Perjalanan Fumio Sasaki ketika Buang-buang Barang

by - 3/26/2019 08:04:00 PM



Identitas Buku
Judul: Goodbye, Things – Hidup Minimalis ala Orang Jepang
Penulis: Fumio Sasaki
Penerjemah: Annisa Cinantya Putri
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Halaman: xxvi + 242

Pertemuan pertama saya dengan minimalisme dimulai dari buku Marie Kondo yang kemudian berlanjut ke film dokumenter dari The Minimalist. Semenjak itu, saya mulai mencari tahu lebih lanjut tentang gaya hidup yang digadang-gadang sedang menjadi tren di seluruh dunia ini. Akhirnya saya menemukan informasi tentang Fumio Sasaki dan gaya hidup minimalismenya di Jepang beserta bukunya, Goodbye, Things. Kemudian, tanpa disadari, ketertarikan saya terhadap minimalisme mulai tumbuh dan semakin membesar.

Satu hal yang saya ketahui tentang Fumio Sasaki adalah dia dilabeli sebagai minimalis yang cukup ekstrem. Hal ini cukup masuk akal karena setelah membaca bukunya, saya pun jadi memahami apa yang dia lakukan sampai ke titik ini. Sasaki sendiri hanya memiliki sedikit barang di apartemennya dan walaupun begitu, dia masih ingin mengurangi semua barang-barangnya hingga tersisa benda-benda yang pokok dan sangat penting saja. Fakta-fakta tentang Sasaki dan informasi dari buku Marie Kondo dan film The Minimalist sudah menjadi amunisi saya sebelum membaca buku ini.

Pembahasan awal dari buku ini adalah tentang meningkatnya budaya minimalisme di Jepang, yang menghadirkan beberapa minimalis dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ada seorang minimalis lajang sekaligus traveller, seorang minimalis lajang dan pekerja di Tokyo, ada juga sepasang suami-istri. Secara implisit, mungkin ini menunjukkan bahwa gaya hidup minimalis cocok bagi semua latar belakang dan kalangan, dan bukan hanya dapat dilakukan oleh mereka yang lajang.

Kelebihan dari buku ini adalah Sasaki di awal menekankan beberapa aturan penting tentang minimalisme. Pertama, ditekankan bahwa minimalisme bukanlah sebuah kompetisi dengan orang lain. Kita tidak perlu sesumbar atas betapa sedikitnya barang yang kita punya, dan menghakimi mereka yang memiliki banyak barang. Kedua, proses ini tidaklah mudah, tetapi tidak mustahil. Mereka yang ingin memulai perjalanan menuju minimalisme harus tahan dengan proses yang panjang dan memakan waktu. Sasaki sendiri masih mengurangi barang-barang kepemilikannya sendiri.

Sudut pandang lain yang saya dapatkan ketika membaca buku ini adalah mengenai hubungan antara mengurangi jumlah barang dengan ketenangan mental dan pikiran. Sasaki menjelaskan proses menjadi seorang minimalis telah mengubah dirinya secara perlahan. Dia mengklaim bahwa dirinya sekarang sudah lebih terbuka dan tidak begitu introver seperti sebelum memulai proses ini. Salah satunya adalah karena alasan dia mengumpulkan barang adalah untuk membentuk citra diri di mata orang lain. Membeli banyak buku yang tidak pernah dibaca sama sekali karena ingin dilihat berpengetahuan luas dan rajin membaca. Mengoleksi banyak film dan menonton semua yang sedang menjadi tren di bioskop supaya ingin dianggap sebagai penggemar film dan tidak ingin ketinggalan pembicaraan denga teman-temannya. Melalui minimalis, tidak hanya Sasaki membuang barang yang dibeli bukan karena suka, tapi juga membuang keinginan membentuk citra dirinya bersamaan.

Karena sudah memiliki referensi lain tentang minimalis, jadi saya menemukan jalan tengah ketika ingin mencoba menjalankan minimalisme dari nol. Dalam buku Life-changing Magic of Tidying Up dari Marie Kondo dan juga dari paparan The Minimalist, pandangannya memang terasa lebih manusiawi dan jauh dari ekstrem. Perbedaan yang paling mencolok adalah, jika Marie Kondo menganjurkan menyimpan barang yang hanya membuat kita bahagia, Sasaki justru sebaliknya. Dia tetap menganjurkan membuang barang walaupun membuat kita senang (hlm. 119). Keekstreman Sasaki juga agak terlihat dari keinginannya untuk tinggal di tempat yang jauh lebih kecil, dan contoh yang dia berikan. Dia berkata kalau hanya ada handuk kecil yang dia gunakan untuk berbagai keperluan (mandi dan mencuci khususnya). Untuk sebagian orang mungkin ini tidak dapat diterima.

Efek membaca buku ini saya rasakan tidak begitu kuat seperti buku Marie Kondo. Meski begitu, ada bagian yang sangat mengena bagi saya pribadi. Betapa kita hanya mengoleksi barang hanya karena mengikuti tren dan ingin membentuk citra diri semata. Itulah yang saya lakukan tiap membeli buku. Selain itu, aspek psikologi yang dipaparkan juga sangat mendalam dan dijelaskan secara runut dan cukup rinci. Pengalaman Sasaki mengurangi barang dan pengaruhnya terhadap kepribadiannya terasa natural dan tidak dibesar-besarkan.

Kembali lagi, mungkin jika ada orang yang perkenalan pertamanya dengan minimalis berawal dari buku ini, bukan tidak mungkin banyak yang akan mundur dan beranggapan bahwa minimalisme adalah gaya hidup yang ekstrem dan sulit. Jika kita memperbanyak referensi, maka akan ada sudut pandang baru yang akan membuat kita dapat menentukan pendekatan mana dan seperti apa yang paling cocok bagi kita. Seperti yang sudah ditekankan Sasaki sebelumnya: ini bukan kompetisi dan memang sulit tapi tidak mustahil.

You May Also Like

0 komentar