Pages

Minggu, 22 Desember 2019

Imperfect: Tentang Mencintai Kekurangan Diri dan Hidup Tanpa Men-judge

sumber: https://celebrity.okezone.com/read/2019/11/29/206/2135955/sinopsis-film-imperfect-karier-cinta-timbangan
Salah satu fim yang saya tunggu-tunggu akhirnya rilis juga! Imperfect, film kelima dari Ernest Prakasa yang diadaptasi dari buku Imperfect karya sang istri, sudah menarik perhatian dari awal saya denger cerita dan baca sinopsisnya. Film ini menceritakan Rara (Jessica Mila), yang punya masalah dengan penampilan dan selalu merasa insecure—abis ini ditulis insekyur aja biar kayak di filmnya. Walaupun dikelilingi orang-orang yang ikhlas lillahitalla buat bareng sama dia, tapi omongan dari ibunya (Karina Suwandi) dan Geng Sista-nya yang suka ngomentarin fisik malah meresap ke pikiran. Udah gitu, adiknya dia Lulu (Yasmin Napper) punya perawakan yang beda banget. Langsing, putih, dan mirip ibunya yang mantan model. Padahal dia punya Fey (Shareefa Danish), sohib ikrib bersama saat ups and downs dan Dika (Reza Rahadian) sang Mas Pacar yang selalu ada dan menerima dia apa adanya. Cia elaaah.

Zaman sekarang siapa coba yang nggak pernah jadi korban dan/atau pelaku body shaming? Kata-kata dan kebiasaan ngenyek fisik orang lain yang dianggap nggak sesuai standar seringnya enteng banget keluar dari rahang, tapi efeknya ke orang lain bakal bertahan lebih lama dari yang kita duga. Body shaming yang datang dari orang terdekat, bos, kolega di kantor, sadar nggak sadar akan buat kita semakin insekyur dan kehilangan self-worth karena ngerasa nggak mampu menyamai level orang lain. Lagaknya yang ngatain udah macem dewa-dewi aja. Tapi kalau yang di film caem-caem semua, kok.

Walaupun sudut pandang “korban” datang dari pihak perempuan, nggak membuat saya yang cowok terus merasa jauh atau berjarak. Justru semakin yakin bahwa kasus macam ini bisa datang ke siapa pun tanpa lihat ngana laki-laki atau perempuan. Cuma mungkin harus diakui, ejekan ke cewek emang bisa parah banget karena ditambah dengan tuntutan dan standar cantik yang nggak masuk akal dan seolah dilumrahkan.

Terus apa yang bikin saya suka banget nonton filmnya? Pertama adalah jajaran pemainnya! Semuanya keren-keren banget. Kalau komedi ya hacep banget dan pas drama pun nggak menye atau jayus. Ada sih yang agak kurang sreg di hati, tapi dikiiiiit banget. Kalau menurut bahasa reviewer papan atas: well-delivered. Kedua, menurutku sih pembagian porsi antara komedi dan dramanya pas! Di bagian drama didominasi oleh Rara, Dika, keluarga masing-masing, dan urusan kantor. Sedangkan komedi...ini sih yang bikin ngasih standing ovation, geng empat cewek-cewek di kosan ibunya Dika. PARAAAAAAAHHHHH LUCUNYAAAAA!!!! Neti, Prita, Maria, dan Endah. Walaupun screen stealer-nya adalah si Neti sih. Tapi semua masih dapet banget lucunya. Selain itu, Fey juga nggak paham lagi gesreknya. Dia juga selain dapet porsi komedi, ada juga dramanya di bagian menuju akhir. Itu juga bagus. Boyish vibe-nya aku suka!


sumber: https://www.herworld.co.id/article/2019/12/12451-Review-Film-Imperfect-Karier-Cinta-Timbangan

Hubungan Dika dan Ibunya (Dewi Irawan) juga menurutku natural banget. Ibunya Dika juga nggak berlebihan sih aktingnya. Suka deh. Tapi, yang bikin saya terkesima itu waktu ada Dika, Ibunya, dan Ernest sebagai Teddy ngumpul di kamar. Kaya lihat keluarga beneran di sana. Malah jadi senyum-senyum sendiri lihat hubungan mereka. Akraaaab banget kayanya bertiga tuh.

Hmmm... Habis nonton film ini nggak bisa kalau orang-orang nggak bahas tentang isu body shaming. Isu yang terasa dekat, tapi juga asing saat bersamaan. Dekat karena itu sering kita dengar, alami, atau di kasus tertentu, kita lakukan sendiri. Tapi terasa asing karena kita masih nggak paham secara langsung apa aja sih masuk ke kategori body shaming. Celaan yang dibungkus dengan label “bercanda” kadang bikin kita nggak sadar kalau ucapan kita bisa aja berakhir nyakitin perasaan orang lain. Yekan?

Tapi ada satu bagian yang menurut saya gambarin bagaimana kondisi di lingkaran pertemanan yang toxic sesungguhnya terjadi. Yaitu pas Fey nanya ke Rara, kenapa dia nggak bales omongan orang-orang yang ngehina dia. Rara lebih milih diem karena takut dibilang baper! Baper! Baper kayaknya kata yang nggak hanya mulai overused tapi juga udah melenceng penggunaannya.

Serius, orang-orang harus mulai berhenti bilang, “Ya elah, gitu doang baper,” kalau emang nyatanya bercandaannya udah kelewat batas dan nyakitin. Baper yang dulu saya tahunya soal cinta dan kesemsem doang, sekarang malah jadi buat tameng biar nggak disalahin.

Untuk yang suka pakai kata baper buat ngelindungin diri ketika dibales sama orang yang dihina: Mari kembali ke jalan yang benar, Kawan-kawanku. Masih ada waktu. Dan sebenernya bukan mereka yang baper, bercandaan Anda aja mungkin yang ofensif dan kelewat batas.

Oh iya, sebenernya waktu lihat trailer sempet agak males juga sih. Dikit doang, kok tapi. Soalnya kan yang ditonjolkan itu perubahan Rara dari yang embem jadi langsing dan makin cantik. Males karena takut kalau filmnya bakal berakhir begitu aja ketika Rara berubah. Tapi...sebagaimana kita tidak disarankan menilai buku dari sampulnya, pada film pun demikian. Jangan menilai film dari trailer-nya. Kenapa? Karena itu cuma secuplik dari keseluruhan film. (Dear yang mencak-mencak walau cuma lihat trailer Dua Garis Biru dan Kucumbu Tubuh Indahku)

Film ini bukan tipe film yang tokohnya jadi cantik lalu habis cerita. Untungnya nggak berhenti di momen ketika Rara jadi langsing dan semua orang pangling lalu memperlakukan Rara 180 berbeda. Rara yang sudah mulai bisa fit ini pun digambarkan—masih—nggak sempurna.  Aren’t we all? Sedikit terlena karena perubahan yang dia dapat di kantor dan sekelilingnya. Kalau diceritakan sesuai trailer, mungkin maknanya berubah kali ya? Tema “Ubah insekyur jadi bersyukur” jadi nggak relevan lagi.

Singkatnya, film ini pas banget tayang di musim liburan akhir tahun. Masyarakat dari berbagai kalangan usia, yang masih suka insekyur dengan badan dan penampilan...this movie is meant for all of us!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar