerusuhan, kasih liat aja apa adanya. Kalau diolah dengan baik, kondisi-kondisi sosial, politik, dan ekonomi di suatu tempat malah bisa jadi keunikan di sebuah film sendiri yang mungkin negara-negara maju nggak punya.

Film ini mungkin agak panjang ya buat sebagian orang. Tapi, ini beda sama Nakorn-Sawan yang minim dialog dan banyak heningnya. Ada sih beberapa momen yang fokus di musiknya aja. Tapi Parcel ini lebih banyak emosinya. Mulai dari bahagia, bingung, sedih, marah, sampai putus asa. Jadi masih ada dinamikanya buat saya. Tapi ya itu, bikin greget karena kita nggak nyampe-nyampe ke akhir dan di akhir pun nggak dijelaskan secara gamblang siapa si pengirim parcel ini.

Karena pas pemutaran film ada sutradara dan aktor wanitanya, mereka bilang kalau film ini termasuk ke dalam film yang nggak menjelaskan secara eksplisit tentang ceritanya ke penonton (keliatan sih). Jadi itu terserah penonton untuk menginterpretasikan si parcel tadi. Apakah itu perumpamaan? Mungkin. Menebak siapa pelakunya, silakan saja. Banyak diskusi atau teori yang bisa muncul dari proses kita menerjemahkan apa pun di film ini. Bagaimana kondisi di Kolkata yang masih agak berantakan, sistem kerja medis, sampai ke pemerataan akses kesehatan pun rasanya bisa dibahas buat yang ingin lebih kenal dengan Bengali Cinema ini.

Tapi, kalau sudah di tahap menginterpretasikan sebuah karya seni, ya jangan pernah berusaha menentukan mana benar-salah atau baik-buruknya. Karena kalau sudah ada label salah-benar, berarti ada kemungkinan kalau pandangan kita bisa aja salah. Lebih baik dinikmati aja. Perbedaan pendapat atau interpretasi tadi juga hal yang lumrah karena proses berpikir kita kan berbeda-beda.

n.b. Musik pembukanya manis banget!
n.b.b. Selamat memasuki usia ke-100 tahun untuk industri film Bengali! Keren ya bisa sustain sampai selama itu.


You May Also Like

0 komentar