Pages

Jumat, 03 Juli 2020

Kim Ji-Yeong Lahir 1982: Perjuangan Perempuan di Tengah Diskriminasi




Judul Buku: Kim Ji-Yeong, Lahir 1982
Penulis: Cho Nam-Joo
Alih bahasa: Iingliana
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 192 hlm


Lahir dan tumbuh besar di lingkungan yang menomorduakan perempuan membuat Kim Ji-Yeong harus merasakan diskriminasi karenanya. Keluarga yang menjadi lingkungan terdekatnya pun melakukan tindakan yang membuat Ji-Yeong kehilangan kesabaran. Perlakuan demi perlakuan yang tidak mengenakkan membuat Ji-Yeong menjadi dewasa dengan membawa beban, trauma, dan emosi yang terakumulasi membuat dia mengalami gangguan kejiwaan, bahkan hingga dia menikah dan mempunyai anak. Inilah yang menjadi cerita dalam buku Kim Ji-Yeong Lahir 1982 karya Cho Nam-Joo.

Kisah di buku ini dimulai dari kondisi Ji-Yeong yang dirasa semakin hari semakin aneh oleh suaminya, Jeong Dae-hyeon. Ji-Yeong tanpa dia sadari sendiri sering bertingkah laku seperti orang lain dan mengubah gaya bicaranya. Awalnya, Dae-hyeon menganggap dia hanya bercanda, tapi lama-kelamaan kondisi Ji-Yeong ini semakin mengkhawatirkan. Lalu, dia menemui psikiater untuk berkonsultasi soal masalah istrinya.

Dari sisi cerita, kita akan dibawa oleh penulis untuk mengetahui bagaimana Ji-Yeong tumbuh dan menjadi dewasa. Seperti sudah dijelaskan di atas, Ji-Yeong hidup di masa di mana perempuan sering mengalami ketidakadilan (bahkan hingga sekarang). Dari dia kecil, dia harus merelakan kenyamanan di rumahnya bagi sang adik laki-laki satu-satunya. Sementara dia dan kakaknya, Kim Eun-yeong, harus menahan diri untuk tidak iri atas perlakuan nenek dan ayahnya yang lebih memihak pada adiknya.

Di masa sekolah, keadaan tidak menjadi lebih baik. Dia dan teman-teman perempuannya kerap mendapatkan diskriminasi oleh guru dan masyarakat. Ji-Yeong, lagi-lagi harus menahan diri untuk tidak marah pada temannya yang sering menjahili dia sampai menangis. Gurunya pun sangat tidak membantu karena malah mengatakan bahwa teman laki-lakinya itu sebenarnya menyukai dia. Ucapan yang sebetulnya tidak perlu diberitahukan kalau pun itu benar.

Semakin jauh kita membaca, akan semakin banyak perlakuan-perlakuan tidak adil yang dialami para perempuan. Sekali lagi, banyak dari perlakuan ini disebabkan HANYA karena mereka perempuan. Stigma pada perempuan yang dilekatkan oleh (kemungkinan) laki-laki membuat posisi perempuan di luar keluarga (sekolah, tempat kerja, tempat umum) selalu tidak setara.

Sulit rasanya untuk memercayai bahwa di dunia nyata ada perempuan yang mengalami hal yang sama. Tapi, setelah mencari tahu lebih banyak, ternyata memang kondisi seperti itu benar-benar ada. Bahkan banyak yang lebih parah. Cerita Ji-Yeong ini mungkin akan dianggap sebagai secuil bagian dari diri para perempuan. Terlepas dari cerita yang fiksi, membaca buku ini sangat membuka mata saya tentang diskriminasi pada perempuan.

Kenapa Perempuan Sering Mendapat Label Negatif?

Ketika Ji-Yeong masuk perguruan tinggi, dia mengikuti klub mendaki di kampusnya. Hingga di tahun ketiga, Ji-Yeong yang baru putus dengan kekasihnya, mengikuti perkemahan dengan angkatan lainnya. Hingga saat dia terdengar para laki-laki sedang berbicarakan dirinya dan dia pun terbangun dan mendengar percakapan mereka. Ternyata teman laki-lakinya menyukai Ji-Yeong. Namun, kemudian ada seseorang yang justru berkata, “Ah, sudahlah. Siapa yang mau mengunyah permen karet yang sudah diludahkan?”

Membandingkan perempuan dengan benda mati, yang kadang dianggap murahan, jorok, dan tidak berharga bukanlah hal yang baru. Beberapa waktu lalu, terjadi sebuah kasus pelecehan sosial di salah satu perguruan tinggi, lalu ada pihak yang memberikan sudut pandang lain tentang kasus pelecehan ini dengan mengibaratkan si korban adalah ikan asin dan pelakunya adalah kucing.

Itu bukan hal baru lagi di kehidupan bermasyarakat. Banyak ungkapan negatif yang diberikan bagi perempuan. Apapun pilihan yang diambil perempuan, selalu diikuti oleh obrolan miring dari orang lain. Padahal pilihan itu tidak ada sangkut pautnya dengan orang yang mengomentari. Perempuan yang ingin bekerja dibilang melawan kodrat. Bagi yang tidak ingin menikah muda dianggap menunda jodoh dan dianggap perempuan tanpa aturan. Belum lagi mereka yang ingin mewarnai rambut, bertato, tidak berhijab, dan melakukan hal-hal yang ‘nggak cewek banget’ padahal tujuannya hanya ingin mengekspresikan diri.

Ji-Yeong yang dianggap permen karet yang sudah dikunyah, korban pelecehan yang dianggap ikan asin, sampai perempuan yang dianggap melawan kodrat mungkin hanya ujung dari gunung es yang terekspos karena mereka berani melawan aturan yang mendiskriminasi. Di luar sana mungkin ada yang lebih memilih diam dan mengikuti arus karena tidak mampu melawan pihak-pihak yang menekan mereka balik. Dan, bisa jadi lebih parah daripada ketiga contoh di atas.

Rasanya, langkah kecil menuju kehidupan sosial yang bebas diskriminasi dan menjunjung kesetaraan adalah dengan tidak melabeli orang lain atas pilihan mereka. Tidak memandang sebelah mata mereka yang berbeda pilihan. (Paragraf ini merupakan pikiran tanpa basis akademis. Murni hasil berpikir singkat setelah melihat fenomena di media sosial).

Suara dan Emosi yang Terpendam Menjadi Bom Waktu

Tidak lama setelah Ji-Yeong mengetahui dirinya disamakan dengan permen karet yang sudah dikunyah, dia memilih diam. Hingga keesokan harinya dia bertemu denga laki-laki yang mengatakan itu. Si lelaki berbasa-basi dengan menanyakan kondisi Ji-Yeong. Diceritakan bahwa Ji-Yeong ingin berkata, “Memangnya permen karet bisa tidur?” Hanya saja, dia akhirnya tidak berkata apa-apa.

Kondisi Ji-Yeong yang sering memilih untuk tidak berkata apa-apa tentu berdampak buruk bagi dirinya. Dan, hal ini tidak terjadi sekali-dua kali. Dari masa kecil, Ji-Yeong sering memilih diam karena terkadang ketika dia bercerita justru dia yang dimarahi. Hingga dirinya dewasa pun dia masih memilih diam ketika dia dianggap sebagai “ibu-ibu cafe” yang dikira orang-orang hanya menghamburkan uang suami dan tidak perlu bekerja.

Puncaknya adalah kondisi Ji-Yeong yang sering berganti kepribadian menjadi orang lain. Apakah itu dampak dari kondisi yang menekan Ji-Yeong? Sepertinya belum ada jawaban pasti. Karena diceritakan psikiater yang menangani kasus Ji-Yeong pun mendiagnosa terlalu cepat kondisinya. Tapi yang mungkin lebih pasti adalah suara dan emosi orang yang dipendam pasti akan meledak dan muncul ke permukaan. Entah kapan, di mana, dan dengan cara apa. Begitu pun pemantiknya yang  berupa ha-hal yang tidak disadari.

Kebiasaan memendam emosi dan suara rasanya bukan hal yang asing. Berbagai alasan dan penyebabnya pun sering tidak kita sadari. Hal yang dianggap ‘bercandaan’ bagi satu orang mungkin akan dianggap lain bagi yang memiliki emosi dan masalah. Ini sering terjadi mungkin karena kita masih belum punya empati yang menyeluruh.

Kalau tadi sebaiknya kita tidak perlu repot-repot melabeli orang lain dengan label yang suka-suka kita, untuk kondisi ini (yang bisa terjadi pada siapa pun) sebaiknya kita belajar mendengarkan bersama-sama. Karena kemampuan mendengarkan itu salah satu yang tersulit. Sulit karena kita harus berusaha hadir bersama orang yang berkeluh kesah dan harus memusatkan perhatian. Selain itu, cara merespon pun agak menjebak. Beberapa ucapan yang kita kira biasa saja ternyata malah menjadi bumerang yang memperkeruh suasana.

Buku Kim Ji-Yeong Lahir 1982 tidak hanya memberikan kita bayangan tentang misoginisnya kehidupan di Korea Selatan. Data-data perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang timpang pun disajikan lengkap dengan sumber jurnal, buku, dan berita. Mulai dari jumlah angka kelahiran laki-laki yang lebih tinggi, karena banyak aborsi yang dilakukan ibu-ibu yang mengandung anak perempuan, hingga gap gaji laki-laki dan perempuan di Korea Selatan yang terendah di negara-negara OECD. Bagi yang mau menindaklanjuti bisa dicek semua sumbernya.

Sebelum membaca buku ini memang saya sudah menonton filmnya dan membaca berbagai respon dari masyarakat di sana. Para lelaki banyak yang menilai jelek film ini dan tentu saja para perempuannya memberi nilai yang tinggi. Bahkan yang paling aneh adalah adanya petisi yang dilayangkan kepada Blue House untuk membatalkan penayangan film ini. Tugas Presiden yang banyak dan levelnya nasional hingga antarnegara masih harus ditambah dengan petisi aneh macam ini sangat kurang tepat, kan?

Saat membaca cerita ini saya merasa kalau perubahan kepribadian Ji-Yeong merupakan fenomena unik dan menarik untuk dijelaskan lebih dalam. Tapi di sisi lain, ada kemungkinan kalau proses konsultasi Ji-Yeong ini diperdalam dan dijelaskan kronologisnya, jalan ceritanya akan terlalu teknis(?). Tapi dengan penjelasan singkat di bab akhir, menunjukkan kalau kondisi Ji-Yeong ini masih kurang dipahami bahkan oleh psikiaternya. Bahkan psikiaternya mulai meragukan dugaannya. Dari depresi pascamelahirkan hingga dugaan depresi pengasuhan anak.

Kondisi kejiwaan Ji-Yeong yang tidak dijelaskan dengan pasti masih membuka kesempatan pembaca untuk menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi. Kalau saya pribadi suka jenis cerita yang memberi ruang untuk berimajinasi tentang akhir cerita atau kondisi yang dibiarkan menggantung di akhir. Akan tetapi, untuk kasus Ji-Yeong yang realistis dan banyak terjadi di dunia nyata (bagian depresinya, bukan bertukar kepribadian) membuat saya penasaran dan ingin tahu penjelasan ilmiahnya. Tapi dengan adanya kemungkinan cerita yang terlalu ilmiah (yang mungkin tidak terjadi juga seandainya itu dijelaskan), saya berusaha mencukupkan isi ceritanya seperti yang ada sekarang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar