The Unsaid Words

of Rizqi Maulana

Pages

  • Home
  • About Me
  • Contact
  • Gallery
  • Writings
sumber: mizanstore.com
IDENTITAS BUKU
Judul: Kiai Ujang di Negeri Kangguru
Penulis: Nadirsyah Hosen
Penerbit: Noura Books
Tahun Terbit: 2019
ISBN: 978-602-385-804-0

Di zaman dengan konektivitas yang tinggi antara manusia dan sumber informasi, banyak ilmu-ilmu baru yang muncul dan disebarkan melalui berbagai media. Dalam hitungan detik, satu berita akan dapat tersebar ke seluruh belahan dunia. Termasuk keingintahuan umat Muslim, khususnya di Indonesia juga terlihat semakin meningkat. Banyak dari kita yang ingin mendalami kembali agama Islam dan syariat-syariatnya. Dengan catatan, sebaiknya semua informasi yang ada tidak ditelan mentah-mentah tanpa ada tabayyun terlebih dahulu.

Keberadaan pemikir Islam dan Imam besar di masa lampau membuat kita sekarang terbagi ke dalam beberapa mahzab besar. Setidaknya ada empat Imam yang keyakinan terhadap syariahnya diyakini: Syafi’i; Hanafi; Maliki; dan Hambali. Perbedaan cara pandang para Imam yang kemudian diyakini oleh umat Islam berabad-abad setelahnya, terkadang tidak diikuti oleh pemahaman ilmu perbandingan mahzab dan rasa pengertian antarumat zaman sekarang. Tidak jarang banyak terjadi percekcokan hanya karena ada cara pandang berbeda bagi hal yang sepele.

Buku Kiai Ujang di Negeri Kangguru ini setidaknya dapat memberikan pandangan baru mengenai fenomena perbedaan mahzab dan ketidakmengertian umat zaman sekarang terhadap perbedaan mahzab. Hal-hal yang sering jadi sumber permasalahan, dijelaskan dengan mengedepankan fakta bahwa, sebenarnya sudah dari zaman dahulu kala, para Imam besar terpelajar mendalami ini. Keputusan yang diambil pun tidak asal-asalan karena proses perumusannya sangat berhati-hati dengan mempelajari seluruh perbedaan di masanya.

Lalu, siapa Kiai Ujang ini? Dia adalah tokoh yang diceritakan belajar ilmu perbandingan mahzab di Indonesia lalu kuliah magister ke Australia. Penjelasan perbedaan ini dijelaskan dari sudut pandang Kiai Ujang yang sering ditanyai tentang hukum-hukum Islam oleh rekan-rekan diaspora Indonesia. Pertanyaannya pun sangat terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari (setidaknya saya merasakan demikian).

Dari polemik ada atau tidaknya label halal bagi daging sapi di supermarket nonhalal, kemudian hingga hukum mengucapkan selamat hari natal bagi umat Nasrani dijelaskan oleh Kiai Ujang. Yang menarik adalah, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ada sudut pandang baru yang jarang didapati sebelumnya. Penjelasan mengenai permasalahan ini dijelaskan dengan menelaah perbedaan pendapat Imam-imam besar pada masanya.

Memang keputusan sepenuhnya ada di tangan kita. Indonesia yang sebagian besar menganut mahzab Syafi’i mungkin akan terasa asing begitu menemui pendapat mahzab Hambali, Hanafi, atau Maliki di beberapa kasus. Namun, ketika kita membaca buku ini, mungkin harus ada pemahaman bahwa penjelasan yang ada bukan bertujuan untuk membuat kita berpindah-pindah mahzab atau memilik mana yang termudah (mungkin boleh-boleh saja, kalau kita mau. Mungkin).

Setidaknya, dengan mengetahui bahwa perbedaan cara pandang itu sudah ada sejak masa lampau, kita sebagai umat Muslim yang tidak mendedikasikan waktu kita untuk menelaah hukum Islam bisa sedikit menghargai pendapat yang tidak sesuai. Kemunculan pendapat Imam-imam besar pun adalah hasil dari pembelajaran akademis yang sudah berlangsung lama.

Nilai lain yang kita dapat dari membaca buku ini adalah, ada penjelasan berulang-ulang mengenai agama Islam yang memang sangat mudah dan fleksibel. Betapa banyak keringanan yang diberikan bagi kita dalam proses menjalankan ibadah, contohnya salat. Jadi ada perasaan yang agak aneh ketika saya melihat banyak perilaku sebagian kecil umat Muslim zaman sekarang yang tidak menunjukkan nilai-nilai Islam tersebut.

Salah satu yang saya syukuri adalah cara yang dipilih untuk menjelaskan masalah-masalah keagamaan. Kalau penjelasan ini ditulis seperti buku teks kumpulan perbandingan mahzab, mungkin akan sangat membosankan membacanya sampai akhir. Namun, karena dibuat cerita agak fiksi, proses membacanya pun tidak serasa sedang kuliah atau ketika kita belajar untuk ujian.

Buku ini juga, menurut saya tidak berfokus di cerita fiksinya, walaupun ada sedikit cerita di luar masalah agama. Cukuplah untuk intermeso agar tidak bosan-bosan banget baca bukunya. Kalau mahasiswa atau akademisi harus baca buku tebal dan berbahasa Arab, kita yang tidak mendalaminya, bisa mempelajari dengan membaca buku-buku yang dikemas seringan mungkin seperti ini.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Jogja Library Center


Siapa yang nggak tahu Jalan Malioboro di Jogja yang terkenal luar biasa? Banyak pusat belanja, makanan tradisional, sentra oleh-oleh, dan…letaknya strategis dekat Stasiun Tugu. Sepertinya kalau hanya punya waktu sehari di Jogja, lebih baik dihabiskan ke Malioboro aja. Biar afdal, foto di papan nama Jalan Malioboro mirip turis-turis.
Nah… sebagai penduduk pendatang di Jogja, kebal sudah rasanya badan sama motor ini tiap lewat Malioboro. Macetnya nggak nahan. Jalannya kecil tapi volume kendaraannya jauh lebih besar. Malioboro memang lebih cocok jadi tempat orang jalan kaki. Dan memang akhirnya banyak pembangunan di Malioboro yang dibuat semakin ramah pejalan kaki. Trotoar diperluas, ditambah jalur khusus tuna netra, yang besinya banyak dicomotin orang-orang kurang kerjaan, dan banyak kursi juga tempat sampah.

Balik ke masalah macet, mungkin sebenarnya Pemerintah Kota Yogyakarta sadar kalau macet di Malioboro ini sudah cukup parah. Parah banget. Sampai beberapa bulan kemarin, ada uji coba pengosongan jalan dari kendaraan bermotor pribadi tiap hari Selasa Wage. Kenapa Selasa Wage? Saya nggak begitu paham. Tapi ini sukses menarik perhatian orang-orang untuk datang ke Malioboro, termasuk saya.

Akhirnya, berbekal rasa penasaran dan kebosanan, saya—memberanikan diri—berangkat ke Malioboro jalan kaki, biar ramah lingkungan ceritanya. Fast forward, ternyata di Malioboro sudah banyak banget orang swafoto di tengah jalan. TENGAH JALAN! Waktu itu saya masuk dari Titik 0 Km, dan bahkan di perempatannya pun penuh sama orang-orang dan komunitas-komunitas. Mantap!

Karena memang Malioboro menurut saya didesain lebih ramah untuk pejalan kaki, trotoar yang luas disulap jadi panggung kesenian. Semua tempat ikut berpartisipasi. Kebanyakan sih kesenian tradisional. Mulai dari gamelan, batik, dan tari tradisional. Kesenian modern juga ada. Grup musik dan kelompok flashmob juga ikut ambil bagian.

Keadaannya gimana? Rame banget! Semua orang tumpah-ruah ke Malioboro. Seru juga. Anak kecil main bola di tengah jalan, ibu-ibu komunitas foto-foto menghalangi orang yang mau lewat. Mungkin…. Instastory orang-orang isinya kurang lebih sama seperti gambar ini:
Sudut foto main stream orang-orang di Malioboro



Sebagai daya tarik wisata, cara ini sangat sangat efektif. Saya pun sampai tertarik buat lihat-lihat. Semoga ini bisa jadi langkah awal Pemkot Jogja dalam mengatasi kemacetan di Malioboro. Sayang trotoar yang luas sudah mapan, toko-toko yang rapi, dan warung tenda sepertinya sudah taat aturan. Cuma karena macet dan jalan kecil jadi terganggu kenyamanannya. Pejalan kaki memang harus diprioritaskan fasilitasnya. Apalagi kadang mereka harus mengalah sama kendaraan bermotor. Trotoar di Jogja pun belum semua ramah pada pedestrian.

Ke depannya semoga kegiatan ini rutin diadakan. Paling nggak tiap Selasa dan nggak harus menunggu khusus di Selasa Wage sampai bisa bebas kendaraan bermotor 100%.



Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

Bachelor of political science.

recent posts

Labels

  • #RzBaca
  • #RzMain
  • #RzNonton
  • #RzNulis
  • Buku
  • Cerita
  • Drakor
  • Film
  • gaya hidup
  • Gender
  • Islam
  • Jalan-jalan
  • Jogja
  • Kerja
  • KKN
  • Kuliner
  • Lingkungan
  • Minimalisme
  • Myself
  • Resensi
  • Seni
  • Zero Waste

Blog Archive

  • ►  2020 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2019 (14)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ▼  Juli (2)
      • Belajar Perbedaan Mazhab Bersama Kiai Ujang
      • Malioboro di Selasa Wage
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2018 (3)
    • ►  November (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2017 (4)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Desember (1)

Created with by BeautyTemplates| Distributed By Gooyaabi Templates