Pengalaman Naik Transportasi Umum Jakarta: Sebuah Catatan Perjalanan Pribadi

by - 10/19/2019 10:05:00 PM

Stasiun Manggarai, calon pengganti Stasiun Gambir
Tiap dengar kata Jakarta, hal pertama yang hampir selalu terlintas adalah soal macet dan panasnya. Rasanya kota ini semerawut dan bikin pusing, kata orang-orang yang lama tinggal di sana. Mungkin mereka ada benarnya. Saya yang bukan (atau belum jadi) anak Jakarta, kadang suka penasaran dan ingin membuktikan sendiri. Separah apa sih lalu lintas di Big Durian ini. Akhirnya... Ketika ada kesempatan beberapa hari ke Jakarta, saya berusaha coba semua transportasi umum di sini. Jadi tulisan ini murni hanya berdasarkan pengalaman saya kurang dari seminggu itu.

Sah!
Ketika tahu kalau saya bakal ke Jakarta, jari-jari tangan ini langsung riset tentang apa-apa saja yang bisa dilakukan di sana. Khususnya soal mobilitas, karena memang tidak ada niat untuk membawa kendaraan pribadi, jadi sudah sedari awal saya mempersiapkan diri untuk belajar rute TransJakarta dan MRT, karena kalau ojek online memang tidak perlu persiapan. Di Jogja pun sudah biasa.

Riset tempat wisata atau destinasi menarik mana yang murah dan dekat itu sudah wajib. Cara untuk sampai ke sana pun bisa dicari semalam sebelumnya. Tapi, tujuan utama saya dari sebelum berangkat adalah...naik MRT Jakarta. Kapan lagi kan bisa naik MRT pertama di Indonesia?

Sebagai percobaan pertama, tidak sah rasanya kalau tidak naik dari salah satu stasiun akhir dan paling strategis. Yaitu MRT Bundaran HI. Ternyata memang beda rasanya naik sarana transportasi yang sudah mutakhir. Semuanya serbacepat, tepat waktu, dan...rapi. Untung ini sudah beberapa bulan setelah peluncuran, jadi saya tidak harus berpapasan dengan orang-orang yang piknik atau bergelantungan di dalam rangkaian.
Peron bawah tanah Halte MRT Bundaran HI

Dari Halte Bundaran HI, tujuan saya waktu itu ke Cipete, karena lihat postingan di Instagram tentang toko kue yang sedang hits. Karena letaknya strategis dan dekat sekali dari Halte Cipete Raya, jadi tidak begitu melelahkan ketika harus berjalan kaki beberapa ratus meter.

Biaya naik MRT pun tidak begitu mahal. Kalau tidak salah dari Bundaran HI ke Cipete Raya hanya sekitar Rp10.000 atau Rp11.000, sekitar segitu. Terbayar sudah dengan peron yang bersih, toilet yang super nyaman, dan kecepatan waktu tempuh. Kalau pakai transportasi lain mungkin harganya bisa beberapa kali lipat, belum dengan macet dan kesemrawutan lalu lintas.

Selain MRT, transportasi lain yang cukup diistimewakan adalah TransJakarta. Diistimewakan karena mereka punya jalur sendiri yang--idealnya--tidak dimasuki kendaraan lain. Perjalanan saya dengan TransJakarta dimulai dari Halte Stasiun Kota sampai ke Bundaran HI (untuk naik MRT ke Cipete Raya). 

Sebenarnya naik TransJakarta ini nyaman, lho. Untuk masalah berdiri memang sudah risiko dan sebenarnya tidak begitu melelahkan. TransJakarta ini juga bebas macet dan karena rute yang saya tempuh relatif singkat dan jalannya "lurus-lurus" saja, tidak begitu terasa jadinya. 

Dari segi kondisi, kalau mau dibandingkan dengan TransJogja, bus TransJakarta jauh lebih besar dan luas. Memang itu juga pengaruh dari kondisi di lapangan. Penduduk Jogja memang masih belum banyak yang menggunakan bus kota, motor atau mobil pribadi masih jadi pilihan. Terdiri dari sekitar 2-3 rangkaian, membuat penumpang juga tidak perlu berdesakan. Haltenya pun luas-luas dan bersih. Sama seperti transportasi umum lain seperti kereta atau MRT, kita memang harus usaha ekstra untuk jalan ke tempat tujuan karena memang pemberhentiannya tidak bisa menyenangkan semua pengguna.
Lantai atas bus tingkat untuk Jakarta City Tour Bus yang jadi rebutan.

Selain TransJakarta, ada juga Jakarta City Tour Bus yang bisa membawa kita keliling kota sambil mendengarkan paparan dari pemandu di bus. Waktu itu saya naik bus tentang "History of Jakarta", isinya kita melewati bangunan-bangunan bersejarah di pusat kota dengan pemberhentian akhir ke Kawasan Wisata Kota Tua. Seru! Karena bus ini bus tingkat, jadi jarak pandang kita lebih tinggi dan luas. Berasa jadi raksasa. Poin plus lain dari Jakarta City Tour Bus ini adalah...gratis! Kita bisa datang ke halte terdekat (saya di depan Masjid Istiqlal), lalu pilih ingin naik bus yang mana. Di samping dan depan bus ada kode bus dan keterangan temanya, kok. Atau kalau takut salah bisa tanya ke petugasnya. Tapi harus dicek juga karena ada bus lain yang harus bayar, jadi dipastikan sebelum naik.

Nah, berikutnya adalah kendaraan umum yang sempat bikin saya jiper waktu lihat video-video dan berita di internet. None other than...KRL. Yep. angkutan umum andalan pekerja dari Bodetabek ini memang kalau dilihat selalu penuh, berdesakan, dan terkesan nggak aman. Banyak yang kena masalah di sini. Mulai dari kena copet, catcalling, atau desak-desakkan dengan penumpang lain.

Buat mencegah semua kondisi tadi, saya naik pas bukan jam sibuk. Sekitar jam dua siang dari Stasiun Pasar Minggu Baru ke Stasiun Gondangdia. Nyaman, lho, sebenarnya KRL ini. Walaupun kipas anginnya nggak ada dingin-dinginnya sama sekali. Lupa kipasnya muter apa nggak. Gerbongnya juga cukup luas. Walaupun dengan pengecualian karena ini bukan jam sibuk. Kalau saya naik agak sorean mungkin lain cerita. Semua pekerja laju bakal tumplek blek. Hiii...saya masih suka jiper karena memang kadang suka tidak nyaman kalau di keramaian, berdesakkan pula.
-

Stasiun Pasar Minggu Baru tempat saya naik tidak begitu luas. Karena memang sedikit yang naik di sini. Selain itu juga sedang ada renovasi di stasiun, jadi memang agak kotor dan berdebu. Peronnya pun di dua sisi tidak begitu luas. Tapi kursinya masih tersedia banyak.

Datang dengan persiapan dan niat untuk mencoba transportasi umum di Jakarta memang membantu. Mencari rute terdekat dari destinasi wisata atau tempat makan dan nongkrong itu penting sekali! Dan...rasanya berada di kota yang sudah maju sistem transportasinya memang beda. Semua terasa mewah dan kita sudah beradaptasi dengan teknologi. Jakarta memang terlambat punya MRT dibanding Thailand dan Malaysia, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Meskipun ungkapan itu tidak bisa diterapkan terus menerus (karena orang Indonesia memang sering terlambat).

Penampakan Stasiun Pasar Minggu Baru

Rasanya beda ketika sistem transportasi kita sudah serbaotomatis. Tinggal tap kartu langsung jalan. Semua serba cashless, rapi, dan tertib. Optimis memang kalau Indonesia bisa maju walaupun harus berlari mengejar posisi negara lain. KRL yang murah dan jadi andalan, TransJakarta yang sangat-sangat luas, bersih, dan nyaman, sampai MRT yang jadi ikon kebanggaan karena kita mampu punya teknologi seperti itu.

Opsi lain seperti angkot dan Metromini memang kadang masih jadi pilihan, tapi...banyak yang harus dibenahi di sistemnya. Tugas siapa? Saya rasa semuanya. Semua yang butuh naik kendaraan umum, semua yang punya wewenang untuk mengatur urusan transportasi. Pakai, rawat, dan jangan lupa untuk melaporkan ketidaktaatan siapa pun yang mengganggu kenyamanan. Bisa kok angkutan umum di Jakarta dan Indonesia tertib dan terintegrasi. Asal jangan lempar tanggung jawab dan lepas tangan saja.

Salam.


You May Also Like

0 komentar