The Unsaid Words

of Rizqi Maulana

Pages

  • Home
  • About Me
  • Contact
  • Gallery
  • Writings

 



Siapa sangka kalau kita bisa main kayak di Jogja? Dekat pula dari pusat kota. Itu pertanyaan yang saya ulang terus-menerus dalam hati. Sumber perekonomian Jogja memang berasal dari pariwisata, tapi saya tidak tahu kalau banyak daerah yang sedang mencoba mengembangkan potensi wisatanya, termasuk daerah tempat bermain kayak kemarin. Dari awal keluar kos hingga kembali, ada beberapa pengalaman dan pertemuan yang baru saya lihat dan alami. Sebagian besar karena saya tidak menyangka bahwa tempat seperti ini ada di Jogja.



KKN vibe-nya kerasa banget
Jadi, tempat ini berada di Jalan Imogiri. Kalau kita mau ke Mangunan, jalan yang dilalui persis sama, hanya ini masih sangat di bawah. Namanya Wisata Air Selopamioro. Kalau mau persisnya, daerah ini ada di aliran sungai, kalau tidak salah Kali Kuning, yang jembatannya baru runtuh karena ada banjir bandang sekitar awal tahun ini.

Dari namanya, desa ini mengedepankan wisata air, karena memang posisinya berada di sungai yang tidak begitu dangkal dan panjang. Airnya kehijauan, dan di pinggiran sungai banyak bebatuan sungai putih dengan berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang lancip dan tajam, ada juga yang mulus dan berpenampang besar. Arusnya pun tenang walaupun ada beberapa bagian yang berarus lebih kencang karena ada alirannya agak melandai. Hamparan batu di sungai ini sangat-sangat luas. Bisa terlihat jelas karena memang ketika musim kemarau seperti ini air menyusut dan tempat kita melangkah adalah dasar sungainya.

Tempat kejadian perkara
Sepertinya pengadaan tempat wisata ini didorong oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Karena di kayak yang ada, tertempel logo Kemendes. Begitupun di jaket pelampung yang disediakan. Kalau memang demikian, ini merupakan langkah yang bagus, karena potensi di daerah ini memang perlu dikembangkan maksimal. Banyak anak muda yang beraktifitas di sini, dan ada beberapa warung yang beroperasi. Toilet pun ada walaupun masih belum dalam bentuk toilet tetap dan sangat berukuran kecil.

Di sisi kiri dan kanan desa dan sungai banyak terdapat tebing-tebing dari pegunungan. Dari kejauhan terlihat dominan warna cokelat dengan pohon-pohon yang sedang meranggas. Daerah ini memang di kelilingi tebing-tebing tinggi dan di kakinya banyak lahan pertanian yang masih aktif digarap warga.

Jalan ke tempat ini sangat mudah diakses walaupun hanya selebar satu mobil saja. Dari kota hingga Jalan Imogiri memang sudah diaspal dan sangat mulus, tetapi begitu masuk ke pedesaan, sebagian besar masih berupa jalan cor-coran semen. Selama menuju ke sini, akan banyak kita temui pohon-pohon bambu dan suasana yang agak gersang. Saya pun kurang tahu apakah mobil bisa masuk atau tidak, kalau pun bisa pasti akan sulit mencari lahan parkir karena memang belum disediakan di sisi tempat saya datang. Mungkin bisa diwaspadai juga karena banyak tanda peringatan bahwa daerah di sekitar sana memang rawan longsor.

Karena jembatan penghubung di desa ini baru saja runtuh diterjang banjir bandang. Jadi alternatif untuk pengunjung yang datang dari sisi seberang tempat persewaan kayak adalah dengan menaiki perahu oranye dari BNPB. Tidak ada dayung, hanya ada tali yang harus ditarik agar kita sampai ke ujung lainnya. Cara kerja perahu ini sama dengan getek di sungai-sungai kecil. 

Jalur utama sementaranya
Saat kami datang, entah mengapa tali penghubung yang harus ditarik itu terikat tidak beraturan (tangled). Kami sudah naik dan sampai di tengah sungai (masih di bagian dalam), lalu perahu terhenti karena memang talinya macet dan tidak memungkinkan kami sampai ke pinggiran sungai. Manusia-manusia di atas kapal sempat dipenuhi kebingungan. Upaya untuk kembali ke titik awal masih sulit, berusaha mengurai talinya pun memakan waktu yang lama. Akhirnya datang seorang bapak yang membantu memanggilkan petugas penyewaan kayak agar membawa kami ke sana dengan kapal karet, sedangkan beliau mengurai tali yang terikat itu. Such a life saver.

Singkat cerita, setelah sampai ke tepian sungai yang lain, perjalanan main kayak pun segera dimulai. Untuk informasi, kayak di sini masih belum banyak. Kami datang berempat dan menggunakan dua kayak, masing-masing diisi dua orang. Biaya yang kami keluarkan hanya sebesar Rp10.000/orang untuk 40 menit. Bahkan rasanya kami main di air lebih dari 40 menit. Setelah bayar, kami memilih jaket pelampung dan dayung yang ada di sekitar tempat registrasi. Untuk tas dan barang berharga bisa dititipkan di meja registrasi karena memang tidak banyak orang yang datang. Hanya ada kami waktu itu.

Tempat istirahat kongkow-kongkow
Wilayah yang bisa disusuri cukup panjang. Ujung yang menjadi patokan adalah ketika arus sudah mulai deras. Begitu mulai mendekati, lebih baik langsung putar balik saja. Di area yang tenang, sebenarnya nyaman untuk diisi dengan foto-foto pemandangan, swafoto, dan bahkan duduk diam dan menikmati angin. Suasananya sangat tenang. Karena di desanya sendiri tidak banyak motor-motor yang lalu lalang. Disarankan untuk datang pagi sekitar jam 8-9 pagi sebelum matahari meninggi.

All in all, kayaking di tempat ini selain jadi pengalaman pertama, juga jadi pembersih mata karena pemandangan dan suasananya sangat jauh dengan yang ada di kota. Mungkin yang menarik adalah kontribusi Kemendesa di dalam upaya pembangunan tempat-tempat wisata seperti ini. Program yang sangat membantu tapi perlu tindak lanjut dan pengawasan kualitas semua sisi. Fasilitas yang masih apa adanya pun sudah bagus, dengan pendampingan mungkin akan lebih baik dari ini.

Makanan yang dijual pun rasanya enak dan murah, kami beli batagor waktu itu. Harga batagornya pun hanya Rp5.000 saja, dengan porsi yang agak lebih banyak. Tidak seperti kebanyakan tempat wisata yang mematok harga tinggi untuk sesuatu yang kualitasnya pas-pasan. Ada banyak faktor, memang. Tidak ada yang bisa menjanjikan bahwa ketika tempat ini ramai, semua akan tetap sama. Tapi, keadaan yang ada saja sudah merupakan awal yang baik. Kudos, untuk pengembang dan staf di lapangan.

n.b. Kayak yang saya tumpangi sempat terjungkal karena salah ide, kesalahan kalkulasi, dan tidak ada kegesitan. Ingin diceritakan, tapi sebaiknya jangan. Intinya…saya dan kawan satu kayak bagaikan pohon dan kebun dalam lagu “tik…tik…bunyi hujan di atas genting” alias basah semua.

Setelah terjungkal
n.b.b. Waktu kami terjungkal, hidup menunjukkan faktanya yang tak terelakkan. Hal pertama yang dikhawatirkan adalah…ponsel. Bukan kondisi badan, kaki, tangan, atau pun kemungkinan terluka di anggota tubuh mana pun. Itu masalah prioritas saja sebenarnya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
The view

Jogja dan seni memang sudah tak bisa dipisahkan. Banyak karya seniman-seniman yang dipamerkan, dan beberapa malah sudah jadi agenda rutin tahunan. Animo masyarakat yang didominasi anak muda juga cukup memuaskan dan menandakan masih banyak yang tertarik dengan pameran seni lukis dan instalasi. Khusus di akhir bulan Juni hingga sekitar penghujung Agustus, ada banyak pameran yang diadakan dengan tema dan media yang berbeda. Lima dari sekian banyak pameran seni berhasil saya kunjungi dalam waktu lima jam saja, dan semuanya tidak memungut biaya masuk. Kelima pameran ini sukses memberikan pandangan baru dan berbeda tentang seni yang selama ini tidak saya ketahui dan dalami.

1. Bebas
Pameran ini diselenggarakan di Jogja Gallery yang berada di dekat Alun-alun Utara (Altar) Yogyakarta. Kalau kita sudah sampai di sekitar Altar, bangunan ini sangat mencolok karena di depannya dipasangi kepingan-kepingan seng yang dibuat seperti dinding yang cukup tinggi. Untuk parkir bisa di trotoar depannya dan berbagi lahan dengan Dagadu.

Kerajinan di pameran bebas ini didominasi oleh seni lukis yang tersebar di dua lantai. Walaupun ada juga instalasi-instalasi di beberapa titik. Ketika saya datang, suasananya sangat sangat sepi. Hanya ada panitia dan saya serta teman di dalamnya. Cukup menguntungkan karena saya tidak terganggu oleh keramaian dan bisa berlama-lama mengamati karya di sana.

Ketika berada di dalam, saya banyak berhenti di beberapa karya seni karena banyak yang sulit saya pahami. Sebagai orang yang tidak begitu paham dengan seni, karya-karya yang cenderung abstrak dan perlu ditelaah mendalam memang jadi pekerjaan rumah. Interpretasi si seniman dengan penikmat tentu pasti berbeda. Memang ketika mebahas tentang seni, salah-benar dan kebakuan interpreatasi tidak berlaku sama sekali, semua tergantung cara pandang dan pola pikir yang menyaksikan. Walaupun begitu, saya tetap menikmati keliling-keliling di sana.

2. Sumonar Fest
Awalnya, Sumonar Fest seharusnya menjadi pemberhentian pertama kami sebab hari Senin itu adalah hari terakhirnya. Namun karena kurangnya informasi, saya datang terlalu pagi pameran cahayanya belum dimulai. Haluan pun berubah ke Pameran Bebas lebih dulu. Letak yang saling berdekatan menjadi alasan mengapa.

The pictures

Saya tidak tahu apa-apa tentang pameran ini, tapi begitu datang ke sana yang kedua kali, langsung disambut dengan permainan video mapping di tangga saat hendak naik ke lantai dua. Di Loop Station ini tidak begitu banyak yang di pamerkan, tetapi karena memang jarang ada yang seperti ini, banyak momen yang terabadikan.

Pameran video mapping seperti ini memang lebih mudah dinikmati dan disaksikan. Permainan cahaya dan permainan komposisi gambar, walaupun kelihatan mudah, tapi pasti butuh kreativitas dan uji coba yang panjang. Itu kalau saya yang coba buat.

3. Celebration of Compassion
Tempat ekshibisi karya seni ini dekat sekali dengan kos saya. Hampir setiap hari saya lewat jalan ini karena memang cukup strategis dan ramai tempat makan. Bangunannya ini baru diresmikan beberapa minggu sebelumnya, saya tidak tahu kalau ini juga jadi tempat pameran seni. Tirtodipuran Link namanya.

Datang dan melihat-lihat lukisan di sini membawa kesan dan perasaan berbeda dengan yang sebelumnya. Suasana di sini, walaupun sama-sama tidak ramai, lebih cerah karena bentuk bangunannya yang berjendela cukup besar-besar sehingga banyak cahaya alami yang masuk. Selain itu, pemilihan warna mayoritas putih juga mempercerah ruangan yang memang besar dan luas. Mungkin anak sekarang akan bilang, “Tempatnya Instagramable banget!”
Dari segi lukisannya pun tidak seabstrak di pameran Bebas. Meskipun saya masih perlu menelaah di beberapa gambar. Cuma, di sini ada satu karya seni yang lebih interaktif. Di salah satu ruangan, ada lima lukisan yang visualnya bisa berubah jika sumber cahaya diubah. Lima lukisan itu, sepertinya terinspirasi dari beberapa pelukis: Van Gogh; Affandi; Pablo Picasso; dan Sudjojono.

Jadi, cara kerja ruangan ini adalah dengan mengganti pencahayaan: penerangan dengan lampu biasa; dengan sinar UV; lalu tanpa penerangan alias gelap gulita. Di setiap penggantian, kelima gambar yang ada di sana kemudian berganti-ganti. Saya tidak tahu bagaimana caranya dan tidak mau pusing-pusing juga untuk mengamati bagaimana karyanya bisa jadi sedemikian rupa. Datang dan menikmati saja sudah lebih dari cukup.

Pengalaman dan pemahaman baru ini menambah pemahaman saya tentang seni. Media apapun ternyata bisa digunakan dan, kembali lagi, tidak ada patokan baku soal bagaimana seharusnya seni disampaikan. Semua yang ada di sekitar bisa jadi penyalur jiwa seni kita.

4. Ora Saru
Ini… pameran yang temanya paling nggak biasa. Karya-karya seni di sini mengangkat tema yang berkaitan dengan seksualitas yang jarang dibicarakan dan dilibatkan dalam kegiatan sehari-hari. Datang ke sini terasa menguji pemahaman dan kedewasaan saya dalam membahas masalah seksualitas. Saya berusaha untuk tidak risih dan tetap bersikap biasa saja,  karena memang seperti itulah seharusnya.

Dalam memandang masalah seksualitas, baik dari aspek biologis (reproduksi, pembuahan, hubungan seks, hingga masturbasi) maupun aspek sosial yang melibatkan masyarakat luas (pelecehan, tekanan psikis) hingga kebebasan berekspresi melalui penampilan seharusnya tidak menimbulkan masalah besar. Semua ada di pikiran kita saja. Apakah isi otak kita hanya hal-hal yang berbau seks? Atau kita sudah cukup dewasa dalam memahami bahwa sesungguhnya anggota tubuh orang lain bukanlah objek bagi kita sebagaimana anggota tubuh kita bukan objek bagi orang lain.

Isu seperti ini memang menarik dan bisa membuka banyak percakapan karena banyak lapisan-lapisan yang kita tidak sadari saling terhubung dan berada di bawah payung yang sama: seksualitas. Penyelenggaraan acara seperti ini membuka jalan bagi pengunjung untuk berani berdiskusi dan (seharusnya) merasa nyaman dengan tubuh sendiri.

                                                 5. Biennale
Pertama kali dengar tentang Biennale di Jogja itu tahun 2017. Tanpa ekspektasi apa-apa, saya datang ke Jogja National Museum bersama beberapa teman. Biennale kemudian ada lagi di tahun 2019 (karena acaranya memang dua tahunan), tempatnya di Gedung PKKH UGM. Yang saya suka dari sini adalah banyak karya yang interaktif. Bisa dibilang dari lima pameran, ini yang paling berbeda.

Yang saya suka adalah bagian kumpulan foto-foto yang dijadikan sebuah gunungan. Kurang sempat mendalami lebih dalam, tapi memang menarik ketika dilihat. Ada juga instalasi berbentuk telepon-telepon kaleng yang isinya berbeda-beda. Sepertinya memutarkan cerita-cerita orang-orang yang kemudian dikurasi.

Omong-omong, walaupun tempatnya strategis dan masuknya pun gratis, di sini masih kurang ramai pengunjung. Atau setidaknya tidak seramai waktu dua tahun lalu. Kurang tahu apakah karena memang sudah berlangsung beberapa hari, jadi sudah lewat peak time-nya, atau memang banyak yang belum tahu saja.






Kadang kita memang perlu datang ke tempat-tempat seperti ini. Di luar dari keuntungan karena bisa hemat uang, melihat karya seni juga bisa jadi obat bagi mata agar bisa melihat banyak warna dan bentuk yang tidak biasa. Kita dibawa berpikir tentang sebuah karya, dan menemukan banyak hal yang bisa dibahas lebih dalam.

Setiap saya melihat karya seni yang tidak biasa, refleks saya menggeleng-gelengkan kepala saking tidak habis pikirnya. Bagaimana banyak orang di luar sana yang punya daya imajinasi, kreativitas, dan keterampilan yang besar. Membuat  iri memang. Namun, datang dan menyaksikan sebuah pameran saja sudah lebih dari cukup untuk saya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

Bachelor of political science.

recent posts

Labels

  • #RzBaca
  • #RzMain
  • #RzNonton
  • #RzNulis
  • Buku
  • Cerita
  • Drakor
  • Film
  • gaya hidup
  • Gender
  • Islam
  • Jalan-jalan
  • Jogja
  • Kerja
  • KKN
  • Kuliner
  • Lingkungan
  • Minimalisme
  • Myself
  • Resensi
  • Seni
  • Zero Waste

Blog Archive

  • ►  2020 (7)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2019 (14)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ▼  Agustus (2)
      • Kayaking di Jogja
      • Maraton ke Pameran Seni
    • ►  Juli (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
  • ►  2018 (3)
    • ►  November (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2017 (4)
    • ►  November (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Desember (1)

Created with by BeautyTemplates| Distributed By Gooyaabi Templates