All I Learned During KKN were….

by - 9/09/2017 01:06:00 PM



Momen KKN di Dusun Sumberan, Kelurahan Wonoharjo, Kecamatan Kemusu ini banyak banget ngasih pemahaman dan pembelajaran baru. Cukup kita lebih jeli mengamati lingkungan, insyaallah, ada aja pelajaran-pelajaran baru tiap harinya. Mungkin bagi sebagian orang, daftar di bawah ini cuma daftar-daftar mainstream. Banyak buku-buku motivasi yang memuat. Tapi, kalau kita mengalami sendiri, dan memetik pelajarannya, rasanya jauh lebih berkesan dan mengena. Serius! Oke, untuk mempersingkat karakter, here they are….

Dari kami yang siap mengabdi kala itu

1.      Tertawa karena hal-hal kecil
Jadi, ceritanya, di Sumberan itu banyak jalan naik-turun. Bentuknya beda-beda, ada yang landai ada juga yang curam. Nah, kelompok kami itu sukanya sama turunan yang curam-curam. Kalau kita menemukan turunan curam tadi, langsung tuh, motornya gak digas dan kadang-kadang dimatikan. Rasanya mirip kayak naik roller coaster yang ada di Dunia Fantasi. That is why, kami menyebutnya dengan Dufan ala Sumberan.
Dufan ini menjadi kebiasaan kami hampir setiap hari. Sensasi meluncur di motor dengan kecepatan cukup tinggi, ditambah angin yang kenceng ternyata bisa jadi hiburan yang murah-meriah selama KKN. Kami nggak perlu ngeluarin duit sama sekali, tapi kami bisa ketawa bareng-bareng. Ternyata, kalau kita peka, hal-hal kecil yang ada di sekitar kita bisa jadi sumber kebahagiaan, tanpa perlu mengeluarkan biaya sepeser pun.

2.      Senyum
Smile is the best make up human can put on. Well, saya percaya. Di Sumberan ini, setiap ketemu sama masyarakat, kami selalu saling melempar senyum. Senyumnya harus yang ikhlas tapi, ya. Senyum di sini bukan untuk basa-basi atau formalitas tiap ketemu, tapi lebih ke cara kita menyapa dan menerima keberadaan satu sama lain. Apalagi kami di sini tamu yang suka nyusahin masyarakat.
Rasanya nggak berat kok untuk senyum. Apalagi katanya senyum yang ikhlas itu bisa jadi ibadah. Mungkin kalau dijelaskan apa manfaat senyum bakal kepanjangan ya. Tapi yang saya rasakan setelah senyum, perasaan jauh lebih tenang dan saya merasa diterima di Sumberan ini. Senyum itu bahasa yang universal, kita nggak perlu bersuara, tapi semua orang bisa terbawa bahagia.

3.      Not to make life more complicated
Sering kalau di rumah kita suka ribet masalah makanan, pakaian, dan hal-hal remeh temeh lainnya. Tapi di sini, semua serba ringkas. Makan tinggal makan, mau masak sayur tinggal metik, tinggal ambil. Apa aja dimakan, nggak pake gengsi.
Kami di sini makan tape singkong, makan gethuk, makan ikan asin nggak pakai mikir lagi, semua dilibas. Bayangkan kalau di kota, pasti sudah ogah-ogahan. Kalau biasanya kita suka gak bersyukur atas apa yang ada, dan malah ingin sesuatu yang lain, di sini nggak berlaku. Budaya orang di tempat KKN ini membuat kami lebih bisa menerima dan nggak mengeluh. Dikasih gethuk goreng aja sudah alhamdulillah. Apalagi orang-orang di sini sering memberi makanan berat, camilan, dan buah-buahan.
Singkong, jagung dan pisang yang jadi komoditas di sini juga mempermudah kehidupan masyarakat. Ada kenduri atau hajatan tinggal ambil bahan dasarnya di kebun, terus langsung diolah. Sederhana, gak pake ribet. Ditambah semua menerima. Mungkin, kalau kami sudah protes, ingin beli ini-itu, pesan ini-itu, delivery ini-itu.
Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, kitalah yang suka memperumit hidup sendiri. Padahal, hidup itu amat sangat sederhana dan mudah. Mungkin gengsi dan pride jadi faktor yang memperumit itu, tapi semua sebenarnya bisa dihindari. Kebiasaan mengikuti tren, mengikuti arus pergaulan buat kita memperumit lifestyle yang aslinya mudah. Akhirnya, saya beranggapan kalau sebenarnya kita tidak perlu membuat hidup menjadi lebih rumit, karena sebenarnya akan ada masa di mana kerumitan datang tanpa kita minta.

4.      Facing small rejections
Di KKN hari ke sekian, saya dan teman saya keliling ke beberapa toko kelontong untuk meminta sedikit donasi, alasannya adalah karena proposal permintaan sponsor kami nggak jadi kami ajukan ke salah satu BUMN di daerah Boyolali. Udara siang hari di Boyolali nggak manusiawi sekali. Panas. Ditambah juga debu jalanan yang banyak terbang di sepanjang jalan. Dalam waktu tempuh 1,5 jam saja, wajah kami langsung kucel nggak keruan.
Bisa dibilang kami sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah badan capek, muka gosong, eh, masih ditolak juga di beberapa toko. Awalnya setelah kami jelaskan maksud dan tujuan kedatangan, pemilik toko menyuruh kami menunggu beberapa menit, mereka mau diskusi dulu katanya. Sudah ditunggu, pakai haus dan kegerahan, ternyata mereka nggak mau memberi donasi. Kesal sih, tapi itu sudah risiko sih ya.
Empat jam keliling ke Kemusu dan Juwangi, Alhamdulillah kami dapat donasi dari 5 toko. Satu toko memberi sembako, dan yang lainnya memberi uang tunai seikhlasnya. Bukan masalah besar-kecilnya sih yang penting, tapi lebih ke kebaikan hati para pedagang itu. Bayangkan, kami orang asing, baru datang ke daerah situ, tapi sudah berani minta-minta sumbangan donasi. Apalagi acara kami juga nggak menjangkau daerah mereka.
Let’s go back to rejections thing. Mungkin terlalu lebay kalau saya bilang ditolak oleh toko yang diminta donasi itu menyakitkan. Karena, masih ada rejections yang jauh lebih besar dan parah di luar sana. Penolakan ini cuma seujung upil dibanding penolakan lain yang sebesar gunung. Ditolak calon pacar, ditolak kerja, atau bahkan ditolak judul skripsinya, jauh lebih menyakitkan. Tapi, rejections ini bisa jadi bayangan dan latihan buat kita menghadapi yang lebih besar. Nggak akan langsung sukses sih, tapi setidaknya kita pernah tahu bagaimana rasanya diberi harapan, lalu ditolak di saat bersamaan. 

5.      No one likes to be left out
Yang namanya KKN sudah pasti kerja tim harus bagus. Nggak boleh ada gesekan-gesekan kecil maupun besar. Selama satu bulan di atap yang sama, terus diskusi bahas proker yang nggak kecil akan terus terjadi dan semakin intensif mendekati hari-H. Kalau pola diskusinya salah, bisa-bisa ada yang nggak suka dan merasa ter-left out(?) dari grup. Perasaan seperti itu nggak bisa dibilang lebay, karena ada orang yang perasaannya super sensitif dan sulit berbicara.
Ngomong-ngomong soal being left out, di waktu saya KKN ada kejadian-kejadian, yang kalau tidak dicegah, akan mengarah ke perasaan left out. Did it happen to me? You guess it. Ketika bahas proker, kami untungnya sudah membuat koordinator-koordinatornya. Sayangnya, dengan dibuat koordinator itu, jadinya justru komunikasi kelompok untuk membahas proker nggak intensif. Semua yang diskusi hanya ketua dan koordinator-koordinatornya. Nah, gimana yang lain? Kadang ada yang ngedumel dan curhat di belakang. Mereka dari yang nggak berani jadi malas buat ngomong. Akhirnya, di akhir-akhir waktu KKN, kami evaluasi semua dan yaah ada perubahan yang terasa, walaupun sedikit.
Perasaan ter-left out itu memang nggak mengenakkan. Kita merasa nggak dianggap dan pemikiran kita nggak dihargai dan diperhatikan. Dalam kerja tim memang komunikasi secara menyeluruh itu penting. Semua anggota punya otak dan pemikiran masing-masing. Masalah cocok atau nggaknya pemikiran dengan realita, nggak kemudian membuat kita melewati mereka dan tidak menanyai pendapatnya. Baik atau jelek, bagus atau tidak, semua harus terlibat. KKN bukan hanya masalah lancarnya program kerja, tapi juga bagaimana tim ini merasa terlibat dan sense of belonging-nya terasa walaupun itu bukan bagian tugasnya.

Idul Adha kami

6.      Tradisi yang masih ada di Indonesia
Waktu malam setelah 17-an, kami mengadakan acara penyerahan hadiah bersamaan dengan apitan desa dan sedekah bumi. Rangkaian acaranya dimulai dari setelah magrib sampai kurang lebih jam 2 tengah malam di depan rumah Bapak RT 001. Isinya sih cuma pembagian olahan hasil bumi, lalu dilanjut pengumuman pemenang, baru yang terakhir itu acara puncaknya, karawitan.
Karawitannya itu langsung dari grup Ibu RT 001 Sumberan. Mereka mulai main sekitar jam 10 malam. Nah, di acara karawitan ini tetep ada tradisi nyawer duit. Sinden-sinden yang lagi nembang dikasih uang buat membawakan lagu yang di-request sama penonton. Selama penontonnya masih minta buat dinyanyikan, ya terus aja si sinden nyanyi. Ini yang buat acara karawitan bisa berlangsung sampai larut malam.
Terus tradisi yang dimaksud apa? Tradisi yang saya maksud di poin ini bukan tentang karawitannya, tetapi tradisi masyarakat yang selalu ada tiap acara hiburan di malam hari berlangsung. Mabuk dan minum minuman keras.
Jam 11 malam, mulai datang Bapak-bapak se-Dukuh Sumberan ke tempat karawitan. Awalnya sih semua lancar, dan saya masih bisa menikmati karawitannya. Tapi, penonton bapak-bapak mulai mengganggu ketika mereka mulai minum miras di kursi penonton. Ganggunya itu udah di luar bayangan saya. Mereka yang tadinya ngobrol-ngobrol santai, bahas masalah desa, cerita ngalor-ngidul, eh, malah pada berantem sendiri. Antarbapak mulai saling marah dan suara mereka mulai meninggi. Puncaknya adalah ketika ada salah satu bapak-bapak yang marah-marah dan ngajak berkelahi ke semua orang yang dia rasa mengganggu keasyikan dia. Semua penonton berusaha ditonjok sama Bapak itu, termasuk Pak Mantri yang juga bisa hadir. Akhirnya, Bapak itu dibawa pulang setelah beliau jatuh ke selokan dan kepalanya berdarah. Ckckckck.

Merayakan 17-an
Kesenian karawitan memang sudah saya suka dari dulu. Waktu SD, pelajaran karawitan jadi yang paling ditunggu sama semua orang. Musik-musik dari gamelan juga memang bisa buat adem dan nggak emosi. Tapi, kalau kasusnya kayak yang di atas tadi, keindahan karawitannya kan jadi terganggu. Bahkan mungkin orang-orang datang ke tempat apitan desa cuma buat mabuk. Mereka nggak begitu peduli dengan karawitannya sendiri. Sayang sih sebenarnya.
Budaya mabuk di Indonesia memang masih tinggi. Sampai sekarang, saya masih belum paham apa sih faedahnya dari mabuk itu. kita hangover dan nggak sadar sama apa yang kita lakukan. Bisa saja saat mabuk kita mukul orang, jatuh, atau melakukan hal-hal yang mencelakakan diri sendiri. Jujur, saya agak risih dan terganggu dengan budaya mabuk-mabukan ini. Dilihat dari sisi mana pun, kok kayaknya nggak ada manfaatnya gitu lho. Tapi anehnya, masih saja budaya mabuk ini diminati. Mungkin ada banyak faktor yang membuat budaya ini langgeng di dusun kami. Siapalah kami anak KKN yang datang cuma satu bulan, optimis bisa mengubah budaya yang sudah terpelihara mungkin sejak kami belum lahir.

7.      How easy my life is in the city
In brief, momen KKN ini membuat saya sadar kalau selama ini hidup saya sudah sangat-sangat mudah. Apa yang saya butuhkan semua ada di Jogja. Saya nggak pernah kesulitan soal sinyal, air, akses hiburan, sampai infrastruktur. Di ‘kota’ semua sudah serba nyaman dan mapan. Tapi, walau begitu, masih aja saya suka meminta lebih, merasa belum cukup, membuang-buang uang dan kurang bersyukur.
Begitu datang ke Sumberan dan melihat bagaimana kondisi di sini, yang pertama saya lakukan adalah… mengeluh. Kok jalannya jelek, sinyalnya bapuk, airnya keruh, akses ke ‘kota / kecamatan’ jauh luar biasa. Saat observasi pertama, rasanya saya ingin pindah lokasi. Tempatnya kok begini amat ya. Kesan pertama saya tentang kondisi Sumberan memang nggak begitu bagus. Untungnya, orang-orang di sini baik-baik dan ramah-ramah.
Antara minggu kedua dan ketiga, saya mulai bisa mikir. Mereka yang tinggal di sini saja masih bisa ketawa-ketawa, masih ingat untuk memberi tetangganya kelebihan rezeki di rumah. Mereka masih bisa terlihat bahagia, walaupun semua masih serbaterbatas. Lah, saya yang tinggal di kota yang semuanya serbaada, masih suka merasa kurang. Momen-momen impulsif yang kadang muncul membuat saya sadar kalau hidup saya sudah jauh lebih mudah dan jauh lebih membahagiakan asal saya tahu bagaimana caranya.


Enjoy atau nggaknya momen KKN kita, memang banyak faktornya, internal atau eksternal. Tapi kita masih tetap dapat menentukan mau seperti apa kita menjalaninya. Ada yang bilang kalau rasa marah, sedih, dan emosi lainnya itu terjadi karena kita yang meminta, kita yang memilih untuk merespons demikian. Ganjalan-ganjalan kecil pasti selalu ada. Tapi cara kita merespons akan memberikan dampak yang berbeda. Walaupun KKN di sini ada yang tidak mengenakkan, tapi saya berusaha untuk mencari pembelajaran di setiap hal yang terjadi, baik atau buruk. Cara ini sepertinya akan saya coba terapkan di semua kesempatan. Karena lelah juga kalau semua kejadian harus direspons dengan emosi, padahal masih ada pilihan lain yang jauh lebih bermanfaat.

                                                                                    Ditulis di
Boyolali, 30 Agustus 2017.
Terima kasih.

You May Also Like

0 komentar