Filosofi Teras: Tenang Sedari Pikiran, Berlatih Menderita, dan Minimalisme

by - 10/28/2019 09:24:00 PM



Entah apa yang membuat manusia di zaman sekarang--termasuk saya--sering dikelilingi rasa khawatir, cemas, dan takut berlebihan. Membayangkan masa depan yang tidak pasti sesering menyesali dan meratapi masa lalu yang sudah pasti tidak mungkin kembali. Apakah itu karena faktor lingkungan? Media sosial? Tekanan keluarga, kerabat, hingga masyarakat? Enak memang menyalahkan faktor luar atas ketidakwajaran yang terjadi pada diri kita. Tapi...tidak demikian yang dipercayai oleh filsafat stoa yang terangkum dalam buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring ini.

Buku yang menjadi national best-seller ini membahas tentang pandangan filsafat stoa (stoicism) dan kaitannya dengan kehidupan kita sehari-hari. Memberikan kiat dan cara pengelolaan pikiran sehingga kita bisa lebih santai dan tidak tertekan dalam menghadapi berbagai tindakan atau kejadian yang bisa mematahkan semangat. Dengan kata lain, buku ini merupakan "panduan" agar kita bisa tenang sejak dalam pikiran.

Pendekatan saya tentang filsafat pertama kali itu ketika semester pertama perkuliahan dalam mata kuliah Filsafat Ilmu yang *uhuk* saya nggak paham sama sekali. Jiper memang kalau mendengar buku atau pembahasan tentang filsafat. Namun untungnya Filosofi Teras ini dibuat dengan bahasa yang sangat santuy dan jauh dari kesan "berat banget" seperti stereotip di luaran sana.

Tentang Stoisisme

Sejak bab-bab awal, kita diajak berkenalan dengan sejarah Filsafat Stoa ini. Bagaimana musibah kapal karam yang membuat, Zeno, seseorang yang tadinya tajir melintir menjadi jatuh miskin seketika. One thing led to another, hingga akhirnya muncullah filsafat yang umurnya awet selama lebih dari dua milenium.

"Some things are not up to us, some things are not up to us." - Epictetus (Enchiridion) hal. 46

Mari masuk ke intisari dari Filosofi Teras itu sendiri. Kita akan menemukan fakta bahwa sebenarnya, rasa khawatir, cemas, takut, dan marah itu datang bukan semata-mata dari faktor eksternal. Namun, kenyataannya justru terbalik. Bahwa pikiran kitalah yang jadi dalang di balik itu semua. Opini-opini kita yang--namanya juga opini-- umumnya tidak berdasar dan cenderung membuat semua terkesan buruk itulah akar dari semua perasaan yang mengenakan tadi. Karena, salah satu poin yang sering diulang-ulang dalam buku ini adalah: Semua kejadian yang terjadi di luar kontrol kita itu netral. Opini kitalah yang menyebabkan sebuah kejadian menjadi terasa positif atau negatif. Kurang lebih seperti itu.

Ngomong-ngomong soal kontrol dan kendali, ada sebuah konsep bernama "dikotomi kendali" yang dapat digunakan untuk berlatih mengelola pikiran dan emosi kita. Singkatnya, kita mengategorikan sesuatu menjadi dua: apakah itu berada di bawah kendali kita (pemikiran, respon diri, besarnya usaha, dll); atau apakah itu berada di luar kendali kita (penilaian orang, ucapan orang lain, kesehatan, kapan kita mati, dll). Kalau itu berada di luar kendali kita, maka, ya udah. Itu bukan sesuatu yang bisa kita kendalikan. Dan yang bisa dikendalikan adalah respon dan opini atau judgement kita terhadap masalah itu. Lengkapnya mungkin bisa dibaca di buku Filosofi Teras (beli yang asli, ya, gaes).

Pada bab-bab berikutnya dalam buku ini masih berisi tentang bahasan mengenai cara pengelolaan pikiran dengan berbagai metode. Tidak perlu dijelaskan di sini karena penjabaran di bukunya sudah cukup sederhana dan mudah dimengerti.

Latihan Menderita

Dari sekian bagian penjelasan, ada satu hal yang menarik perhatian saya. Bagian Latihan Menderita!

Kenapa menarik? Karena dibuku dijelaskan kalau kita memang, literally, latihan untuk menderita. Belajar hidup di bawah standar nyaman dan tidak bermewah-mewahan. Tujuannya memang mulia, untuk mengajarkan kita bahwa kita masih bisa hidup dan berfungsi dengan atau tanpa standar kemewahan yang ada. Kalau dipikir-pikir, rasa puas terhadap kepemilikan barang tentu tidak akan ada habisnya. Kita akan selalu menginginkan barang yang lebih baru walaupun yang kita punya masih berfungsi. Standar kemewahan yang ada pun kadang malah membuat kita, sadar atau tidak, malah jadi materialistis.

Penulis juga sudah memberi tahu kalau kita mungkin akan menemukan ajaran Filsafat Stoa ini selaras dengan ajaran agama atau gaya hidup lain. Nah, kalau berdasarkan pemahaman saya, Latihan Menderita ini esensinya hampir mirip dengan gaya hidup minimalisme. Hanya berbeda di pendekatan dan tujuannya.

In my sotoy opinion, Latihan Menderita ini dilakukan untuk menguji atau membuktikan kemungkinan bertahan hidup tanpa barang mewah atau standar tinggi, minimalisme justru dari awal menganjurkan kita hidup sederhana tanpa banyak barang, karena memang rata-rata koleksi kita tidak dibutuhkan dan seringnya tidak membawa kebahagiaan.

Tapi pandangan stoa dan minimalisme menurut saya sama, kok. Bahwa sebenarnya kita tidak perlu banyak barang atau bermewah-mewah untuk tetap bisa hidup dengan bahagia. Karena rasa bahagia itu tidak datang dari barang koleksi atau respon orang terhadap gaya hidup kita. Dikembalikan ke dikotomi kendali, penilaian orang itu ada di luar kendali kita, sedangkan rasa bahagia itu lebih ke a state of mind alias kondisi pikiran kita.

Saya memang belum pernah menemukan literatur tentang minimalisme, seperti literatur tentang ilmu filsafat yang sudah ada dari sebelum Masehi. Tapi, dari berbagai sumber modern yang pernah saya baca dan lihat (rata-rata video YouTube, film dokumenter, atau pun blog serta artikel), para pelaku minimalisme akan menganjurkan kita untuk kembali ke diri kita dan kembali mendengarkan diri sendiri. Apakah kita butuh barang ini? Ataukah saya hanya ingin membuat orang lain terkagum-kagum lalu kita merasa superior? Lebay ya? Tapi dari buku Goodbye, Things-nya Fumio Sasaki, saya baru tahu bahwa memang ada orang yang seperti itu.

Mungkin kalau tujuan kedua tercapai, kita akan bahagia. Tapi coba kalau sebaliknya? Karena respon orang itu bukan di bawah kontrol kita, begitu orang tidak memberikan respon yang kita inginkan, lalu kita pasti akan baper dan mutung. Lagi-lagi karena berharap pada sesuatu yang tidak di bawah kendali kita.


Sepanjang membaca buku ini, beberapa kali saya teringat dengan ucapan dari orang-orang tua di sekitar. Kadang, mereka sering bilang, "Kita kan sudah usaha, hasilnya gimana mah itu terserah Allah SWT." Nggak tahu apa mereka pernah baca buku-buku Filsafat Stoa (kayaknya sih nggak ya), tapi memang filsafat ini terasa sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Padahal baca tentang ilmu filsafat baru dari buku ini.

Syukurnya lagi, layout dari buku ini juga sangat membantu proses membaca. Tidak semua isinya huruf, tapi diselingi gambar-gambar dan halaman kutipan. Cukup meringankan mata karena pasti kalau layout-nya seperti buku non-fiksi lain, saya pasti males bacanya. Walaupun, hampir yakin penyebab terbesarnya adalah opini saya tentang filsafat seperti yang saya sampaikan di atas.

Untuk ukuran buku "pengatar filsafat stoa" saya rasa sudah banyak hal yang tersampaikan. Walaupun itu memang masih dasar sepertinya. Mungkin ke depannya saya akan coba cari literatur tentang stoa lain yang berbahasa Indonesia dulu. Baru perlahan naik tingkat ke buku-buku Marcus Aurellius, dkk.

Seperti Om Piring bilang di bagian epilog, buku Filosofi Teras ini memang baru awal, bagi kita yang mau mendalami. Jadi, semoga ke depannya banyak buku-buku filsafat yang dikemas seringan mungkin agar ilmu dan intisarinya bisa dipahami banyak orang.

Selamat membaca! Buku bagus memang harus di-review dan disebarkan.

n.b. Bab Sebelas buku ini memberikan banyak pencerahan tentang ketakutan saya selama ini. Terima kasih, Om Piring.

You May Also Like

0 komentar