The Unsaid Words

of Rizqi Maulana

Pages

  • Home
  • About Me
  • Contact
  • Gallery
  • Writings
sumber: https://celebrity.okezone.com/read/2019/11/29/206/2135955/sinopsis-film-imperfect-karier-cinta-timbangan
Salah satu fim yang saya tunggu-tunggu akhirnya rilis juga! Imperfect, film kelima dari Ernest Prakasa yang diadaptasi dari buku Imperfect karya sang istri, sudah menarik perhatian dari awal saya denger cerita dan baca sinopsisnya. Film ini menceritakan Rara (Jessica Mila), yang punya masalah dengan penampilan dan selalu merasa insecure—abis ini ditulis insekyur aja biar kayak di filmnya. Walaupun dikelilingi orang-orang yang ikhlas lillahitalla buat bareng sama dia, tapi omongan dari ibunya (Karina Suwandi) dan Geng Sista-nya yang suka ngomentarin fisik malah meresap ke pikiran. Udah gitu, adiknya dia Lulu (Yasmin Napper) punya perawakan yang beda banget. Langsing, putih, dan mirip ibunya yang mantan model. Padahal dia punya Fey (Shareefa Danish), sohib ikrib bersama saat ups and downs dan Dika (Reza Rahadian) sang Mas Pacar yang selalu ada dan menerima dia apa adanya. Cia elaaah.

Zaman sekarang siapa coba yang nggak pernah jadi korban dan/atau pelaku body shaming? Kata-kata dan kebiasaan ngenyek fisik orang lain yang dianggap nggak sesuai standar seringnya enteng banget keluar dari rahang, tapi efeknya ke orang lain bakal bertahan lebih lama dari yang kita duga. Body shaming yang datang dari orang terdekat, bos, kolega di kantor, sadar nggak sadar akan buat kita semakin insekyur dan kehilangan self-worth karena ngerasa nggak mampu menyamai level orang lain. Lagaknya yang ngatain udah macem dewa-dewi aja. Tapi kalau yang di film caem-caem semua, kok.

Walaupun sudut pandang “korban” datang dari pihak perempuan, nggak membuat saya yang cowok terus merasa jauh atau berjarak. Justru semakin yakin bahwa kasus macam ini bisa datang ke siapa pun tanpa lihat ngana laki-laki atau perempuan. Cuma mungkin harus diakui, ejekan ke cewek emang bisa parah banget karena ditambah dengan tuntutan dan standar cantik yang nggak masuk akal dan seolah dilumrahkan.

Terus apa yang bikin saya suka banget nonton filmnya? Pertama adalah jajaran pemainnya! Semuanya keren-keren banget. Kalau komedi ya hacep banget dan pas drama pun nggak menye atau jayus. Ada sih yang agak kurang sreg di hati, tapi dikiiiiit banget. Kalau menurut bahasa reviewer papan atas: well-delivered. Kedua, menurutku sih pembagian porsi antara komedi dan dramanya pas! Di bagian drama didominasi oleh Rara, Dika, keluarga masing-masing, dan urusan kantor. Sedangkan komedi...ini sih yang bikin ngasih standing ovation, geng empat cewek-cewek di kosan ibunya Dika. PARAAAAAAAHHHHH LUCUNYAAAAA!!!! Neti, Prita, Maria, dan Endah. Walaupun screen stealer-nya adalah si Neti sih. Tapi semua masih dapet banget lucunya. Selain itu, Fey juga nggak paham lagi gesreknya. Dia juga selain dapet porsi komedi, ada juga dramanya di bagian menuju akhir. Itu juga bagus. Boyish vibe-nya aku suka!


sumber: https://www.herworld.co.id/article/2019/12/12451-Review-Film-Imperfect-Karier-Cinta-Timbangan

Hubungan Dika dan Ibunya (Dewi Irawan) juga menurutku natural banget. Ibunya Dika juga nggak berlebihan sih aktingnya. Suka deh. Tapi, yang bikin saya terkesima itu waktu ada Dika, Ibunya, dan Ernest sebagai Teddy ngumpul di kamar. Kaya lihat keluarga beneran di sana. Malah jadi senyum-senyum sendiri lihat hubungan mereka. Akraaaab banget kayanya bertiga tuh.

Hmmm... Habis nonton film ini nggak bisa kalau orang-orang nggak bahas tentang isu body shaming. Isu yang terasa dekat, tapi juga asing saat bersamaan. Dekat karena itu sering kita dengar, alami, atau di kasus tertentu, kita lakukan sendiri. Tapi terasa asing karena kita masih nggak paham secara langsung apa aja sih masuk ke kategori body shaming. Celaan yang dibungkus dengan label “bercanda” kadang bikin kita nggak sadar kalau ucapan kita bisa aja berakhir nyakitin perasaan orang lain. Yekan?

Tapi ada satu bagian yang menurut saya gambarin bagaimana kondisi di lingkaran pertemanan yang toxic sesungguhnya terjadi. Yaitu pas Fey nanya ke Rara, kenapa dia nggak bales omongan orang-orang yang ngehina dia. Rara lebih milih diem karena takut dibilang baper! Baper! Baper kayaknya kata yang nggak hanya mulai overused tapi juga udah melenceng penggunaannya.

Serius, orang-orang harus mulai berhenti bilang, “Ya elah, gitu doang baper,” kalau emang nyatanya bercandaannya udah kelewat batas dan nyakitin. Baper yang dulu saya tahunya soal cinta dan kesemsem doang, sekarang malah jadi buat tameng biar nggak disalahin.

Untuk yang suka pakai kata baper buat ngelindungin diri ketika dibales sama orang yang dihina: Mari kembali ke jalan yang benar, Kawan-kawanku. Masih ada waktu. Dan sebenernya bukan mereka yang baper, bercandaan Anda aja mungkin yang ofensif dan kelewat batas.

Oh iya, sebenernya waktu lihat trailer sempet agak males juga sih. Dikit doang, kok tapi. Soalnya kan yang ditonjolkan itu perubahan Rara dari yang embem jadi langsing dan makin cantik. Males karena takut kalau filmnya bakal berakhir begitu aja ketika Rara berubah. Tapi...sebagaimana kita tidak disarankan menilai buku dari sampulnya, pada film pun demikian. Jangan menilai film dari trailer-nya. Kenapa? Karena itu cuma secuplik dari keseluruhan film. (Dear yang mencak-mencak walau cuma lihat trailer Dua Garis Biru dan Kucumbu Tubuh Indahku)

Film ini bukan tipe film yang tokohnya jadi cantik lalu habis cerita. Untungnya nggak berhenti di momen ketika Rara jadi langsing dan semua orang pangling lalu memperlakukan Rara 180 berbeda. Rara yang sudah mulai bisa fit ini pun digambarkan—masih—nggak sempurna.  Aren’t we all? Sedikit terlena karena perubahan yang dia dapat di kantor dan sekelilingnya. Kalau diceritakan sesuai trailer, mungkin maknanya berubah kali ya? Tema “Ubah insekyur jadi bersyukur” jadi nggak relevan lagi.

Singkatnya, film ini pas banget tayang di musim liburan akhir tahun. Masyarakat dari berbagai kalangan usia, yang masih suka insekyur dengan badan dan penampilan...this movie is meant for all of us!
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sumber: https://www.cgv.id/en/movies/info/19011500/2019-12-16

Setelah gagal nonton Kucumbu Tubuh Indahku karena diboikot dan akhirnya langsung turun layar, kesempatan nonton film ini datang juga. CGV nayangin film ini yang awalnya hanya tanggal 15 dan 17 Desember tapi kayanya sih diperpanjang.

Penayangan kembali film ini emang kesempatan emas sih. Mungkin karena ada hype Kucumbu Tubuh Indahku yang terbangun setelah film ini menyabet banyak penghargaan di Festival Film Indonesia 2019, termasuk Aktor Pria Terbaik dan Film Panjang Terbaik.

Pas keluar teater banyak waktu yang saya habiskan untuk mikir dan mencerna adegan-adegan di film ini. Masih terbayang pengalaman yang bikin saya takjub, jijik, ketawa, dan fokus ke layar. Sebenernya sih ini film yang cukup mudah untuk diikuti, karena ceritanya tentang Wahyu Juno, seorang penari Lengger yang tumbuh besar dikelilingi kemalangan walaupun banyak yang bilang dia itu punya kelebihan di tubuhnya. Lentur, tenang, dan halus. Mirip Arjuna.

Terlepas dari tema dan penggambaran yang mungkin sedikit mengusik sebagian orang, film ini menurutku manis banget. Selain manis, film ini juga berani. Satu adegan di mana seorang perempuan digambarkan berani untuk memulai dan malah laki-laki yang takut-takut. Sedikit nudity ada di beberapa bagian dan adegan nggak biasa baik antara laki-laki dan perempuan, sesama perempuan, maupun sesama laki-laki tersebar di sana-sini.

Datang nonton film ini memang harus dengan pikiran damai dan tenang. Cukup sering sewaktu di dalam teater saya denger komentar, “What the hell...,” atau “Anjir, apaan sih kok kayak gini.” Mungkin masih belum terbiasa? Mungkin. Nikmati aja dinamikanya yang memang cukup naik-turun. Kalau hidup Juno kecil bakal bikin kita sedih dan ketawa tipis-tipis, ketika Juno dewasa bakal lebih kompleks dan banyak aspek yang masuk.

Unsur budaya, seni, dan seksualitas memang cukup banyak porsi di sini. Nggak ada yang mendominasi sih menurutku. Justru di akhir ketika mulai ada masalah politik bikin semakin keren.

Tentang bagaimana posisi tinggi di pemerintahan dan pandangan masyarakat dianggap jauh lebih penting dari kebahagiaan dan jati diri jadi satu momen yang paling mengena sih. Bagaimana banyak orang harus menutupi hal-hal yang membuat mereka bahagia hanya karena takut oleh tekanan masyarakat dan sistem yang ada mungkin bisa dirasakan oleh kita semua.

Kucumbu Tubuh Indahku nggak termasuk film yang slow-paced menurutku. Penempatan monolog Juno yang disisipkan beberapa kali semacam momen untuk tenang setelah adegan-adegan panjang. Dan...tariannya keren gila! Penjelasan tentang bagaimana alam adalah guru bagi manusia bisa jadi bahan renungan kita untuk nggak bersikap kasar pada alam.

Banyak banget takeaway dan insight baru. Buat yang nggak tahu apa itu kesenian Lengger, ini awal yang bagus buat kita cari tahu lebih dalam lagi. Ternyata budaya tradisional Indonesia sudah sedemikian maju tetapi malah seolah ditahan dan dibuat mati karena alasan “moralitas”. Gagal paham saya.

Satu hal yang makin membuat film ini keren adalah....soal menyembuhkan trauma. Juno memang hidup dengan merasakan trauma pada darah. Karena pengalamannya soal darah di waktu kecil memang cukup mengguncang mental anak kecil. Gimana dia nggak suka ada pertumpahan darah dan orang-orang di sekitarnya justru membuat dia terbayang-bayang lagi trauma masa kecilnya. “Darah neng endi-endi.”

Isu trauma ini juga bisa banget disangkutpautkan sama politik, khususnya tentang ’65 dan perang melawan komunisnya. Ayah Juno...trauma pada sungai karena keluarganya dituduh antek PKI. Padahal bukan dan nggak ada hubungannya sama sekali. Kenapa trauma sungai? Ada penjelasannya di film.

Ngomong-ngomong soal komunis, mungkin keresahan yang diangkat dalam film ini adalah soal penyebaran fitnah kepada lawan politik atau orang lain dengan embel-embel “komunis baru”. Beberapa tahun belakangan sering kan denger dan lihat di berita? Isu komunis bangkit, seorang tokoh di-framing sebagai keturunan komunis, atau satu figur publik ‘diduga’ mendukung komunis. Kadang isu-isu macam ini cuma bikin gaduh aja sih.

The bigger picture dari film ini adalah bukan soal LGBT seperti yang digaungkan para pemboikot. Hal yang bisa saya tangkep sih ada beberapa: seksualitas (tentunya); trauma healing; hubungan manusia dengan alam; sampai kondisi sosial, budaya, dan politik.

Masih ada berbagai hal yang menarik perhatian tapi bingung gimana ceritanya. Pokoknya Kucumbu Tubuh Indahku jadi salah satu film penting yang saya tonton tahun ini. Nggak cuma buat cerita yang menarik, tapi juga bisa bikin kita merenungi banyak hal. Keren.

Untuk informasi lebih lanjut:
Diskusi dengan Garin Nugroho, Sudjiwo Tejo, dan Gina S. Noor di acara Rosi Kompas TV
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
sumber: https://celebrity.okezone.com/
Setelah sempet tertunda, akhirnya bisa juga nonton Kim Ji-Young, Born 1982. Sebuah film dari Korea Selatan yang kayanya niat banget buat mengangkat isu tentang kesetaraan gender dan kondisi perempuan di sana. Diadaptasi dari buku berjudul sama, film ini diperankan oleh Jung Yu-Mi dan Gong Yoo, di mana mereka jadi sepasang suami-istri dan orang tua muda yang punya anak perempuan super lucu. Banyak dinamika dan konflik yang akhirnya bermunculan satu demi satu sepanjang film.

Masalah dari film ini bukan hanya soal urusan pernikahan dan segala remeh-temehnya. Tapi soal Ji Young yang mengalami depresi karena banyak hal. Penyebab depresinya pun banyak banget, dan masih terjadi di mana-mana sampai sekarang, apalagi di Asia sepertinya. Tekanan keluarga, sifat ibu mertua, pengalaman waktu dia kecil, dan tekanan yang dia dapat “karena dia seorang perempuan”.

*bocoran adegan dimulai dari....sekarang*

Kim Ji-Young, Born 1982 ini film drama yang sebenernya sangat sederhana. Kekuatannya menurutku ada di isu yang diangkat dan dari akting para pemain. Nggak ada special effect, musik pun dibuat syahdu dan nggak overpowering, pengambilan gambar pun sama dengan film drama keluarga pada umumnya. Tapi, akting Gong Yoo, Jung Yu-Mi, dan semua pemain lain memang mantap!

Jung Yu-Mi yang memainkan karakter yang sedang depresi berhasil akting dua kepribadian yang berbeda. Waktu dia jadi Kim Ji-Young yang normal dan waktu dia jadi orang lain, itu dua karakter yang sangat kontras. Bagian yang paling heartbreaking itu waktu Ji-Young jadi ibunya pas lagi tahun baruan di keluarga suami, dan puncaknya waktu dia jadi neneknya(?) lalu dia ngobrol ke ibunya untuk nggak menyusahkan dirinya sendiri. Wah! Suara isakan mulai muncul di sana-sini. Sedih banget. Apalagi pencahayaannya dibuat remang-remang, jadi saya bisa fokus ke akting pemain-pemainnya.

Selebihnya sih film ini masih sama aja kaya film drama lain. Komedinya pun masih ada dengan cara yang sangat-sangat effortless. Sepanjang film kayanya semua tokoh laki-laki di film ini jadi sumber masalah, selain Babang Gong Yoo si suami idaman nan tampan tentunya.

Kalau ada salah satu karakter favorit, mungkin Ibunya Kim Ji-Young ada di posisi teratas. Penggambaran dia sebagai ibu yang kuat dan lebih berpikiran terbuka dibanding Bapaknya (masih kesel sama dia). Pengalaman masa muda sang Ibu yang membentuk dia. Sewaktu muda harus kerja keras buat biayain keluarga dan kakak-kakak laki-lakinya pada akhirnya buat dia terbiasa hidup keras dan nggak diam diri aja. Ji-Young dan kakak perempuannya juga jadi kaya gitu. Mantap!

Ini seriusan! Ada beberapa bagian di film ini yang bikin emosi banget-banget. Walaupun ini “cuma” film yang diadaptasi dari buku, tapi semuanya masih terjadi dan sepertinya langgeng. Jadi jangan heran kalau women’s march masih ada di mana-mana. Karena ya...mereka masih sering ditekan oleh masyarakat dan sistem gitu lho.

*bocoran adegan bagian II*

Mungkin satu yang paling relatable (padanannya apa sih ya?), adalah waktu Ji-Young dideketin temen laki-lakinya mulai dari halte dia naik sampai turun di dekat rumahnya. Keliatan banget kalau dia nggak nyaman dan takut. Dia sampai dibantu seorang ibu baik hati (yang main di When Camellia Blooms) sampai dia nangis-nangis di pinggir jalan. And you know what... waktu Bapaknya datang dan jalan bareng ke rumah, dia malah terang-terangan nyalahin seragamnya si anak yang katanya kependekan. Hellow... *facepalm*. Itu mungkin masih diperdebatkan ya. Tapi, menurutku aneh aja. Bahkan di 2019 ini pun masih ada yang menyalahkan cara berpakaian perempuan.

sumber: https://www.imdb.com/title/tt11052808/
Film ini diangkat dari buku kan ya. Kalau baca-baca di berita sih, banyak yang kontra dengan buku dan film ini. Kurang lebih karena budaya patriarki masih langgeng di sana. Yah, di sini juga sama aja. Bahkan katanya ada crowdfunding untuk cerita lain yang berusaha lawan diskriminasi buat laki-laki. Tapi, pro-kontra soal karya seni sih bukan hal baru juga. Menarik juga sebenernya. Ternyata banyak yang bisa ter-trigger hanya karena karya kreatif seperti buku dan film. Mungkin interpretasi terhadap karya itu sendiri kali ya?

Kalau lihat gambaran yang lebih luas lagi, film ini menurutku nggak hanya menunjukkan soal betapa perempuan masih belum ada di level yang sama dengan laki-laki, khususnya di luar urusan rumah tangga dan tetek bengeknya. Hal yang paling dasar adalah keadaan ketika sesama manusia, terlepas dari jenis kelaminnya apa, kadang nggak ada rasa empati terhadap kondisi kesehatan mental seseorang.

Waktu seseorang bilang dia nggak apa-apa, itu mungkin dia menutupi sesuatu yang dirasa terlalu berat dan takut menyusahkan orang lain. Bahkan mungkin mereka nggak tahu apa yang salah dengan diri mereka? Ji-Young yang bekerja keras dan punya akumulasi kekesalan dan perasaan lain yang dipendam selama hidup, rasanya jadi bom waktu dan kondisi depresinya itu jelas bukan sesuatu yang tiba-tiba.

Perasaan depresif yang ada hanya diketahui si suami. Itu pun dia masih clueless soal kenapa-kenapanya. Orang tua Ji-Young yang juga nggak peka soal kondisi anak perempuannya dan percaya kalau dia hanya “capek”. Bibi-bibi dan ibu mertua yang kalau ngomong susah direm dan nggak sadar kalau ucapannya itu menyakiti hati dan kondisi psikologis dia. Malah secara nggak disadari buat perempuan yang sudah depresif makin depresif.

Sure, emang perempuan masih belum dianggap setara dan dilihat sebelah mata dan patriarki masih langgeng. Patriarki pun masih banyak memberikan dampak buruk bagi perempuan. I wholeheartedly agree! Tapi mungkin sekarang ketika kita berusaha melawan itu semua dan menyetarakan level laki-laki dan perempuan, harusnya hal-hal intangible juga perlu diperhatiin. Kadang justru banyak yang saling serang dan nggak peduli waktu bahas soal kesehatan mental. Both men and women. Mungkin dua upaya itu bisa berjalan bersamaan? Bisa kan? Bisa nggak sih?
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sumber: https://www.imdb.com/title/tt8951086/


Masih dari film yang saya tonton di JAFF kemarin, film ini kayaknya termasuk banyak peminatnya. Studionya juga hampir full house waktu itu. Padahal bukan film pembuka atau penutup. House of Hummingbird adalah film dari Korea Selatan. Ceritanya soal hubungan sebuah keluarga di tahun 1994 yang kurang begitu harmonis. Eunhee, anak bungsu dari tiga bersaudara harus hidup di keluarga yang kalau saya lihat kurang memberi perhatian dan sering ribut. Kakak laki-lakinya, yang sedang fokus belajar untuk tes masuk kuliah sering memukuli dia. Kakak perempuannya? Hhh.... dia sering bolos belajar dan malah pacaran sampai pulang malam. Ayahnya aja sampai sudah bosan untuk marah-marah.


Sepanjang film, kita bakal banyak melihat kehidupan yang Eunhee alami. Pertemanan, kenakalan remaja, sampai cinta-cintaan anak baru gede. Kita juga harus melihat bagaimana di hidup Eunhee ini banyak sekali ketidakadilan. Kalau diceritakan satu-satu jadinya spoiler ya...dan kepanjangan juga. Tapi, untungnya ada seorang yang jadi penengah dan mengerti kondisi Eunhee. Miss Youngji. Guru Bahasa Mandarin di tempat dia kursus selesai sekolah. Kalau kehidupan Eunhee ini macam padang pasir yang panas dan melelahkan, kelas Bahasa Mandarin ini adalah oasenya. Eunhee bisa bebas bercerita dan perlahan kedekatan mereka semakin erat.

House of Hummingbird yang mengambil latar tahu 1994 juga bisa menunjukkan tren yang sedang terjadi di sana waktu era itu. Misalnya Eunhee yang masih pakai pager dan telepon umum buat telepon gebetannya setidaknya jadi penanda waktu yang cukup mewakili. Gaya pakaian Eunhee juga 90-an banget. Nggak begitu kekinian dan asal-asalan sih.

Unsur drama dan kompleksitas ceritanya juga lebih banyak. Kalau dibuat mind map, pusatnya itu Eunhee. Lalu bercabang ke masalah keluarga, cinta, persahabatan, kesehatan mental, dan pencarian jati diri. Kadang kita bisa kasihan sama Eunhee, tapi...kadang juga bisa keseeeeel banget. Apalagi di bagian pembuka film.

Yang cukup berani adalah penggambaran kisah cinta anak-anak perempuan di usia SMP. Eunhee yang ditaksir anak cewek lain. Mereka pun saling suka dan sampai berani ciuman pipi. Tapi apa anak SMP sudah paham sama cinta dan semacamnya? Dapat infomasi dari mana ya kira-kira? Kalau mereka masih pakai pager, internet dan akses informasi juga belum semarak sekarang. Kepo aja gitu jadinya. Juga...apa tahun 1994 sudah pada berani ya di sana? Atau ada nggak ya represi soal itu?

Kalau ada yang bikin saya penasaran mungkin pas bagian *spoiler alert* Eunhee dipukul oleh kakaknya sampai telinganya sakit berdengung. Dia terus datang ke dokter dan akhirnya dokter tanya kenapa kok gendang telinganya sampai sobek. Eunhee nggak jawab apa-apa. Dokternya pun langsung menawarkan pembuatan surat keterangan pemeriksaan. Eunhee yang nggak paham akhirnya nanya buat apa surat itu. Dokternya bilang, “Buat bukti (for evidence).”

Kalau dokternya bisa langsung nebak Eunhee dipukul (walaupun bisa aja dipukul selain keluarga), berati kejadian macam itu udah sering terjadi kan? Dan...karena biasanya yang saya tahu banyak filmmaker yang memasukan unsur-unsur atau kondisi sosial, politik, dan ekonomi di tempat ceritanya ke dalam film, apa mungkin pada tahun segitu kekerasan domestik sudah sering terjadi? Jadi penasaran aja sama kondisi itu dua puluh tahun setelahnya.

Dan...kayaknya sistem pendidikan dan pola pikir orang tua masih sama aja di mana-mana. Banyak anak yang harus belajar keras karena ada tuntutan dari orang tua agar sukses dan masuk ke jurusan tertentu biar masa depannya agak cerah dan “nggak berakhir kaya ibu dan bapak”. 

Film ini juga sukses menyilaukan mata saya. Secara harfiah. Karena banyak adegan malam hari yang agak redup dan gelap tiba-tiba langsung berganti ke siang hari dan brightness-nya full nggak kaleng-kaleng. Yang disorot langit pula. Mantap!

Bagian akhir film mungkin banyak yang bingung atau pengen kejelasan. Tapi ya balik lagi, karena ilmnya memang lama, hampir dua jam tiga puluh menit, kalau mau akhirnya jelas dan terbuka mungkin bisa sampai tiga jam filmnya selesai. Atau, bagian tengah film dipotong beberapa menit. Karena nggak bisa menyenangkan semua pihak, jadi ya...apa yang dirasa baik sama pembuat filmnya ya yang ada di film sepertinya.

Lagi, seperti dua film yang sebelumnya, banyak pesan yang muncul di dialog atau gestur pemain. Bagian monolog Miss Youngji di akhir film harus banget didengerin sampai akhir. Karena saya—lagi-lagi—nggak fokus, jadi nggak bisa nangkep semuanya. Dasar aku.

Kalau film ini tayang reguler dan masuk Indonesia, sangat-sangat layak untuk masuk daftar tontonan. Dua jam yang nggak terasa-terasa banget lamanya. Dan mungkin membuat kita mempertanyakan banyak hal di dalamnya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

Bachelor of political science.

recent posts

Labels

  • #RzBaca
  • #RzMain
  • #RzNonton
  • #RzNulis
  • Buku
  • Cerita
  • Drakor
  • Film
  • gaya hidup
  • Gender
  • Islam
  • Jalan-jalan
  • Jogja
  • Kerja
  • KKN
  • Kuliner
  • Lingkungan
  • Minimalisme
  • Myself
  • Resensi
  • Seni
  • Zero Waste

Blog Archive

  • ►  2020 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2019 (14)
    • ▼  Desember (3)
      • Imperfect: Tentang Mencintai Kekurangan Diri dan H...
      • Kucumbu Tubuh Indahku: Tentang Trauma, Jati Diri, ...
      • Kim Ji-Young, Born 1982: Tentang Akumulasi Perasaa...
    • ►  November (3)
      • Kisah Hidup Anak Gadis Korea Selatan di House of H...
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2018 (3)
    • ►  November (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2017 (4)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Desember (1)

Created with by BeautyTemplates| Distributed By Gooyaabi Templates