Pages

Sabtu, 04 Juli 2020

Perbandingan Marie Kondo dan Fumio Sasaki


Ada dua buku yang mengenalkan saya dengan minimalisme. Buku pertama, adalah Life-changing Magic of Tidying Up dari Marie Kondo, yang sudah dibuat serialnya di Netflix. Lalu, buku kedua adalah Goodbye, Things dari Fumio Sasaki. Kedua buku itu membawa dua sudut pandang baru yang ujungnya bermuara ke satu titik: Hidup dengan sedikit barang membuat kita lebih bahagia. Cuma, dalam proses membaca kedua buku ini, ada satu hal yang bisa dikomparasi. Komparasi ini yang saya rasa bisa menjadi perbandingan untuk mereka yang mau hidup dengan sedikit barang.

            Kalau kita membaca buku Marie Kondo di atas, ada satu pegangan yang selau diulang-ulang: simpan barang yang membuat kita merasa bahagia. Atau bahasa lainnya, barang yang sparks joy. Inti dari mengurangi barang cara Marie Kondo adalah supaya kita membuang benda-benda yang tidak membuat kita bahagia sama sekali. Jadi di akhir proses decluttering hanya akan ada barang yang membahagiakan kita.

            Dalam proses membuang barang-barang, Marie Kondo selalu menggunakan pendekatan yang sangat personal. Semua benda kita pegang satu per satu, lalu adanya perasaan bahagia atau tidak saat kita menyentuh barang itu yang menentukan. Jika kita merasa bahagia saat menyentuh barang, maka barang itu disimpan. Jika tidak, jangan lupa ucapkan terima kasih atas kerja si barang yang sudah menjalankan fungsinya dengan baik. Oh, di serial (dan di buku pun) Tidying Up with Marie Kondo di Netflix diperlihatkan kalau tiap akan memulai proses decluttering Marie Kondo selalu menyapa rumah. Seolah memang rumah dan barang itu memiliki nyawa dan perasaan.

            Beralih ke bukunya Fumio Sasaki, ‘Goodbye, Things’, yang sering disebut buku gaya hidup minimalisme ekstrem. Kalau Marie Kondo masih memiliki kriteria lanjutan soal barang yang harus disimpan, Fumio Sasaki tidak punya. Di bagian tengah buku, Fumio Sasaki mengatakan bahwa salah satu cara untuk mengurangi barang adalah dengan membuang semua barang walaupun itu membawa kebahagiaan. Pendekatan ini yang berbeda jauh dengan cara Marie Kondo. Tidak heran kalau label ‘Minimalis ekstrem’ diberikan bagi Sasaki.

            Sebagai orang yang masih di tahap awal mengurangi barang, kadang-kadang kedua cara di atas membuat seolah-olah ada dua jalan bercabang yang harus dipilih. Memang, ketika kita sudah tahu bahwa dua jalan itu akan menuju ke ujung yang sama, ada rasa tenang yang datang. Setidaknya kita tidak perlu khawatir atau meragukan masa depan dan hasil dari semua proses yang akan dan sudah kita lalui. Namun, memilih jalur mana yang akan ditempuh juga tidak bisa asal-asalan. Perlu pemikiran yang serius soal bagaimana cara yang menurut kita terbaik. Tentu ini kembali ke kesiapan kita sendiri. Apakah akan memilih jalan yang ekstrem yang memberikan hasil cepat atau jalan yang perlahan-lahan tapi mungkin akan membuat kita banyak berpikir soal barang yang ada?

            Seiring proses mengurangi barang ini, ada satu hal lain yang tiba-tiba muncul di pikiran: proses menuju hidup minimalis ini tidak hanya soal hidup dengan sedikit barang dan mengetahui semua yang kita punya, tapi juga proses untuk mengenali diri sendiri. Dalam perjalanannya, proses memilih satu di antara dua cara itu membuat saya banyak berpikir dan menarik kesimpulan soal kepribadian diri. Apakah saya tipe orang yang langsung bertindak atau berpikir dua-tiga kali. Untuk soal minimalisme ini mungkin tidak ada salah-benar, tapi soal lain belum tentu.

            Ada satu momen di mana saya melakuka decluttering dengan satu cara di satu waktu, lalu di waktu yang lain menggunakan cara lainnya. Ternyata, di perjalanannya saya sering merasa salah dan ‘menyesal’ karena memilih untuk membuang barang. Satu hal yang saya luput dari penjelasan Fumio Sasaki dan Marie Kondo adalah saya lupa soal kepentingan barang. Karena terlalu tergesa-gesa kadang saya langsung membuang semua. Sampai di satu momen saya baru sadar kalau saya butuh barang itu dan cukup sering. Atau ketika saya insting saya masih belum terlatih soal mana yang menimbulkan kebahagian mana yang tidak. Terlalu lama berpikir juga membuat saya menyimpan barang yang, tidak hanya saya tidak butuhkan, tapi juga tidak sparks joy sama sekali. Biasanya ini karena saya terlalu lama memegang dan memasukan memori saya soal barang itu.

            Proses membuang barang yang berlangsung lama dan menggunakan dua pendekatan ini memunculkan sebuah hipotesa pribadi soal pertanyaan saya: Menentukan soal mana cara yang lebih baik harus dilakukan secara bertahap. Bukan soal cepat-lambatnya membuang barang tapi tentang mana yang lebih sesuai. Mungkin untuk yang masih lajang, seperti Fumio Sasaki, membuang semua koleksi akan bisa dilakukan lebih cepat. Tapi apakah mereka yang sudah berkeluarga bisa melakukan hal itu? Belum tentu. Ada proses yang sangat privat dan personal soal memilih ini. Jadi tidak bisa menarik kesimpulan bahwa satu cara ini cocok untuk semua.

            Jadi satu hal yang saya rasa cukup penting adalah...untuk tidak menggunakan standar kita pada orang lain. Memilih cara mengeliminasi benda di rumah bagi satu orang tidak akan cocok untuk orang lain. Silakan pilih cara Sasaki atau Marie Kondo, lalu rasakan apa yang terjadi. Jika kasusnya seperti saya yang ada rasa menyesal, maka bisa kurangi kecepatan prosesnya dan berpikir lebih matang. Tapi jika cara yang dipilih sudah pas maka tidak ada masalah. Hanya, yang masih sering terlupa adalah soal perbedaan proses bagi setiap individu. Satu pendekatan yang cocok bagi kita belum tentu cocok bagi yang lain. Tidak seharusnya ada pemaksaan dan tidak ada yang harus merasa terpaksa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar