Pages

Jumat, 30 Oktober 2020

Tentang Pandemi

 

Pandemi udah mau delapan bulan nih di Indonesia. Ke mana-mana kita pakai masker, bawa masker, hand sanitizer, bahkan nggak salaman. Banyak yang nggak bisa bekerja, banyak yang gulung tikar, sampai berharap masih ada laba pun tidak ada daya. Hanya segelintir yang masih bisa bertahan, bisa dapat gaji bulanan pun sudah terasa bagai mukjizat. Kondisi kita berbeda-beda, tapi kita semua berjuang agar masih bisa hidup dan kewarasan tetap terjaga

Banyak diskusi mengenai pandemi ini. Apakah kita harus mendahulukan kesehatan? Apakah ekonomi? Apakah keduanya bisa berjalan beriringan? Semua berargumen, semua berpendapat. Bukankah semua bisa bebas berbicara? Namun, yang pasti adalah kita harus berpijak pada realita. Melihat sekeliling agar tahu betapa COVID-19 ini telah merusak ekonomi yang dibangun dengan susah payah bersama-sama.

Ada satu pengalaman sederhana yang menunjukkan betapa COVID-19 ini menghancurkan banyak hal yang sudah dibangun perlahan. Beberapa minggu yang lalu, saya pergi jalan-jalan ke Situ Mustika di Kota Banjar. Wisata yang sempat tertinggal, lalu direnovasi dan dipercantik sedemikian rupa. Jalan-jalan kali itu benar-benar menunjukkan perbedaan yang jauh signifikan dibanding kedatangan saya tahun sebelumnya.

Tahun lalu, bunga-bunga masih bermekaran dengan cantik. Semua serbatertata, rapi, dan indah. Fasilitas hiburan masih berfungsi, diawasi para penjaga di beberapa titik. Rasanya cukup takjub melihat tempat yang dulu jadi pos saya berkemah menyeramkan berubah menjadi cerah dan berwarna. Kantin dan kafe diperbaiki sehingga nyaman untuk diduduki. Dulu mana bisa nyaman duduk-duduk di sana. Hawa seramnya begitu terasa ditambah dingin dan sepi karena ini bukan tempat nongkrong anak-anak muda.


Namun, kondisi ini ternyata rusak parah karena pandemi. Semua serbasepi, jarang ada yang mengunjungi. Pengelola sampai banting harga agar warga terpancing hatinya. Kafe yang dulu ramai sekarang menunggu ada yang beli secukupnya. Kursi-kursi berdebu, daun-daun kering jatuh di berbagai tempat tidak disapu. Pekerja berkegiatan seadanya karena tidak ada yang keramaian untuk dibantu.


Fasilitas bermain mulai berkarat. Sepeda tali di pepohonan semakin ringkih tak tersentuh tangan manusia. Hanya tersentuh daun jatuh. Saung-saung berdebu di lantai, tiang, hingga atap tinggi.

Kasihan bunga-bunga yang jadi objek penarik hati. Sebagian mulai kering, sisanya mati. Bunga-bunga yang sudah dirangkai hanya tinggal tangkai. Tidak lagi disiram, dipupuk, dan dipangkas sebagaimana biasa. Hilang semua warna yang dulu jadi primadona.




Pandemi ini memang nyata dampaknya. Harus ada yang berkorban demi satu bisa bertahan. Untuk sementara, mungkin industri hiburan dan wisata harus mengalah agar angka positif dapat ditekan serendah-rendahnya. Industri-industri kebutuhan tersier harus menunda beroperasi walaupun dampaknya harus memutar otak agar tidak merugi. Namun, sesegara mungkin harus bangkit dan memutar roda kegiatan kembali.

Tingginya angka kepenatan dan ketidakpatuhan masyarakat menuntut semua kembali normal secara perlahan. Taman wisata dan hiburan harus bertahan dan bangkit bersamaan. Tapi, apa gunanya membuka kembali pintu wisata tanpa ada kepatuhan dari masyarakat?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar